Bagi mahasiswa rantau di Indonesia, bulan Desember bukan sekadar penanda berakhirnya ujian semester. Momen ini membawa aroma kepulangan yang begitu kental, bertepatan dengan tradisi mudik libur semester serta perayaan Natal dan Tahun Baru.
Stasiun, bandara, hingga terminal mulai dipadati oleh para pejuang ilmu yang rindu akan masakan rumah dan hangatnya dekapan keluarga.
Setelah berbulan-bulan bergelut dengan tugas dan dinamika organisasi, akhirnya kita bisa kembali menikmati tidur di kamar sendiri dan bercengkerama tanpa sekat dengan orang-orang tersayang.
Namun, seiring dengan berakhirnya kalender liburan, muncul sebuah perasaan campur aduk yang sulit digambarkan. Ada rasa antusias karena akan bertemu kembali dengan teman-teman seperjuangan di kampus, tapi ada pula rasa sesak yang mulai menyelinap saat jemari harus kembali mengemas koper untuk berangkat merantau.
Fenomena ini sering kali membuat perjalanan kembali ke perantauan terasa jauh lebih emosional dibandingkan keberangkatan pertama kali.

Koper sudah terkunci rapat, namun rindu pada rumah masih jadi beban terberat untuk dibawa kembali merantau. Photo by Eminent Luggage on Unsplash
Dilema 'Post-Holiday Homesickness': Antara Kenyamanan Rumah dan Realita Rantau
Mengapa kembali ke kota rantau setelah libur panjang terkadang terasa begitu berat? Secara psikologis, homesickness didefinisikan sebagai stres atau gangguan yang disebabkan oleh perpisahan nyata atau antisipasi perpisahan dari rumah dan objek kelekatan. Liburan memberikan kita penguatan (re-inforcement) terhadap rasa aman dan nyaman yang selama ini hanya bisa kita bayangkan dari jauh.
Saat libur berakhir, kita mengalami transisi mendadak dari lingkungan yang penuh dukungan emosional kembali ke lingkungan yang menuntut kemandirian tinggi. Hal ini memicu apa yang disebut sebagai post-holiday homesickness, sebuah kondisi di mana pikiran kita masih tertinggal di kehangatan rumah sementara raga sudah harus berjuang kembali di tanah perantauan.
Waktu luang di awal semester yang biasanya belum terlalu padat sering kali menjadi celah bagi pikiran untuk melakukan perenungan berlebih (rumination) terhadap hal-hal yang kita lewatkan di kampung halaman. Jika tidak dikelola dengan bijak, rasa sedih ini dapat memengaruhi konsentrasi serta motivasi belajar di semester yang baru.
Merawat Asa di Tanah Rantau: Strategi Menghalau Rindu Pasca-Liburan
Agar semangat 'Back to Campus' Kawan tetap terjaga dan tidak terlarut dalam kesedihan yang berlarut, berikut adalah beberapa langkah praktis yang disarankan oleh para ahli untuk mengatasinya:
Membawa Aroma Rumah dalam Dekapan: Jangan biarkan kopermu hanya berisi baju bersih; bawalah stok makanan kering buatan rumah atau benda kecil yang memiliki aroma khas rumah. Membawa barang kesayangan secara ilmiah membantu otak merasa lebih "aman" dan memberikan sinyal akrab (familiar), sehingga transisi di kamar kos tidak terasa terlalu asing.
Mereset Ruang, Menyambut Peluang: Begitu sampai di kos, segera bereskan kamar dan ubah sedikit tata letaknya untuk menciptakan kesan "lembaran baru". Langkah ini membantu Kawan merasa lebih memiliki kendali atas lingkungan sekitar dan mengurangi rasa asing yang muncul pasca-liburan.
Membangun Kembali Jembatan Sosial: Jangan mengurung diri di hari pertama kembali; ajaklah teman sesama perantau untuk makan bersama atau sekadar berbagi cerita liburan. Penelitian membuktikan bahwa dukungan sosial yang kuat di lingkungan baru secara signifikan dapat menurunkan tingkat stres akibat rindu rumah.
Menatap Cakrawala Semester Baru: Fokuslah pada hal-hal menarik yang akan Kawan hadapi, mulai dari mata kuliah baru hingga organisasi yang ingin diikuti. Mengalihkan fokus ke tujuan masa depan secara efektif akan mengurangi intensitas perenungan terhadap kenyamanan masa lalu di kampung halaman.
Menjaga Kedekatan tanpa Kehilangan Kemandirian: Berkomunikasi dengan keluarga tetap penting, namun tetapkanlah jadwal rutin yang teratur, misalnya hanya pada malam hari. Strategi ini bertujuan agar di siang hari Kawan tetap fokus berinteraksi dan beraklimatasi dengan lingkungan kampus tanpa harus merasa tergantung secara emosional setiap saat.
Merantau Sebagai Proses Pendewasaan
Kawan GNFI, perlu kita sadari bahwa menjadi mahasiswa rantau adalah sebuah perjalanan panjang menuju kemandirian yang hakiki. Rasa rindu yang muncul bukanlah tanda kelemahan, melainkan bukti betapa berharganya arti keluarga dalam hidup kita.
Setiap tantangan dan rasa kesepian yang Kawan hadapi di tanah rantau merupakan bagian dari proses pendewasaan yang akan membentuk karaktermu menjadi lebih tangguh di masa depan.
Kembali merantau bukan berarti meninggalkan rumah selamanya, melainkan melanjutkan misi untuk membangun "rumah" masa depanmu sendiri. Jadikan rindu itu sebagai bahan bakar untuk memberikan prestasi terbaik, sehingga saat saatnya pulang nanti, Kawan membawa kebanggaan bagi mereka yang menunggu di rumah. Selamat kembali berjuang di semester baru, para pejuang ilmu!
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


