sruntul napas terakhir dari seni rakyat yang mencoba bangkit kembali - News | Good News From Indonesia 2025

Sruntul: Napas Terakhir dari Seni Rakyat yang Mencoba Bangkit Kembali

Sruntul: Napas Terakhir dari Seni Rakyat yang Mencoba Bangkit Kembali
images info

Sruntul: Napas Terakhir dari Seni Rakyat yang Mencoba Bangkit Kembali


Di sebuah desa di kaki Gunung Merapi, ketika senja turun dan udara mulai dingin, sebuah kesenian tua masih menyala redup. Api kecil itu dijaga oleh tangan-tangan yang mulai renta, oleh ingatan yang terus dipertahankan, dan oleh keyakinan bahwa tradisi tak boleh padam begitu saja.

Kesenian itu bernama Sruntul, seni drama tari rakyat yang hidup di Kabupaten Klaten dan daerah sekitarnya. Ia memadukan tembang, gerak tari, cerita lisan, serta lawakan khas pedesaan lahir bukan dari tembok mewah keraton, melainkan dari halaman rumah rakyat jelata.

Sruntul tumbuh dari kehidupan desa yang sederhana. Ia hadir sebagai hiburan sekaligus ruang pertemuan sosial. Dalam satu pertunjukan, penonton bisa tertawa, merenung, bahkan saling menyapa satu sama lain. Tidak ada jarak antara pemain dan penonton. Semua terasa dekat, akrab, dan hidup.

Namun hari ini, Sruntul berada di titik yang mengkhawatirkan. Banyak pemainnya telah berusia lanjut. Regenerasi berjalan lambat. Anak-anak muda nyaris tak terlihat di lingkaran latihan. Di tengah gempuran hiburan digital dan perubahan gaya hidup, Sruntul perlahan tersisih ke pinggir ingatan.

“Pemerannya sudah banyak yang sepuh… jarang sekali anak muda mau belajar Sruntul,” ujar Pak Marsudi, atau yang akrab disapa Mas Kumbang, pemimpin Sanggar Seni Garuda Merapi Tirta Kencana. Suaranya lirih, namun matanya tetap menyimpan cahaya. Ia berbicara sambil memandang panggung sederhana yang telah puluhan tahun menjadi saksi hidup kesenian ini.

Di usia yang sebagian besar telah melewati 60 tahun, para pemain Sruntul tetap datang ke sanggar. Gerak mereka memang tak lagi selincah dulu, napas sering harus diatur, dan jeda latihan kian terasa. Tetapi semangat mereka tak berubah. Mereka tahu, jika berhenti, maka sebuah tradisi bisa benar-benar berakhir.

Seni dari Rakyat Jelata

Di tengah dominasi seni-seni Jawa yang umumnya bersumber dari budaya keraton lengkap dengan struktur hierarkis, pakem ketat, dan simbol-simbol kebangsawanan Sruntul berdiri sebagai pengecualian. Ia bukan seni istana. Tidak ada raja, tidak ada bangsawan, tidak pula ksatria agung dengan gelar panjang. Dalam lakon Sruntul, jabatan tertinggi hanyalah lurah. Sebuah cermin sederhana tentang dunia yang ingin direpresentasikannya: dunia rakyat biasa.

Kostum Sruntul pun bersahaja. Busana yang dikenakan lebih dekat dengan pakaian sehari-hari masyarakat desa. Dialognya menggunakan bahasa rakyat lugas, spontan, dan kadang ceplas-ceplos. Justru di sanalah letak kekuatannya. Sruntul tidak berusaha menjadi “tinggi”, melainkan setia pada akar sosialnya.

Cerita yang dibawakan berasal dari tradisi lisan yang telah lama hidup di tengah masyarakat, seperti kisah Menak, Umar Moyo, Wong Agung, hingga Jairono. Dalam satu malam pementasan, tidak jarang tiga cerita berbeda dimainkan secara berurutan. Setiap cerita diselingi humor, dialog improvisatif, serta tembang yang dinyanyikan dengan penuh rasa.

