leuit baduy lumbung pangan yang bijak dan warisan budaya yang terjaga - News | Good News From Indonesia 2025

Leuit Baduy: Lumbung Pangan yang Bijak dan Warisan Budaya yang Terjaga

Leuit Baduy: Lumbung Pangan yang Bijak dan Warisan Budaya yang Terjaga
images info

Leuit Baduy: Lumbung Pangan yang Bijak dan Warisan Budaya yang Terjaga


Sebuah dokumenter terbaru berjudul “Kehidupan yang Sederhana, Budaya yang Terjaga”dari Envilm Group (Green Leadership Indonesia) mengajak kita menyelami dunia suku Baduy. Di balik pesona kesederhanaan dan kedamaiannya, tersimpan sistem ketahanan pangandan ekonomi yang sangat canggih, berlandaskan kearifan lokal ratusan tahun.

Dokumenter ini di buat oleh Envilm Group yang berasal dari berbagai daerah seperti Jakarta, Jawa Barat serta Banten. Mereka terdiri dari Dimas Nugroho, Muhammad Ribkhi, Novinsky Shinta, Gibral Dzaki, Ellena Pengestu, Nadiyya Dinar, Alya Rachma, Apriyani, Mutiara dan Sulfitra Gusmin.

Di tengah gempuran modernisasi dan sampah plastik mulai mengancam keseimbangan ini, apa yang bisa Kawan GNFI pelajari dari Baduy?

Leuit: Rumah Padi dan Simbol Ketahanan Pangan yang Hakiki

Jantung kemandirian Baduy berdetak di leuit, lumbung padi tradisional yang menjadi simbol ketahanan pangan sejati. Filosofi di balik leuit sangat mendalam: padi adalah nyawa, bukan komoditas. Hasil panen dari sistem huma (ladang berpindah ramah lingkungan) disimpan di leuit untuk konsumsi setahun penuh dan bibit musim berikut.

Praktik ini menjamin kemandirian pangan tanpa bergantung pada pasar eksternal. Sistem ini didukung oleh aturan adat (pikukuh) yang ketat, seperti larangan menjual beras dan membuka lahan di hutan primer.

Penelitian LIPI (2023) mengonfirmasi bahwa pola pertanian Baduy, dengan rotasi lahan dan tanpa bahan kimia, menjaga biodiversitas dan kesuburan tanah jangka panjang, sebuah model praktik pertanian berkelanjutan yang langka.

baca juga

Ngubaran Pare dan Tenun Gedogan: Sains dalam Tradisi

Kearifan Baduy bukanlah mitos, tetapi sains terapan. Ngubaran Pare, ritual pengendalian hama padi menggunakan ramuan nabati dari tumbuhan hutan, adalah contoh biopestisida alami yang efektif dan tidak mencemari lingkungan.

Di sisi lain, kerajinan tradisional seperti tenun gedogan dan anyaman bukan sekadar cendera mata. Tenun gedogan, yang hanya boleh ditenun oleh perempuan tertentu, menggunakan teknik tradisional dengan bahan alami seperti benang kapas dan pewarna dari daun tarum (indigofera) serta putri malu

Setiap motif mengandung makna spiritual dan aturan adat. Produk ini adalah wujud nyata ekonomi sirkular yang menghargai setiap sumber daya.

baca juga

Ancaman Sampah: Ketahanan yang Terkepung

Ironisnya, ketahanan sistem adat ini kini terkepung oleh ancaman dari luar yaitusampah plastik. Meningkatnya arus wisatawan, meski menggerakkan ekonomi Baduy Luar, membawa dampak negatif berupa polusi sampah non-organik.

Data konkret dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk tahun 2023 mengungkap skala masalah di Kabupaten Lebak. Daerah ini menghasilkan 300 hingga 400 ton sampah per hari.

Kemudian pada tahun 2024 timbulan sampah sebesar 223,608. Ton/Tahun dan 612.63 Ton/Hari, dengan komposisi sampah plastik mencapai 15%. Artinya, sekitar 45 hingga 80 ton sampah plastik dihasilkan setiap harinya di Lebak dan paling besar yang di hasilkan yaitu sampah makanan sebesar 30%.

Yang lebih memprihatinkan, data tersebut menunjukkan bahwa hanya sekitar 65% sampah di Lebak yang terkelola. Sisanya, termasuk puluhan ton plastik, berpotensi mencemari lingkungan, termasuk Sungai Ciujung dan anak-anak sungai yang mengalir di sekitar Kanekes.

Laporan investigasi lingkungan setempat juga menyebutkan bahwa di kawasan wisata, kontribusi sampah plastik kemasan sekali pakai (botol minum, bungkus makanan) dari wisatawan dapat meningkatkan komposisi sampah tidak terkelola di sungai secara signifikan.

Di sini terjadi paradoks pahit kepada masyarakat yang sistem hidupnya hampir zero wastemenggunakan daun dan kulit kayu sebagai wadah, justru harus menanggung beban puluhan ton limbah plastik dari kebudayaan konsumtif pendatang. Ancaman ini tidak hanya visual, tetapi telah mengubah kimia dan ekosistem urat nadi kehidupanmereka.

Menjaga Baduy, Menjaga Masa Depan Kita

Lantas, apa yang bisa Kawan GNFI lakukan? Dokumenter ini bukan sekadar tontonan, melainkan seruan untuk aksi kolektif.

  1. Wisata Bertanggung Jawab: Wisatawan harus mematuhi aturan adat, tidak membawa masuk barang plastik sekali pakai, dan membawa kembali sampahnya.

  2. Dukungan Sistemik: Pemerintah dan NGO perlu mendukung penguatan sistem pengelolaan sampah terpadu yang selaras dengan kearifan lokal, serta membantu pemasaran produk UMKM Baduy seperti tenun gedogan dan kerajinan kayu secara berkelanjutan.

  3. Edukasi dan Apresiasi: Masyarakat luas perlu diedukasi untuk melihat Baduy bukan sebagai objek wisata semata, tetapi sebagai laboratorium hidup praktik berkelanjutan dan ketahanan pangan yang berharga.

Baduy mengajarkan kepada Kawan GNFI bahwa ketahanan pangan dan kelestarian lingkungan berawal dari rasa hormat yang mendalam kepada alam. Leuit dan tenun gedogan adalah simbol dari filosofi itu.

Melestarikan Baduy berarti melindungi sebuah arsip hidup pengetahuan tradisional yang sangat relevan untuk menjawab krisis pangan dan lingkungan global.

Mari Kawan GNFI jaga kearifan Baduy bukan dengan mengisolasi mereka, tetapi dengan menjadi tamu yang bijak dan mitra yang mendukung perjuangan mereka melestarikan tanah leluhur.

Masa depan yang berkelanjutan mungkin saja berawal dari lumbung padi sederhana di Kanekes.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

DR
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.