Simakobu (Simias concolor) adalah salah satu primata paling unik dan terancam di dunia. Primata ini merupakan anggota dari keluarga Cercopithecidae (monyet Dunia Lama) dan satu-satunya spesies dalam genus Simias.
Nama "simakobu" sendiri berasal dari bahasa Mentawai, sementara dalam literatur internasional ia sering disebut sebagai Mentawai snub-nosed langur atau Mentawai pig-tailed langur.
Penamaannya sangat deskriptif, merujuk pada ciri fisiknya yang paling mencolok: hidung yang sangat pesek dan pendek, serta ekor yang relatif pendek dan tidak berambut panjang, menyerupai ekor babi.
Hidungnya sangat pesek
Ciri fisik Simakobu sangat khas dan mudah dikenali. Yang paling mencolok adalah hidungnya yang sangat pesek (snub-nosed) dengan lubang hidung menghadap ke depan, sebuah adaptasi yang belum sepenuhnya dipahami fungsinya. Warna bulunya bervariasi dari hitam pekat, coklat tua, hingga krem kekuningan, sering kali tanpa pola yang mencolok.
Tubuhnya relatif kekar, dengan panjang kepala dan badan sekitar 50-55 cm. Ekornya unik karena pendek (sekitar 15 cm) dan tidak berambut lebat, berbeda dengan ekor panjang kebanyakan spesies lutung atau monyet. Pada jantan, sering kali terdapat bercak berwarna terang di sekitar dahi.
Wajahnya hampir tidak berambut dengan kulit berwarna kehitaman, dan ia tidak memiliki kantong pipi seperti pada beberapa kerabat monyetnya. Kombinasi hidung pesek, ekor pendek, dan tubuh kekar inilah yang membedakannya secara tajam dari semua primata lainnya di wilayah tersebut, seperti Siamang (yang merupakan gibon) atau monyet ekor panjang.
Hidup di atas pepohonan
Simakobu adalah hewan diurnal (aktif siang hari) dan hampir seluruh hidupnya dihabiskan di atas pepohonan (arboreal). Mereka hidup dalam kelompok kecil yang biasanya terdiri dari satu jantan dewasa, beberapa betina, dan anak-anaknya, dengan ukuran kelompok rata-rata 3-4 individu.
Pola sosial ini lebih sederhana dibandingkan dengan primata sejenis. Dalam hal pola makan, Simakobu tergolong sebagai folivor spesialis, yang berarti makanan utamanya adalah daun-daunan, dengan tambahan buah-buahan, bunga, dan terkadang serangga. Sistem pencernaannya telah beradaptasi untuk memproses daun yang berserat.
Perilaku vokalisasinya cukup unik. Simakobu akan mengeluarkan suara teriakan keras dan nada rendah terutama pada pagi hari, yang diduga berfungsi sebagai penanda teritori. Perilaku mobilitasnya lebih lambat dan hati-hati dibandingkan dengan gibon, mencerminkan gaya hidupnya yang lebih tersembunyi.
Primata Endemik Kepulauan Mentawai
Simakobu adalah satwa endemik Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Artinya, spesies ini hanya ditemukan secara alami di gugusan kepulauan tersebut, khususnya di empat pulau utama: Siberut, Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan. Habitatnya adalah hutan hujan tropis dataran rendah dan perbukitan yang masih utuh dan lebat.
Keberadaannya sangat bergantung pada kondisi hutan primer dan sekunder yang belum terganggu, karena mereka membutuhkan kanopi hutan yang terus menerus untuk bergerak dan mencari makan.
Isolasi geografis Kepulauan Mentawai yang terpisah dari daratan Sumatera ribuan tahun yang lalu telah menyebabkan evolusi yang unik, menghasilkan sejumlah fauna endemik, dengan Simakobu sebagai salah satu primata bendera (flagship species).
Ancaman terbesar terhadap habitatnya adalah deforestasi akibat alih fungsi hutan untuk perkebunan, pembalakan liar, dan fragmentasi hutan akibat aktivitas manusia.
Status Konservasi dan Perlindungan
Simakobu masuk dalam kategori "Critically Endangered" (Kritis) dalam Daftar Merah IUCN (International Union for Conservation of Nature). Status ini merupakan tingkat keterancaman tertinggi sebelum kepunahan di alam liar.
Di Indonesia, Simakobu dilindungi secara hukum berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
Artinya, segala bentuk perburuan, penangkapan, perdagangan, dan pelukaan terhadap spesies ini adalah tindakan ilegal. Populasinya terus mengalami penurunan drastis akibat hilangnya habitat dan perburuan.
Upaya konservasi yang dilakukan meliputi perlindungan kawasan hutan di dalam Taman Nasional Siberut dan sejumlah hutan lindung lainnya, serta program pemantauan populasi dan sosialisasi kepada masyarakat setempat.
Referensi:
- International Union for Conservation of Nature (IUCN) Red List. (2022). Simias concolor. Diakses dari https://www.iucnredlist.org/
- Supriatna, J., & Wahyono, E. H. (2000). Panduan Lapangan Primata Indonesia. Yayasan Obor Indonesia.
- Whitten, T., & Whitten, J. (2012). The Ecology of Sumatra. Periplus Editions.
- Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI No. P.106 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
- Tenaza, R. R., & Fuentes, A. (1995). Monogamy and the Mentawai Island Langur (Simias concolor). Primates, 36(1), 145–150.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News