Malam tahun baru rasanya seperti jeda singkat dari kehidupan kota yang tak pernah benar-benar berhenti. Di Jakarta, kita terbiasa menandai pergantian tahun dengan perayaan yang megah.
Ledakan kembang api, seruan hitung mundur, hingga klakson yang saling bersahut-sahutan. Namun, malam terakhir di penghujung tahun nanti, Jakarta memilih cara lain untuk mengucapkan selamat tinggal.
Keputusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk meniadakan kembang api dalam perayaan Tahun Baru 2026 merupakan sebuah sikap. Tema tahun baru yang diusung pada tahun 2026 “Jakarta Global City, dari Jakarta untuk Indonesia”.
Gubernur DKI Jakarta secara terbuka menyatakan bahwa Jakarta memilih solidaritas daripada sebuah pesta besar.
Keputusan tersebut lahir dari pertimbangan empati dan rasa tanggung jawab sosial atas bencana alam yang melanda sejumlah daerah, terutama di wilayah Sumatra.
Dalam situasi seperti ini, perayaan tidak seharusnya mengabaikan situasi kemanusiaan yang sedang dihadapi masyarakat di daerah terdampak.
Perayaan tahun baru di Jakarta dirayakan dengan cara yang berbeda. Delapan panggung disiapkan, tersebar di berbagai sudut kota mulai dari Bundaran HI, Lapangan Banteng, hingga Kota Tua.
Berangkat dari semangat empati dan solidaritas, kemeriahan yang biasanya identik dengan perayaan besar dialihkan menjadi kesederhanaan sebagai wujud rasa sepenanggungan dan penghormatan terhadap saudara-saudara yang tengah menghadapi musibah. Panggung untuk berdoa bukan sekadar bergembira.
Masih dalam rangkaian kegiatan tahun baru 2026, masyarakat diajak untuk berpartisipasi melalui penggalangan donasi untuk membantu saudara-saudara di daerah terdampak, khususnya korban banjir di beberapa wilayah.
Dana yang terkumpul akan disalurkan secara transparan dan tepat sasaran melalui lembaga resmi, sehingga diharapkan dapat meringankan beban para korban sekaligus menumbuhkan rasa empati dan kebersamaan di tengah masyarakat.
Dalam suasana yang lebih khidmat, inti perayaan diisi dengan doa bersama lintas agama.
Momentum ini menjadi ruang refleksi sekaligus penguatan nilai-nilai spiritual dan kebersamaan nasional dalam menghadapi tantangan bersama.
Selaras dengan semangat inovasi dan edukasi, atraksi drone dan videomapping di kawasan Bundaran HI dihadirkan sebagai pengganti kembang api.
Pendekatan ini tidak hanya menghadirkan nuansa modern dan relevan dengan cita-cita Jakarta sebagai kota global, tetapi turut menyampaikan pesan kreatif dan inspiratif, bahwa perayaan dapat tetap bermakna tanpa mengabaikan kepedulian sosial dan tanggung jawab bersama.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta akan menerapkan kebijakan car free night di kawasan Sudirman-Thamrin pada malam pergantian Tahun Baru 2026.
Rekayasa lalu lintas berupa penutupan jalan diberlakukan mulai pukul 18.00 WIB dan dibuka kembali secara bertahap sekitar pukul 01.00 WIB atau menyesuaikan kondisi di lapangan.
Penutupan meliputi ruas Jalan Jenderal Sudirman hingga MH Thamrin yang diteruskan ke Jalan Merdeka Barat. Selama kebijakan ini berlangsung, seluruh kendaraan bermotor tidak diperkenankan melintas demi menjaga kelancaran serta keamanan perayaan malam tahun baru.
Meski demikian, untuk memobilisasi warga, transportasi publik disiagakan hingga pukul 02.00.
Selama kegiatan perayaan malam tahun baru 2026, masyarakat diimbau untuk berpartisipasi aktif menjaga ketertiban bersama.
Warga diharapkan menahan diri untuk tidak menyalakan kembang api secara pribadi, sebagai bentuk kepedulian terhadap situasi kemanusiaan yang sedang dihadapi oleh masyarakat di daerah lain.
Selain itu, penggunaan transportasi publik dianjurkan guna mengurangi kemacetan dan produksi emisi kota, sekaligus mendukung upaya menjaga kualitas udara perkotaan jelang pergantian tahun nanti.
Di saat yang sama, seluruh masyarakat diajak untuk menjaga kebersihan selama perayaan berlangsung, sehingga menciptakan suasana tahun baru yang dirayakan dengan aman, nyaman, dan bertanggung jawab.
Tahun baru tanpa kembang api mungkin dianggap kehilangan daya tarik. Sebagian warga merasa hak mereka untuk merayakan dikurangi. Kritik ini tidak bisa diabaikan, karena Jakarta hidup dari dialog antara pemerintah dan warganya.
Namun kritik tersebut tentunya membuka ruang diskusi yang lebih penting, tentang bagaimana kita memaknai perayaan, dan apa yang sebenarnya kita rayakan setiap pergantian tahun.
Perayaan kali ini mengajarkan sesuatu yang jarang kita sadari tentang pentingnya Jakarta untuk berempati. Bahwa kebahagiaan tidak selalu harus melulu tentang kemewahan. Bahwa menjadi besar tidak selalu berarti menjadi yang paling terang.
Mungkin Jakarta tidak menyala di langit pada malam itu. Namun barangkali, di antara panggung-panggung kecil dan langkah-langkah warganya, ada sesuatu yang mulai tumbuh pelan-pelan.
Kesadaran bahwa kota global bukan hanya soal citra, melainkan soal rasa.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


