belajar dari romawi kuno seni menempa mental baja ala stoicisme untuk menjawab tantangan generasi muda indonesia - News | Good News From Indonesia 2025

Belajar dari Romawi Kuno: Seni Menempa Mental Baja ala Stoicisme untuk Menjawab Tantangan Generasi Muda Indonesia

Belajar dari Romawi Kuno: Seni Menempa Mental Baja ala Stoicisme untuk Menjawab Tantangan Generasi Muda Indonesia
images info

Belajar dari Romawi Kuno: Seni Menempa Mental Baja ala Stoicisme untuk Menjawab Tantangan Generasi Muda Indonesia


Kawan GNFI, bayangkan sebuah masa ketika masa kanak-kanak bukanlah waktu penuh permainan gawai atau perlindungan berlebih, melainkan sebuah periode singkat penuh latihan keras menuju kedewasaan.

Sejarah mencatat peradaban Romawi Kuno sebagai salah satu imperium terbesar di muka bumi. Namun, dibalik kemegahan koloseum dan disiplin legiun militer, terdapat sistem pendidikan serta pola asuh yang teramat keras.

Bettany Hughes, seorang sejarawan terkemuka, pernah mengungkapkan fakta bahwa anak-anak di zaman Kekaisaran Romawi sudah memikul beban kerja berat segera setelah sanggup berjalan. Kondisi tersebut sangat kontras dengan realitas anak muda zaman sekarang yang sering kali terlena oleh kenyamanan modernitas.

Banyak pengamat sosial menyematkan label "Generasi Strawberry" kepada sebagian anak muda masa kini karena anggapan bahwa mentalitas generasi tersebut mudah lembek saat tertekan, meski tampak indah di luar.

Padahal, tantangan globalisasi menuntut ketangguhan luar biasa. Namun esensi dari ketangguhan mental, disiplin diri, dan filosofi Stoicisme yang dianut masyarakat Romawi kuno memiliki relevansi kuat untuk diadopsi kembali dalam konteks pembangunan karakter bangsa.

Filosofi Kewajiban Mengalahkan Tuntutan Hak

Masyarakat Romawi kuno memegang teguh prinsip hierarki dan kewajiban. Sejak dini, individu muda itu dipersiapkan untuk mengabdi, entah sebagai tentara, petani, atau ibu yang melahirkan penerus bangsa.

Bettany Hughes menyebutkan bahwa anak-anak berfungsi sebagai penyampai pesan atau pekerja rumah tangga. Fokus utama kehidupan yaitu apa yang bisa diberikan kepada keluarga dan negara, bukan apa yang bisa didapatkan dari lingkungan.

Pola pikir tersebut sangat bertolak belakang dengan fenomena sosial di era digital. Kawan GNFI tentu sering melihat kecenderungan banyak individu yang lebih nyaring menuntut hak daripada menunaikan kewajiban.

Budaya menuntut kenyamanan instan sering kali melemahkan daya juang. Prinsip Stoicisme mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari menuruti segala keinginan, melainkan dari pemenuhan tugas hidup sebaik mungkin.

Menempa Ketahanan Mental Lewat Disiplin Otoritas

Ilustrasi pengajaran kepada anak-anak sejak dini
info gambar

Ilustrasi pengajaran kepada anak-anak sejak dini


Struktur keluarga Romawi menempatkan Paterfamilias atau ayah sebagai pemegang kekuasaan mutlak. Otoritas hukum berada penuh di tangan sang ayah, bahkan mencakup hak hidup dan mati anggota keluarga.

Disiplin ditegakkan menggunakan tongkat atau cambuk. Tentu saja, metode kekerasan fisik semacam itu merupakan tindakan barbar yang tidak boleh mendapat tempat di Indonesia modern. Kendati demikian, ada nilai intrinsik yang bisa diambil, yaitu kepatuhan terhadap aturan dan rasa hormat pada hierarki keilmuan atau moral.

Disiplin di dunia modern sering kali terasa longgar. Banyak orang tua merasa takut menegur buah hati, atau guru yang ragu mendisiplinkan murid karena ancaman viral di media sosial. Akibatnya, terbentuklah karakter yang anti-kritik. Maka, dalam membangun mental baja berarti siap menerima teguran keras tanpa merasa tersinggung secara personal. Generasi muda perlu memahami bahwa dunia profesional tidak akan selalu bersikap manis.

Transisi Menuju Kedewasaan: Melawan Sindrom Peter Pan

Budaya Romawi memiliki ritual peralihan yang sangat jelas. Remaja laki-laki yang memasuki usia pertengahan belasan tahun akan merayakan Liberalia. Pada momen tersebut, sosok muda itu menanggalkan pakaian anak-anak dan mengenakan toga virilis, simbol resmi status warga negara dewasa.