Dulu, Sruntul selalu dinanti. Ia hadir di hajatan pernikahan, khitanan, hingga hiburan bersih desa. Lampu sederhana, suara kendang, dan tawa penonton menjadi penanda bahwa malam itu desa sedang berpesta. Sruntul adalah milik bersama bukan hanya milik pemainnya.

Di Ambang Kepunahan

Waktu berjalan, dan dunia berubah. Televisi, ponsel pintar, serta media sosial menawarkan hiburan instan. Anak-anak muda lebih akrab dengan layar daripada panggung desa. Sruntul pun perlahan kehilangan penontonnya.

Mas Kumbang mengingat masa ketika sanggarnya selalu ramai. Kini, ia harus membujuk, bahkan memohon agar generasi muda mau sekadar mencoba. “Bukan karena mereka tidak suka budaya,” katanya, “tapi karena mereka tidak kenal.”

Masalahnya bukan hanya soal minat, tetapi juga soal keberlanjutan. Ketika para pemain sepuh tak lagi mampu tampil, siapa yang akan melanjutkan? Tanpa regenerasi, Sruntul hanya akan tersisa dalam cerita atau lebih buruk, hilang tanpa jejak.

Menjemput Masa Depan: Kolaborasi Kampus dan Desa

Harapan itu datang ketika Tim Dosen Telkom University berkunjung ke sanggar. Mereka tidak datang sebagai penonton semata, melainkan membawa gagasan pelestarian dan pendampingan dengan topangan dana dari PPM Kemenristekdikti. Bagi Mas Kumbang, ini lebih dari sekadar kerja sama. Ini adalah kesempatan kedua.

Rencananya, sebuah pentas Sruntul kolaboratif akan digelar pada 29 November 2025. Pementasan ini akan menggabungkan unsur tradisional dengan sentuhan modern bukan untuk mengubah jati diri Sruntul, melainkan untuk membukakan pintu bagi generasi baru.

Tim dosen menyiapkan berbagai peralatan pendukung: drum, gitar bass, keyboard, hingga kostum. Para mahasiswa terlibat aktif, membawa kamera dan perangkat dokumentasi. Latihan-latihan kembali digelar. Panggung yang sempat sepi kini kembali hidup, meski dengan wajah-wajah yang berbeda.

Bagi para pemain lama, kehadiran alat musik modern sempat terasa asing. Namun perlahan, mereka mulai beradaptasi. Musik baru tidak menghapus irama lama, melainkan berjalan berdampingan. Dialog tradisi dan modernitas pun terjadi bukan di ruang seminar, tetapi di panggung desa.

Lebih dari Sekadar Pertunjukan

Sruntul bukan hanya soal tampil di atas panggung. Ia adalah ruang sosial. Dalam setiap pementasan, selalu ada uborampe: tumpeng, gudangan, buah-buahan, serta oncor sebagai simbol permohonan penerangan dari Tuhan. Semua itu menandakan bahwa Sruntul tidak berdiri sendiri; ia terikat dengan nilai spiritual, gotong royong, dan kebersamaan.

Melalui Sruntul, masyarakat belajar tertawa bersama, mengkritik tanpa marah, dan menjaga hubungan sosial. Nilai-nilai inilah yang membuat Sruntul tidak benar-benar mati, meski tubuh para pelakonnya mulai menua.

Mas Kumbang menyadari betul bahwa pelestarian Sruntul bukan pekerjaan satu malam. Ia membutuhkan kesabaran, kerja kolektif, dan keberanian untuk beradaptasi. Dokumentasi digital menjadi langkah penting agar Sruntul tidak hanya hidup di panggung, tetapi juga di arsip dan ingatan generasi mendatang.

Dalam benaknya, Mas Kumbang membayangkan sebuah malam ketika panggung Sruntul kembali dipenuhi tawa anak-anak muda mereka yang selama ini lebih akrab dengan layar ponsel, kini menemukan kegembiraan

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

DK
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.