Terdapat sejumlah data manuskrip yang terus dihikayatkan secara musalsal di dunia Pertarekatan Padangan. Di antaranya Rantai Bumi Kasepuhan — azimat yang menjadi pengapesan Londo Jowo dan Londo Holland.
Azimat Rantai Bumi merupakan salah satu pusaka yang cukup masyhur di Padangan. Pusaka ini dipercaya mampu meredam setiap kecamuk perang di Tanah Jawa. Banyak para pejuang dan para pemimpin Jawa yang melakukan kontemplasi di Padangan, dalam rangka bertabaruk pada azimat peredam gejolak peperangan tersebut.
Pada masa Perang Jawa (1825 M), rombongan Pangeran Diponegoro, Raden Sosrodilogo, Kiai Mojo, Sentot Ali Basya, beserta para pasukannya datang ke Padangan — bahkan berkeluarga dan membangun markas — untuk bertabaruk dengan azimat Rantai Bumi ini. Sejarah mencatat, dua istri Pangeran Diponegoro yang bernama RA Retnakusuma dan RA Retnaningsih berasal dari sini.
15 tahun sebelum Perang Jawa, tepatnya pada masa Perang Hutan Jati (1810 M), Raden Notowijoyo Panolan (mertua Pangeran Diponegoro), Raden Sumonegoro Padangan (mertua Kiai Mojo), dan Raden Ronggo Madiun (ayah Sentot Ali Basya) juga datang ke Padangan, untuk bertabaruk dan tafaulan dengan pusaka Rantai Bumi, dalam rangka menghadapi Londo Jowo dan Londo Holland.
Pada masa yang jauh lebih lama lagi, tepatnya pada masa Perang Giyanti (1755 M), Raden Wirosentiko Madiun (kakek Raden Ronggo Madiun), Raden Tjarangsoko Malangnegoro (kakek Raden Sumonegoro Padangan), dan Raden Notowijoyo Sepuh (kakek Raden Notowijoyo Panolan), juga bertabaruk pada Rantai Bumi, dalam rangka menghadapi Londo Jowo dan Londo Holland. Ketiga tokoh ini berafiliasi dengan Kesultanan Jogjakarta.
Baca Selengkapnya