Berbicara mengenai Nias pasti tidak jauh-jauh dari tradisi lompat batunya yang sangat masyhur itu. Hal yang paling dicari oleh wisatawan ketika berkunjung ke Nias pastilah momen-momen kebudayaan suku Nias yang sangat kaya. Pernahkan Kawan GNFI menyaksikannya secara langsung?
Selain daya tarik pariwisata kebudayaan yang dimiliki, suku Nias juga menarik untuk dibahas. Mulai dari asal-usul suku Nias berasal dari kahyangan hingga tradisi pernikahan adatnya. Namun, kali ini kita akan membahas mengenai persebaran suku Nias di Pulau Sumatra.
Suku Nias adalah suku yang tidak hanya tinggal di Pulau Nias saja tetapi mereka juga melakukan perantauan di wilayah sekitarnya dan membentuk sebuah komunitas. Salah satu wilayah migrasi suku Nias adalah Pulau Tuangku.
Pulau ini terletak di Kabupaten Aceh Singkil, yang berada tepat di utara Pulau Nias. Penduduk di pulau ini terdiri dari berbagai suku seperti Minangkabau, Nias, Simeulue, Mandailing, dan Batak.
Pulau Tuangku ini terdiri dari empat desa administrasi. Dua di antaranya adalah desa yang dihuni oleh suku Nias, yakni Desa Ujung Sialit dan Desa Makmur. Meskipun kedua desa ini memiliki etnis yang sama, tetapi yang membedakan adalah agama yang dianut oleh masyarakat kedua desa tersebut.
Selain itu, meskipun di Suka Makmur suku yang mendiami adalah Nias, budaya dan adat istiadat yang dijalankan telah sepenuhnya berganti mengikuti adat Kemukiman Haloban, yang mengadopsi adat Aceh dan Minangkabau.
Adapun Desa Ujung Sialit masih mempertahankan adat Nias sebagaimana yang terdapat di Pulau Nias. Namun, beberapa ada yang mengalami penyederhanaan untuk menyesuaikan zaman, seperti tradisi pernikahan.
Oleh karena itu, meskipun Ujung Sialit secara administrasi adalah wilayah Aceh Singkil, tetapi tradisi dan identitas masyarakatnya sebagai orang Nias masih sangat kuat.
Sejarah Desa Ujung Sialit
Terbentuknya masyarakat Nias di Desa Ujung Sialit ini memiliki kisah yang menarik untuk disimak. Sebagaimana peradaban kerajaan di Pulau Tuangku, yang diperkirakan telah ada sejak abad ke-17, Ujung Sialit juga memiliki sejarahnya sendiri.
Sejarah ini dikisahkan secara lisan dan turun-temurun. Oleh karena itu, artikel ini ditulis berdasarkan wawancara kepada Pak Abadi Zega, cucu dari salah satu pendiri desa.
Diceritakan pada saat Pulau Tuangku masih berbentuk kerajaan, terjadi banyak pencurian ikan. Kekayaan sumber daya alam yang dimiliki membuat banyak orang dari pulau lain mengambilnya yang bukan haknya tanpa izin.
Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, raja yang memerintah pada masa itu memanggil orang-orang yang memiliki kekuatan supranatural untuk mengatasinya.
Orang-orang tersebut berasal dari berbagai wilayah, termasuk Nias. Cara yang dilakukan oleh seorang Nias tersebut adalah menutupi Pulau Tuangku agar tidak terlihat oleh kapal-kapal pencuri tersebut. Pulau Tuangku pun berhasil disembunyikan dari penglihatan mereka.
Atas jasanya tersebut, ia diberi raja sebuah tanah untuk ditinggali. Tanah tersebut terpisah dari pusat kerajaan dan semakin lama semakin banyak orang-orang Nias berdatangan ke tanah tersebut untuk merantau. Tanah tersebut sangat kaya akan sumber daya alam laut, terutama teripang.
Menghadapi Dinamika Sosial Politik
Seiring perkembangan situasi sosial politik, kerajaan di Pulau Tuangku tersebut lebur menjadi kecamatan Pulau Banyak. Wilayah yang ditempati orang-orang Nias tersebut saat itu masih belum memiliki nama.
Mereka sempat berpikiran untuk menamai wilayah yang menjadi desa tersebut dengan nama ”Nias 2” yang berarti pecahan dari penduduk Pulau Nias.
Dinamika sosial politik pada masa Orde Baru tersebut pernah membuat mereka hampir terusir karena kecemburuan sosial. Oleh karena itu, salah satu tokoh di desa tersebut mencari cara agar mereka dapat mempertahankan wilayahnya.
Akhirnya, seorang yang menjadi salah satu founding fathers Desa Ujung Sialit tersebut memanfaatkan momen pemilu pada masa Orde Baru untuk mendapatkan izin bermukim di sana melalui perantara surat dari camat di Pulau Nias.
Akhirnya, terjadi upaya negosiasi budaya berupa perjanjian. Perjanjian tersebut menyatakan bahwa mereka diperbolehkan mengonsumsi babi pada saat ppesta-pesta adat, tetapi tidak diizinkan untuk diternakkan di wilayah tersebut.
Ketika situasi kondusif, orang-orang yang sempat mengungsi ke Nias kembali lagi ke wilayah tersebut. Namun, wilayah tersebut belum juga memiliki nama. Asal-usul pemberian nama Ujung Sialit akhirnya terbentuk dari penyebutan sebuah daerah tempat biasa mereka berburu teripang.
Ada sebuah tempat yang bernama “Si Alit”, tempat tersebut berada di “ujung” dan mereka biasa bertandang ke sana untuk mencari hasil laut. Akhirnya karena nama tersebut sering diucapkan dalam keseharian masyarakat, terbentuklah nama Desa Ujung Sialit.
Orang-orang Nias di Ujung Sialit adalah sebuah cermin sebuah masyarakat yang sangat Tangguh dalam menghadapi berbagai bentuk dinamika sosial politik. Kekeluargaan yang tercipta dari kekuatan identitas sebagai orang Nias membuat mereka dapat beradaptasi dalam perubahan zaman.
Sumber:
Zega, A. (2024, Juli 29). Wawancara Asal-usul Desa Ujung Sialit. (Y. H. Aqilah, Pewawancara)
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News