Jika Barat lahir dari akal yang menguasai, maka Nusantara akan lahir kembali dari roso yang menyembuhkan
Di sebuah ruang kuliah tua, di bawah cahaya neon yang berpendar temaram, Prof. Jiang Quexin berbicara dengan nada lembut yang menembus dinding kesadaran. Kalimat-kalimatnya tidak meluap-luap seperti pidato para orator, tapi mengalir pelan, jernih, dan menampar dengan tenang.
“Apakah kita masih memiliki akar,” katanya, “atau kita sudah menjadi bayang-bayang dari pikiran orang lain?”
Mahasiswa-mahasiswa di depannya diam. Beberapa mencatat, sebagian lainnya termenung. Di papan tulis, kata peradaban tertera besar, di bawahnya tergurat garis panjang, seolah menandai jeda sejarah yang belum tuntas.
Prof. Jiang berbicara tentang dunia yang berubah cepat, tapi kehilangan arah moralnya. Tentang Barat yang membangun kekuatan dari literasi, dari disiplin teks dan logika Aristoteles, dari keyakinan bahwa manusia harus dituntun oleh kitab dan aturan agar tidak jatuh dalam dosa.
Baca Selengkapnya