Ketahanan pangan menjadi isu keamanan yang krusial bagi Indonesia saat ini. Mengapa demikian?
Kepala Badan Strategi Kebijakan Luar Negeri Kementerian Luar Negeri (Kemlu RI), Muhammad Takdir, S.H., LL.M, dalam penjelasannya yang dimuat di laman Universtas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), mengatakan bahwa dunia tengah menghadapi suatu ancaman yang disebutnya sebagai “ancaman rangkap tiga”.
Ancaman-ancaman tersebut meliputi konflik internasional, cuaca ekstrem, dan krisis ekonomi. Ketiganya disebut Takdir bermuara pada risiko global terbesar, yaitu kelangkaan pangan.
“Konflik mengakibatkan kelangkaan pangan. Cuaca ekstrem juga mengakibatkan kelangkaan pangan. Karena itu isu pangan harus dinaikkan menjadi isu tunggal dalam keamanan nasional Indonesia,” jelasnya.
Krisis Pangan Bisa Picu Instabilitas Politik
Dunia seakan tak berhenti menghadapi berbagai goncangan besar belakangan ini. Dalam penjelasannya, Takdir mengatakan bahwa pandemi COVID-19 pada 2020 hingga perang Rusia-Ukraina yang masih bergejolak mendorong lonjakan ekstrem pada Indeks Harga Pangan Global.
Kemudian, di tahun 2022, puncak kenaikan itu disebut oleh memunculkan prediksi bahwa sekitar 600 juta orang berpotensi menghadapi krisis pangan akut. Lebih lanjut, krisis pangan juga bisa memicu instabilitas politik, seperti yang pernah terjadi di Mesir.
Saat itu, pada tahun 2008 dan 2011, Mesir mengalami krisis roti hebat. Akibatnya, Presiden Mesir saat itu, Husni Mubarok, yang juga pemimpin Mesir selama tiga dekade, memilih mundur akibat desakan rakyatnya. Salah satu pemicunya adalah protes masyarakat akibat tingginya harga pangan.
Melihat hal ini, Takdir mengatakan jika Indonesia memiliki kerentanan serupa. Ada beberapa komoditas strategis yang rentan, yaitu gandum, jagung, dan kedelai. Disebut bahwa konsumsi nasional tiga item tersebut kerap melampaui produksi, bahkan mendekati stok yang tersedia.
“Utilitasnya lebih tinggi daripada produksi, bahkan mendekati stok. Ini sinyal bahwa Indonesia harus sangat berhati-hati,” katanya.
Sebagai negara dengan konsumsi mi instan terbesar, Indonesia makin bergantung pada impor gandum, utamanya dari Rusia dan Ukraina yang merupakan produsen besar komoditas itu. Namun, akibat perang, ada penurunan ekspor di kedua negara secara drastis. Hal ini menunjukkan betapa rentannya rantai pasok di Indonesia.
Diplomasi Pangan sebagai Solusi Strategis
Untuk menghadapi risiko jangka panjang, Indonesia perlu menerapkan diplomasi pangan. Ada dua strategi utama yang ditawarkan Takdir, yakni Friendshoring dan Nearshoring.
Friendshoring adalah membangun kemitraan produksi dengan negara-negara yang sudah stabil dan memilik keselarasan politik jangka panjang. Sementara itu, Nearshoring adalah memindahkan atau mendekatkan lokasi produksi ke Indonesia. Contohnya seperti pabrik pengolahan gandum Australia yang sudah beroperasi di Makassar.
Menurut Takdir, dua strategi itu sudah seharusnya masuk dalam agenda diplomasi pangan Indonesia. Ini penting agar ketergantungan impor di wilayah konflik dapat dikurangi.
Selain itu, ia juga menyoroti Indonesia yang merupakan negara agraris, tetapi belum sepenuhnya mencerminkan kekuatan tersebut dalam kebijakan domestik. Masih banyak alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan perumahan, lemahnya diversifikasi pangan, dan belum optimalnya pemanfaatan terknologi dalam intensifikasi pangan.
Perlu ada langkah kebijakan yang tegas agar pemanfaatan kawasan pertanian sesuai dengan peruntukannya dapat optimal.
“Pertanyaannya, apakah kita ingin membangun resiliensi atau mempertahankan dependensi? Ini harus dirumuskan bersama,” pungkasnya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


