tantangan dan peluang literasi teknologi di era multiliterasi - News | Good News From Indonesia 2025

Tantangan dan Peluang Literasi Teknologi di Era Multiliterasi

Tantangan dan Peluang Literasi Teknologi di Era Multiliterasi
images info

Tantangan dan Peluang Literasi Teknologi di Era Multiliterasi


Literasi teknologi dalam dunia pendidikan Indonesia tengah mengalami transformasi besar melalui percepatan digitalisasi oleh pemerintah. Upaya seperti penggunaan papan interaktif (Interactive Flat Panel), penguatan kecakapan digital, hingga penerapan mata pelajaran informatika menunjukkan komitmen nasional untuk mencetak generasi kritis dan adaptif.

Namun, realitas lapangan masih memperlihatkan kesenjangan lebar antara visi ideal dan praktik sehari-hari. Pengalaman observasi saya menunjukkan bahwa pemanfaatan teknologi baru tumbuh dalam bentuk sederhana, seperti penggunaan Canvauntuk materi visual atau kuis digital.

Meski sederhana, metode ini terbukti efektif menghidupkan suasana belajar dan meningkatkan antusiasme peserta didik yang sebelumnya pasif, sehingga materi terasa lebih dekat dengan dunia nyata mereka.

baca juga

Hambatan Infrastruktur dan Kompetensi Pendidik

Meskipun peluang inovasi terbuka, transformasi ini terhambat oleh tiga dimensi kesenjangan yang krusial. Kendala utama terletak pada ketidakmerataan akses perangkat dan jaringan internet stabil bagi seluruh peserta didik.

Selain itu, kompetensi pendidik menjadi tantangan serius karena banyak pengajar yang masih kurang percaya diri akibat minimnya pelatihan berkelanjutan. Integrasi teknologi pun seringkali bersifat ad-hoc dan belum menjadi bagian utuh dari sistem evaluasi kurikulum inti.

Fenomena ini mencerminkan kesenjangan digital yang kuat di Indonesia, yang jika tidak ditangani, berisiko memperburuk ketidaksetaraan sosial di masa depan.

Urgensi Multiliterasi dalam Transformasi Pendidikan

Situasi penuh tantangan tersebut sangat relevan jika kita tarik ke dalam konsep Pendidikan Multiliterasi yang kini tengah digaungkan. Konsep ini menuntut penguasaan yang jauh lebih luas daripada sekadar literasi membaca dan menulis konvensional; ia mencakup literasi visual, digital, informasi, hingga kemampuan kolaboratif secara daring.

Dalam era di mana informasi melimpah ruah dan seringkali tumpang tindih dengan disinformasi, kemampuan untuk memverifikasi data dan berpikir kritis menjadi kompetensi yang sangat vital.

Sesuai dengan pemikiran Sudirman dan Mahfuzi, teknologi dalam dunia pendidikan seharusnya diposisikan sebagai medium untuk memperkuat kemampuan berpikir dan kreasi siswa, bukan sekadar menjadi tujuan akhir dari sebuah kebijakan pengadaan barang.

Oleh karena itu, digitalisasi pendidikan hanya akan berhasil mencapai tujuannya yang mulia jika disertai dengan penyiapan sumber daya manusia yang mampu memaknai teknologi tersebut secara kritis.

baca juga

Pendidik masa kini dituntut untuk mampu menyeimbangkan inovasi digital dengan pendekatan yang humanis dan personal.

Artinya, meskipun proses belajar-mengajar dibantu oleh algoritma dan berbagai perangkat canggih, interaksi sosial dan emosional antara guru dan murid tetap harus menjadi inti dari pendidikan.

Pembelajaran tidak boleh kehilangan konteks kearifan lokal hanya karena terlalu fokus mengejar tren teknologi global. Multiliterasi hadir sebagai jembatan penting agar teknologi tetap memiliki "ruh" kemanusiaan dalam setiap proses transfer ilmu pengetahuan di ruang kelas.

Strategi Kolaboratif untuk Masa Depan Digital

Mewujudkan ekosistem pendidikan yang inklusif dan progresif memerlukan kolaborasi Pentahelix yang melibatkan sinergi antara pemerintah, akademisi, sektor swasta, komunitas, hingga media massa.

Pemerintah tidak bisa berjalan sendirian dalam menyediakan seluruh kebutuhan infrastruktur yang begitu luas.

Perlu ada dukungan nyata dari sektor swasta, misalnya melalui penyediaan akses internet murah bagi lembaga pendidikan, serta peran aktif akademisi dalam merancang modul literasi yang mudah diadaptasi oleh pengajar di berbagai level kompetensi.

Kerja sama lintas sektor ini akan memastikan bahwa beban transformasi digital tidak hanya dipikul oleh satu pihak, melainkan menjadi gerakan nasional yang kolektif.

Langkah strategis yang perlu segera diambil adalah penyusunan peta jalan pelatihan guru yang berbasis pada proyek nyata atau Project Based Learning. Pelatihan untuk tenaga pendidik tidak boleh lagi hanya bersifat teoretis satu arah, melainkan harus melatih guru menciptakan solusi digital atas masalah nyata yang mereka hadapi di kelas masing-masing.

Selain itu, pengembangan kebijakan infrastruktur hybrid yang mengombinasikan akses online dan ketersediaan konten offline menjadi solusi yang sangat penting bagi wilayah-wilayah dengan akses internet terbatas.

baca juga

Dengan demikian, kualitas pendidikan yang bermutu tidak lagi ditentukan oleh lokasi geografis sebuah sekolah.

Keberhasilan transformasi pendidikan ini pada akhirnya tidak boleh lagi hanya diukur melalui indikator kuantitatif sederhana, seperti jumlah gawai atau papan interaktif yang didistribusikan ke sekolah-sekolah.

Indikator keberhasilan harus bergeser pada kualitas output, yaitu sejauh mana peningkatan indeks kritis digital peserta didik kita.

Masa depan pendidikan Indonesia ditentukan oleh kesiapan kolektif kita untuk bertransformasi melalui multiliterasi yang komprehensif.

Sebuah transformasi besar yang tidak hanya memuja kecanggihan teknologi semata, tetapi mampu memadukannya dengan kreativitas tanpa batas serta nilai-nilai kemanusiaan yang luhur demi kemajuan bangsa.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

ND
KG
Tim Editorarrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.