Di hari yang sunyi nanti, kita akan sadar bahwa pendidikan sejati adalah perjalanan pulang menuju diri sendiri. Di sana; ngerti, ngroso, dan nglaku bukan sekadar konsep, tapi cara hidup dan mencintai dunia.
Sekolah-sekolah kita berdiri megah di tengah kota yang bising—papan namanya berkilau, slogan-slogannya berwibawa. “Mencetak Generasi Emas.” “Menyiapkan Pemimpin Masa Depan.” Tapi di ruang-ruang kelas yang dingin oleh pendingin udara dan kering oleh imajinasi, anak-anak duduk diam, menyalin kata-kata dari layar proyektor ke buku catatan yang akan segera dilupakan.
Baca Juga: Yang Terlupakan; antara Riset, Rumput Tetangga, dan Dedaunan Tropis
Mereka diajari untuk ngerti—memahami rumus, menghafal definisi, mengulang teori. Tapi di mana ngroso dan nglaku yang pernah diajarkan Ki Hadjar Dewantara sebagai napas pendidikan sejati? Tiga kata itu—ngerti, ngroso, nglaku—bukan sekadar urutan proses belajar, melainkan trilogi kemanusiaan.
Ngerti berarti memahami dengan akal; ngroso berarti menyelam ke kedalaman rasa; nglaku berarti menjadikan pengetahuan dan rasa itu nyata dalam tindakan. Di situlah pendidikan menjadi hidup, bukan sekadar administrasi. Tapi hari ini, kita hanya berhenti di kepala. Sekolah menjadi industri informasi, bukan taman bagi pengalaman.
Baca Selengkapnya