Dari tren “mikir kidz” hingga “tor monitor ketua”, rasanya istilah dan potongan lagu semacam ini sudah sangat akrab di telinga kita. Tanpa perlu menghafal secara sengaja, lirik dan nadanya sering kali melekat begitu saja di kepala.
Pernahkah Kawan GNFI menyadari, betapa cepatnya tren-tren ini menyebar dan menjadi bagian dari keseharian kita?
Belakangan, media sosial memang semakin mendominasi waktu luang banyak orang. Saat tidak ada aktivitas khusus, scrolling kerap menjadi pilihan utama untuk mengisi waktu. Terutama bagi generasi Z, berselancar di media sosial terasa mudah, menyenangkan, dan seolah tanpa jeda. Tidak jarang, waktu berlalu begitu saja tanpa terasa, bahkan hingga berjam-jam.
Namun, kebiasaan ini perlahan dapat membentuk pola yang kurang sehat. Banyak Kawan GNFI mungkin pernah mengalaminya: saat belajar atau bekerja, fokus menjadi mudah terpecah.
Pekerjaan yang seharusnya bisa selesai dalam dua jam justru molor hingga berlipat-lipat waktunya. Dalam aktivitas sehari-hari seperti makan, membersihkan rumah, berbincang dengan teman, atau sekadar menunggu pesanan datang, tangan refleks membuka ponsel dan mulai scrolling tanpa disadari.
Bagi sebagian orang, media sosial juga menjadi tempat pelarian dari emosi negatif. Saat merasa lelah, sedih, atau cemas, scrolling dipilih sebagai cara cepat untuk menghibur diri. Ditambah lagi dengan rasa takut ketinggalan informasi atau tren terbaru, atau yang sering disebut fear of missing out (FOMO).
Sayangnya, jika dilakukan terus-menerus, kebiasaan ini dapat berdampak pada kesehatan mental, seperti meningkatnya stres, menurunnya kualitas tidur, hingga berkurangnya kemampuan atensi. Lalu, apa sebenarnya yang membuat kita begitu mudah terjebak dalam kebiasaan scrolling tanpa henti?

Ilustrasi scrolling dimana saja. Foto : ROBIN WORRALL di Unsplash
Apa yang Membuat Seseorang Sulit Berhenti Scrolling?
1. Fitur gulir (scrolling feature)
Salah satu penyebab utama datang dari desain aplikasi media sosial itu sendiri. Fitur gulir atau scrolling memungkinkan pengguna terus mengakses konten baru hanya dengan menggeser layar ke atas. Tanpa batas yang jelas, otak tidak mendapatkan sinyal untuk berhenti.
Desain ini merupakan bentuk teknik persuasif yang bertujuan membuat pengguna betah berlama-lama di aplikasi. Konten terus diperbarui secara otomatis, sehingga selalu ada hal baru yang bisa dilihat. Tanpa disadari, jari terus bergerak dan waktu pun terus berjalan.
2. Dopamin dan sistem reward otak
Dari sisi biologis, kebiasaan scrolling juga berkaitan dengan dopamin, yaitu neurotransmiter yang berperan dalam sistem penghargaan dan motivasi otak. Setiap kali Kawan GNFI menerima notifikasi, melihat unggahan menarik, atau mendapatkan respons seperti like dan komentar, otak memprediksi adanya “hadiah kecil” yang memicu rasa senang.
Lonjakan dopamin inilah yang membuat kita terdorong untuk terus membuka aplikasi. Menariknya, penghargaan tersebut diberikan secara tidak menentu. Kadang kita menemukan konten yang sangat menarik, kadang tidak. Pola acak ini justru memperkuat kebiasaan, mirip dengan mekanisme pada perilaku adiktif, di mana seseorang terus mencoba demi mendapatkan kepuasan sesekali (Adam Rudi, A. & Isniani, W., 2024).
Karena rasa senang tersebut hanya bersifat sementara, kita pun kembali lagi untuk mencari sensasi yang sama.
3. Menghindari Emosi yang Belum Terselesaikan
Selain faktor teknologi dan biologis, ada pula aspek psikologis yang berperan. Bagi sebagian orang, scrolling menjadi cara untuk menghindari emosi yang belum terselesaikan. Alih-alih mengolah perasaan dengan berbicara kepada orang terdekat atau memberi ruang untuk refleksi, media sosial dijadikan pelarian cepat.
Akibatnya, emosi negatif tidak benar-benar diproses, melainkan hanya ditunda. Jika terus dibiarkan, perasaan tersebut dapat menumpuk dan berdampak pada kondisi mental secara keseluruhan. Kebiasaan ini mungkin terasa membantu sesaat, tetapi tidak menyelesaikan akar permasalahan.
Pada akhirnya kemajuan teknologi menuntut kita untuk terus beradaptasi. Media sosial, pada dasarnya, bukan sesuatu yang sepenuhnya buruk. Ia dapat menjadi sumber informasi, hiburan, dan sarana terhubung dengan orang lain.
Namun, memahami bagaimana dan mengapa kita bisa terjebak dalam scrolling tanpa henti adalah langkah awal untuk bersikap lebih bijak.
Dengan kesadaran tersebut, Kawan GNFI dapat mulai mengenali batasan, memberi jeda pada diri sendiri, dan menggunakan media sosial secara lebih sehat. Pada akhirnya, teknologi seharusnya membantu kehidupan manusia, bukan justru mengambil alih kendali atas waktu dan perhatian kita.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