Setelah ritual usai, masyarakat tidak lagi memandang individu itu sebagai bocah. Tanggung jawab penuh sebagai pria dewasa langsung membebani pundak. Bandingkan kondisi itu dengan fenomena kidult (orang dewasa yang bersikap seperti anak-anak) atau Peter Pan Syndrome yang marak di abad ke-21. Batas antara masa remaja dan dewasa menjadi kabur.

Banyak individu berusia dua puluhan bahkan tiga puluhan tahun masih bergantung penuh secara finansial maupun emosional kepada orang tua.

Kawan GNFI, Indonesia perlu merumuskan kembali definisi kedewasaan bagi generasi penerus. Bukan sekadar angka usia 17 tahun di KTP, melainkan kemandirian berpikir dan bertindak. Pemuda harus sadar bahwa masa bermain memiliki batas waktu.

Seperti halnya anak Romawi yang membuang mainan tulang jari demi pedang atau alat pertanian, pemuda Indonesia harus berani meninggalkan kenyamanan masa remaja demi memikul beban pembangunan bangsa.

Mengelola Ekspektasi di Tengah Ketidakpastian Takdir

Salah satu fakta paling kelam dari sejarah Romawi yaitu tingginya angka kematian anak. Sejarawan memperkirakan hampir setengah dari populasi anak meninggal sebelum usia sepuluh tahun akibat penyakit dan gizi buruk.

Meskipun sangat berduka, Orang tua Romawi memiliki sikap penerimaan pragmatis yang luar biasa. Sikap tersebut lahir dari pemahaman bahwa ada hal-hal di luar kendali manusia. Inilah inti ajaran Stoicisme, yaitu membedakan apa yang bisa dikendalikan dan apa yang tidak.

Belajar dari ketabahan orang Romawi menghadapi kematian, generasi muda perlu belajar seni "menerima kegagalan". Kegagalan bukanlah akhir dunia, melainkan bagian natural dari proses kehidupan. Memiliki mental baja berarti memiliki kelapangan dada untuk menerima takdir buruk, lalu bangkit kembali dengan strategi baru tanpa berlarut dalam kesedihan.

Pentingnya Membangun Jejaring Sosial Sejak Dini

Ilustrasi membangun jejaring sosial masa kini
info gambar

Ilustrasi membangun jejaring sosial masa kini


Kendati hidup dalam aturan ketat, anak-anak Romawi tetap memiliki akses terhadap kehidupan sosial melalui festival. Acara seperti Saturnalia atau Parentalia bukan sekadar pesta, melainkan sarana edukasi mengenai struktur masyarakat dan penghormatan leluhur.

Bettany Hughes menjelaskan bahwa partisipasi dalam festival mengajarkan anak-anak tentang posisi sosial serta pentingnya koneksi dengan komunitas. Boneka atau mainan kereta kambing hanyalah hiburan sampingan, namun esensi utamanya yaitu interaksi.

Pelajaran berharga bagi Kawan GNFI yaitu pentingnya kemampuan interpersonal. Di era digital, interaksi sering kali terwakili oleh layar kaca. Adanya kemampuan bernegosiasi, membaca bahasa tubuh, dan membangun jejaring secara tatap muka mulai terkikis.

Generasi muda Indonesia pun harus didorong keluar dari kamar, meninggalkan zona nyaman media sosial, dan terlibat aktif dalam organisasi nyata di masyarakat.

Menjadi Romawi Modern Tanpa Menjadi Barbar

Melihat kembali kerasnya kehidupan anak-anak di zaman Kekaisaran Romawi memberikan perspektif baru yang menyegarkan. Ada benang merah yang jelas antara kesulitan hidup dan kualitas karakter.

Kehidupan yang terlalu mudah sering kali melahirkan jiwa yang lemah. Sebaliknya, tantangan yang terukur akan melahirkan jiwa pemenang. Tentu saja, tidak ada satu pun orang waras yang menginginkan kembalinya praktik perbudakan atau hukuman fisik brutal.

Sudah saatnya Kawan GNFI mengambil peran aktif dalam menempa diri. Jadikan setiap kesulitan sebagai latihan, setiap kegagalan sebagai guru, dan setiap tanggung jawab sebagai kehormatan.

Adopsi semangat Stoicisme Romawi terdiri dari teguh dalam prinsip, tenang dalam menghadapi badai, dan tangkas dalam bertindak. Dengan memadukan kecanggihan teknologi masa kini dan ketangguhan mental masa lalu, generasi muda bangsa akan mampu berdiri gagah di panggung dunia.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

TA
KG
Tim Editorarrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.