diplomasi kebudayaan kita rayakan reog ponorogo kebaya dan kolintang yang kini mendunia - News | Good News From Indonesia 2025

Diplomasi Kebudayaan Kita, Rayakan Reog Ponorogo, Kebaya dan Kolintang yang Kini Mendunia

Diplomasi Kebudayaan Kita, Rayakan Reog Ponorogo, Kebaya dan Kolintang yang Kini Mendunia
images info

Diplomasi Kebudayaan Kita, Rayakan Reog Ponorogo, Kebaya dan Kolintang yang Kini Mendunia


Setelah penantian panjang yang sering bikin kita dag-dig-dug soal isu klaim budaya oleh pihak luar, kabar manis itu akhirnya mendarat di tanah air. Kawan GNFI pasti sudah ramai membicarakannya di media sosial, kan? Melansir siaran resmi dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pasca sidang UNESCO di Asunción, Paraguay, pada awal Desember 2025 ini, dunia akhirnya resmi menunduk hormat pada tiga ikon kebanggaan kita.

Reog Ponorogo, alat musik kolintang dari Minahasa, dan busana kebaya, kini sah menyandang status sebagai Warisan Budaya Takbenda (Intangible Cultural Heritage) oleh UNESCO. Ini bukan sekadar selembar sertifikat atau plakat untuk dipajang di museum, melainkan sebuah pengakuan mutlak atas kedaulatan budaya Indonesia di kancah global.

Diplomasi Cantik Lewat Kebaya

Sidang UNESCO kali ini terasa sangat spesial, terutama bagi kaum perempuan Indonesia. Mengutip laporan mendalam dari Kompas.com (03/12/2025), penetapan kebaya menjadi catatan sejarah tersendiri karena diajukan melalui mekanisme joint nomination (nominasi bersama) dengan empat negara tetangga kita yaitu Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Thailand.

Langkah ini cerdas sekali. Alih-alih kita bertengkar di kolom komentar soal "Siapa sih pemilik aslinya", Indonesia justru menunjukkan kelasnya sebagai "kakak tertua" di kawasan ASEAN. Kita membuktikan bahwa budaya bisa menjadi jembatan persahabatan (bridge of friendship), bukan tembok pemisah. Ini adalah diplomasi lunak (soft power) yang sangat elegan.

Air Mata Haru dari Ponorogo

Namun, cerita paling emosional tentu datang dari reog. Kita tahu betul perjalanan menuju pengakuan ini penuh liku dan keringat. Sebagaimana dilansir dari rilis resmi Pemerintah Kabupaten Ponorogo, keberhasilan ini adalah buah dari "perang data" melalui naskah akademik setebal ratusan halaman dan diplomasi alot selama bertahun-tahun.

Masih segar di ingatan Kawan GNFI bagaimana ribuan seniman reog sempat turun ke jalan menarikan Dadak Merak demi menuntut pemerintah pusat memprioritaskan pendaftaran Reog ke UNESCO. Ketakutan akan hilangnya identitas itu kini terbayar lunas. UNESCO telah mengetuk palu bahwa reog Ponorogo adalah warisan asli masyarakat Ponorogo, Indonesia. Tidak ada lagi ruang perdebatan. Titik. 

Harmoni Kayu Minahasa yang Terancam

Tak kalah penting, pengakuan terhadap kolintang membawa pesan lingkungan yang mendalam. Alat musik perkusi kayu asal Sulawesi Utara ini bukan sekadar penghasil nada merdu. Mengutip data dari Direktorat Pelindungan Kebudayaan, pelestarian Kolintang berkaitan erat dengan pelestarian alam, khususnya ketersediaan kayu Cempaka dan Waru sebagai bahan bakunya.

Dengan status UNESCO ini, kita "dipaksa" untuk lebih peduli pada lingkungan. Jika hutannya habis, kolintang pun akan bisu. Jadi, kabar baik ini sekaligus menjadi alarm bagi kita untuk menjaga ekosistem hutan di Minahasa agar warisan bunyi-bunyian ini bisa terus dinikmati anak cucu kita.

Dampak Ekonomi, Angin Segar bagi UMKM

Lantas, apa untungnya buat dompet rakyat? Tentu ada dong! Status warisan dunia ini adalah branding gratis yang sangat mahal harganya. Berdasarkan analisis dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), penetapan status UNESCO biasanya berkolerasi positif dengan peningkatan kunjungan wisata dan penjualan produk ekonomi kreatif.

Bayangkan potensi cuan bagi para pengrajin kebaya di pasar-pasar tradisional yang produknya kini dicari wisatawan asing karena label "UNESCO". Bayangkan para pengrajin topeng reog di desa-desa Ponorogo yang kebanjiran pesanan suvenir. Ini adalah momentum emas untuk menggerakkan roda ekonomi kerakyatan berbasis budaya. Budaya lestari, masyarakat sejahtera.

Bukan Piala Pajangan, tapi "PR" Pelestarian

Namun tunggu dulu, euforia ini jangan sampai bikin kita terlena dan "mabuk" pujian. Seperti yang berulang kali diingatkan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan, status Warisan Budaya Takbenda ini membawa konsekuensi berat bernama safeguarding (pelindungan).

Data dari dokumen konvensi UNESCO menegaskan bahwa status ini bisa saja dievaluasi ulang bahkan dicabut jika negara pengusul gagal menjaga ekosistem budayanya atau jika warisan tersebut mati suri.

Jadi, ini bukan piala abadi yang bisa kita pajang lalu ditinggal tidur. PR besarnya adalah bagaimana memastikan kolintang tetap berdenting di sekolah-sekolah, dan reog tetap menari di panggung-panggung desa, bukan cuma di YouTube.

Tugas Generasi Kita

Di sinilah peran Kawan GNFI, khususnya Generasi Z dan Alpha. Melestarikan budaya di era sekarang ini tidak harus kaku dan kuno. Tren "berkebaya" saat hangout, wisuda, atau nonton konser yang sempat viral di TikTok adalah contoh nyata pelestarian yang asik dan relevan.

Jika kita bisa konsisten merayakan budaya dalam keseharian, Indonesia benar-benar akan menjadi negara adidaya kebudayaan (cultural superpower) yang disegani. Mari rayakan kabar baik ini dengan bijak. Sertifikat UNESCO sudah di tangan, sekarang giliran kita memastikannya tetap hidup, relevan, dan abadi.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

LA
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.