Kawan GNFI, pernah tidak kamu dekat dengan seseorang yang terlihat dewasa, mandiri, bahkan tenang. Namun, begitu hubungan mulai terasa emosional, ia tiba-tiba menjauh, dingin, atau menutup diri?
Bagi sebagian orang, hal ini terasa membingungkan. Hanya saja, dalam psikologi, perilaku seperti ini bukan sekadar “gengsi” atau “nggak butuh pasangan.” Ini dikenal sebagai avoidant attachment style, atau gaya keterikatan menghindar, pola emosional yang membuat seseorang takut pada kedekatan karena melihatnya sebagai ancaman.
Bagi banyak pasangan, menghadapi sosok seperti ini bisa sangat melelahkan. Segala hal yang seharusnya bisa dibicarakan malah dihindari. Setiap kali ada masalah, mereka memilih kabur bukan karena tidak peduli, tetapi karena takut disakiti.
Akar dari Pola Menghindar
Menurut teori Attachment yang dikemukakan oleh John Bowlby (1969), hubungan pertama antara anak dan orang tua membentuk dasar cara kita mencintai di masa dewasa.
Ketika seorang anak tumbuh dalam lingkungan yang minim kehangatan emosional, misalnya orang tua terlalu sibuk, sering meremehkan perasaan, atau jarang memvalidasi emosi. anak akan belajar satu hal:
“Kalau aku menunjukkan perasaan, aku akan ditolak.”
Anak dengan pengalaman seperti ini tumbuh menjadi pribadi yang menekan kebutuhannya akan kedekatan. Ia belajar bertahan dengan cara tidak berharap terlalu banyak.
Saat dewasa, ia tampak kuat dan mandiri, tetapi sebenarnya menjaga jarak untuk melindungi diri dari rasa sakit emosional.
Menjauh Bukan karena Tak Cinta
Dalam hubungan romantis, individu dengan avoidant attachment sering kali dikenal “menyebalkan” karena apa pun masalahnya, mereka “kabur”, menjauh, atau diam tanpa penjelasan.
Padahal, bagi mereka, menjauh adalah cara bertahan hidup. Mereka merasa bahwa terlalu dekat berarti kehilangan kendali atas diri sendiri.
“Terlalu akrab=terlalu rentan. Bergantung=lemah.”
Jadi, mereka menjaga jarak bukan karena tidak butuh cinta, tetapi karena tidak tahu bagaimana membuka diri tanpa merasa terancam. Di balik sikap yang tampak dingin dan rasional, ada luka pengabaian yang belum pulih.
Gaya Cinta yang Terbentuk dari Luka Lama
Penelitian Fraley & Shaver (2000) menjelaskan bahwa individu dengan avoidant attachment cenderung:
- Sulit mengekspresikan emosi,
- Tidak nyaman dengan keintiman,
- dan sering mengandalkan diri sendiri secara berlebihan.
Dalam hubungan, mereka bisa penuh kasih di satu waktu. Lalu tiba-tiba menjauh di waktu lain bukan karena berubah perasaan, tetapi karena kedekatan membuat mereka cemas. Pola ini sering kali terbentuk sejak kecil, misalnya dari kalimat orang tua seperti:
“Udah, nggak usah nangis.”
“Kamu harus kuat.”
“Cinta itu membuat sakit.”
Kalimat seperti itu membuat anak belajar untuk menekan kebutuhannya sendiri, lalu tumbuh menjadi orang dewasa yang berpikir bahwa “tidak butuh siapa pun” adalah bentuk kekuatan.
Menurut Cattlet (PsychAlive, n.d.), individu dengan avoidant attachment cenderung menghindari kedekatan karena sejak kecil terbiasa mengandalkan diri sendiri untuk bertahan hidup secara emosional. Mereka sulit percaya bahwa keintiman bisa aman dan tidak menyakitkan.
Ketika Cinta jadi Pertarungan antara Rasa Takut dan Rasa Ingin Dekat
Dalam hubungan romantis, individu avoidant sering kali terjebak dalam pertentangan batin: ingin dicintai, tetapi takut kehilangan kendali.
Mereka bisa merindukan pasangan, tetapi sekaligus merasa sesak kalau terlalu dekat.
Mereka bisa terlihat acuh, padahal sebenarnya sedang berusaha keras menjaga diri dari rasa sakit yang belum sembuh. Kedekatan terasa berbahaya, karena di bawah sadar, cinta diartikan sebagai risiko, risiko kehilangan, dikhianati, atau dikendalikan.
Belajar jadi Secure Itu Pelan-Pelan
Menyembuhkan diri dari avoidant attachment bukan hal yang instan. Butuh keberanian untuk jujur pada diri sendiri bahwa di balik rasa takut kehilangan kendali, ada luka lama yang ingin dimengerti.
Langkah awalnya sederhana:
berhenti berpura-pura kuat, dan mulai mengakui rasa takut itu.
“Aku takut disakiti.”
“Aku cemas kalau terlalu dekat.”
Begitu perasaan itu dikenali, kita bisa mulai belajar hadir dalam hubungan, meski terasa canggung. Jika dulu, setiap kali ada masalah kamu memilih diam, sekarang Kawan GNFI dapat mengatakan:
“Sebentar ya, aku butuh waktu untuk berpikir.”
“Aku butuh kamu.”
Karena meminta dukungan bukan kelemahan itu tanda keberanian.
Menemukan Keamanan dalam Kedekatan
Menurut teori Bowlby, pola keterikatan bisa berubah seiring pengalaman dan hubungan yang aman. Dengan kesadaran diri, terapi, dan pasangan yang suportif, seseorang dengan avoidant attachment bisa belajar bahwa:
- Kedekatan tidak sama dengan kehilangan kendali,
- Bergantung bukan berarti lemah,
- Cinta yang sehat tidak mengancam kemandirian.
Kawan GNFI, orang dengan avoidant attachment bukan tidak bisa mencintai. Mereka hanya perlu belajar bahwa kedekatan bukan bahaya, melainkan tempat aman untuk tumbuh bersama.
Pelan-pelan, dengan keberanian dan kejujuran, mereka bisa menemukan keseimbangan antara kemandirian dan keintiman. Karena pada akhirnya, setiap orang bahkan yang paling mandiri juga ingin dicintai tanpa harus bersembunyi dari rasa takutnya sendiri.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


