Selain tiga kerajaan Islam di Maluku, masih ada beberapa kesultanan yang mempunyai peranan dalam penyebaran agama Islam di wilayah Timur Indonesia. Walau wilayahnya mungkin tidak sebesar ketiga kesultanan di Maluku yang sebelumnya dibahas. Mau tahu bagaimana sejarah kerajaan Islam di Maluku lainnya? Yuk, simak sampai habis!
Kesultanan Bacan
Kerajaan ini sudah ada sejak tahun 1322 di bawah kepemimpinan Raja Said Muhammad Bakir. Kala itu, kerajaan tersebut berada di Pulau Makian dan mengungsi ke Pulau Bacan karena aktivitas Gunung Kie Besi, yang mana, pemindahan inilah yang akhirnya menjadi salah satu momen kejayaan Kerajaan Bacan.
Menariknya, masa kebesaran Kerajaan Bacan sebagai kesultanan Islam terjadi bersamaan dengan era dominasi kuat dari kerajaan beraliran Hindu.
Kerajaan Bacan sendiri baru menjadi kesultanan Islam sejak kepemimpinan Zainal Abidin pada tahun 1522.
Kesultanan Bacan dikenal karena peran besarnya dalam masuknya Islam ke tanah Papua. Berbeda dengan 3 kesultanan islam besar lainnya, masa kejayaannya terjadi saat kerajaan ini belum berlandaskan ajaran agama tersebut.
Adapun wilayah Kesultanan Bacan sendiri meluas hingga ke Sulawesi Utara dan sebagian Filipina.
Walau sempat jatuh ke bawah kendali VOC pada tahun 1609, tapi hingga kini, Kesultanan Bacan terus eksis tanpa pernah menghilang seperti 3 kesultanan besar lainnya. Terakhir, kerajaan tersebut dipimpin oleh Sultan Dede Irsyad Maulana Syah sejak tahun 2024.
Kesultanan Tanah Hitu
Kerajaan Tanah Hitu sempat menjadi salah satu pusat perdagangan rempah di Kepulauan Maluku yang sudah berdiri sejak 1470. Tidak banyak sejarah yang tercatat dari kerajaan ini. Namun, masa keemasan Tanah Hitu adalah ketika berhasil memberantas total Portugis dan pengaruhnya dari tanah mereka (1520—1605) setelah perjuangan yang lama.
Keruntuhan kesultanan ini mulai terlihat sejak tahun 1599 ketika Belada tiba di Tanah Hitu, kemudian membangun VOC dalam upaya merebut Benteng Kapahaha. Tak berselang lama, di tahun 1606 Kota Ambon berhasil dikuasai Belanda.
Kedua hal ini membuat Kapitan Telukabessy geram, lalu terjadilah perang besar pada tahun 1634–1643 (Perang Wawane) dengan hasil kekalahan pada kubu Maluku. Hingga pada akhirnya, Kesultanan Tanah Hitu berakhir karena dibubarkan Belanda (1682).
Kerajaan Iha
Iha adalah kerajaan yang berlokasi di sebelah utara Pulau Saparua, Maluku Selatan. Masuknya agama Islam di Kerajaan Iha diperkenalkan oleh Tengku Umar, seorang mubaligh (juru bicara, juru dakwah) asal Aceh pada tahun 1480. Kala itu, kesultanan ini dikenal dengan penduduknya yang sebagian besar punya keahlian sebagai pandai besi.
Sebelum datangnya Portugis dan Belanda, Kerajaan Iha memiliki tujuh buah negeri (provinsi), meliputi daerah yang luas, di antaranya adalah Negeri Kulur hingga ke perbatasan Negeri Ullath.
Pada abad ke-18, Belanda hanya mengizinkan beberapa perwakilan dari Kerajaan Iha dari pesisir selatan Pulau Seram untuk kembali menetap di Hatawano. Pada 1860, Jan Baptist Jozef van Dorenz mencatat masyarakat Kesultanan Iha hanya ada 70 orang. Kemudian, 20 tahun setelahnya, populasi negeri ini meningkat menjadi 247 jiwa, menjadi angka yang terkecil di Saparua.
Pada 1999, saat puncak tragedi Ambon, masyarakat Iha harus berjuang mempertahankan negeri sekaligus masjid mereka dari gempuran 'perang saudara'. Hingga pada puncaknya, masyarakat Iha terpaksa harus meninggalkan tanahnya ke pulau lain seperti Liang, Sepa, Tamilouw, dan Luhu.
Kesultanan Huamual
Kesultanan Huamual yang berdiri pada tahun 1256 memiliki kekuasaan terbentang dari ujung selatan Seram Barat, Tanjung Sial, menuju utara. Kesultanan ini merupakan ekspansi dari kekuasaan Islam Ternate dan mempunyai peran besar dalam penyebaran ajaran Islam di Maluku Tengah.
Namun, setelah kedatangan bangsa Portugis dan Spanyol, wilayah Huamual yang semula ada 99 negeri (provinsi), tersisa hanya 1 negeri, yakni Luhu, akibat pecahnya Perang Huamual di tahun 1602—1651.
Kemudian, runtuhnya kerajaan ini makin didorong saat masa pemerintahan Belanda di 3 periode, yaitu era Gubernur Van Diemen, Gubernur Jan Pieters Coen, dan Gubernur Arnold de Vlamingh van Oudshoorn (sepanjang tahun 1655—1661). Sebab, mereka kerap menggunakan kekerasan saat memonopoli perdagangan. Ini membuat masyarakat di Negeri Luhu melarikan diri ke daerah lain seperti Negeri Liang, Negeri Soya, hingga Pulau Buru.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News