#LombaArtikelPKN2023
#PekanKebudayaanNasional2023
#IndonesiaMelumbunguntukMelambung
Nias adalah salah satu suku yang ada di wilayah stastistik Sumatera Utara. Nias memiliki budaya yang sangat kental dengan keberagaman dan warisan nenek moyang yang dipegang teguh dan kuat. Walaupun hari-hari ini, Nias dikenal dengan pantainya yang sangat indah dan gelombang laut yang mempesona. Namun, tak kalah penting dari itu, Nias mempunyai nilai budaya yang sangat unik dan tertata rapi. Salah satu daerah di Pulau Nias yang terkenal dengan kebudayaan niha raya adalah daerah Nias Selatan yang berada di Kota Telukdalam. Nias Selatan yang memang sedikit berbeda dari kebudayaan Nias pada umumnya mengisahkan kebudayaan yang sangat memukau.
Nias Selatan memiliki perbedaaan dari segi bahasa dan juga budaya lisan maupun tertulisnya. Walaupun dalam konteksnya orang Nias secara umum paham apa yang dimaksud. Salah satu hal yang paling fenomenal di kabupaten Nias Selatan ini adalah hadirnya Famato (ritus) Harimau yang dipercayai oleh masyarakat setempat sebagai wujud dari ketetapan hukum perdamaian (fondrako). Dalam buku yang berjudul Ritus Patung Harimau yang ditulis oleh Pastor Johannes M. Hammerle, OFMCap (2010:5) menyampaikan bahwa Famato Harimau ini adalah hukum ketetapan yang wajib dibanggakan oleh warga Nias ditingkat daerah, nasional, maupun internasional.

Baju adat Nias Selatan|Foto: Dismas Ndruru
Famato Harimau memunculkan hukum perdamaian dan ketetapan-ketetapan yang sangat banyak untuk masyarakat Nias Selatan. Sebut saja salah satunya hukum perdamaian (denda) serta ketetapan bagi warga Nias Selatan yang melakukan perbuatan atau tingkah laku yanag kurang berkenan di tengah-tengah masyarakat umum. Hal ini bisa kita saksikan bahwa Nias Selatan telah menertibkan hukum perdamaian dan ketetapan ini dalam kehidupan bermasyarakat dan berdampingan dalam satu desa maupun orahua mbanua (kumpulan warga).
Hukum yang dimaksud ini adalah selaras dengan lagu Nias yang sering diperdengarkan bahwa begitu banyak batasan yang tidak diperbolehkan dalam suku Nias. Yang paling terutama adalah bagaimana laki-laki dan perempuan dalam menjalin hubungan. Lirik lagunya demikian : Tebai ba nono Niha, Tebai ba nono Niha, Waoya zi tebai-tebai mano (Tidak boleh di suku Nias, Tidak boleh di suku Nias, sungguh banyak yang tidak boleh di suku Nias).
Hukum perdamaian dan ketetapan ini sungguh sangat membudaya dan dilestarikan oleh Nias Selatan secara khusus. Asal mula ketetapan ini adalah datang dari leluhur Nias yang dikenal dengan Tuada Hia (leluhur yang bernama Hia). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Johannes M. Hammerle (2010:164), menceritakan bahwa Hia pada mulanya memiliki banyak anak hingga tersebar di berbagai daerah di Nias. Setelah dia meninggal, tubuh Hia yang sedang berbaring kaku itu tiba-tiba berbicara dan membuat semua anaknya terkejut. Karena tubuhnya yang begitu berat, membuat Hia menyuruh anak-anaknya untuk menyimpan jantungnya saja di dalam sebuah botol. Kemudian, jantung Hia ini terus berbicara dan memberikaan hukum perdamaian dan ketetapan untuk anak-anaknya dan terbawa hingga saat ini.
Laki-laki dan perempuan dalam menjalin hubungan memiliki hukum perdamaian dan ketetapan. Seorang laki-laki harus menghormati perempuan dalam aktivitas yang dia lakukan setiap harinya. Laki-laki tidak diperkenankan melakukan hal-hal yang merendahkan harga diri perempuan terutama tentang fisik, tempat dimana perempuan beraktivitas, atau bahkan melakukan perbuatan zinah.
Hukum Perdamaian dan Ketetapan
Di suku Nias, hukum perdamaian dan ketetapan ini telah dilaksanakan di tengah masyarakat Nias hingga hari ini. Artinya, apabila ada hal yang dilanggar maka hal tersebut telah ditetapkan dalam hukum perdamaian kepada pihak laki-laki maupun perempuan dimana ada beberapa hal yang harus dibayarkan kepada pihak desa dan penatua adat setempat. Beberapa aturan yang telah ditetapkan itu, pertama apabila ada laki-laki memegang tangan perempuan yang bukan istrinya maka akan diberikan hukum damai sebesar 3 paun emas dan 4 alisi babi (ukuran babi di Nias disebut alisi ).
Kedua, laki-laki tidak boleh mandi di tempat pancuran perempuan begitu juga sebaliknya. Jika hal ini dilanggar maka akan di denda sebesar 4 alisi babi. Ketiga, baik laki-laki maupun perempuan tidak diperkenankan melintasi pancuran tempat dimana warga sedang mandi, atau bahkan dengan secara sengaja berteduh ditempat pancuran bahkan jika itu adalah saudaranya sendiri. Sebagai hukum perdamaian dan ketetapan yang berlaku adalah pelaku memberikan 100 kg daging babi kepada korban dan atau diselesaikan secara kekeluargaan namun wajib memberikan upeti atau bibit anak betina kepada korban (Johannes M. Hammerle, 2010 : 180).
Hukum perdamaian dan ketetapan ini telah berlangsung selama berpuluh-puluh tahun dan hampir seluruhnya daerah di Nias memberlakukan hal ini. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa seiring perkembangan zaman, hukum perdamaian ini memang masih kental dan masih ada di Nias Selatan, hanya perlu digarisbawahi hal ini tidaklah sama secara keseluruhan di setiap desa sekarang ini.
Akan tetapi, hukum perdamaian dan ketetapan ini adalah suatu kebanggaan yang memiliki nilai positif di tengah masyarakat Nias. Mengapa? Karena ini membuat warga Nias berhati-hati baik dalam tindakan kepada sesama maupun penjagaan lisan kepada orang lain. Nias Selatan saat ini memang tengah berhadapan dengan perkembangan zaman yang menghadirkan teknologi canggih. Namun, tentu ini menjadi perhatian bersama bahwa mengumandangkan hukum perdamaian dan ketetapan sebagai wujud budaya yang positif di tengah masyarakat terutama kepada generasi muda adalah hal yang wajib. Generasi muda diharapkan mampu melestarikan hal ini demi kebaikan suku Nias ke depannya sehingga budaya yang telah lahir dengan sempurna tetap utuh dan abadi.
Penulis : Angela Yurmani Giawa
No. HP : 082236858060
Alamat : Jalan Diponegoro 26 B Telukdalam, Nias Selatan
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News