Memasuki awal tahun baru, yaitu Tahun 2025 ini pemerintah negara kita kembali membuat "gebrakan". Pemerintah Republik Indonesia resmi menerbitkan Instruksi Presiden atau Inpres Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2025. Kata kuncinya satu, yakni efisiensi. Efisiensi atau dapat disebut diet anggaran pada lini pemerintahan.
Dengan dalil pengalihan dan optimalisasi anggaran untuk keperluan masyarakat yang lebih penting dan lebih luas, Presiden Prabowo menerbitkan Inpres tersebut. Menurutnya, Inpres Nomor 1 tahun 2025 wajib dipedomani secara top down oleh seluruh pimpinan kementerian/lembaga, badan hingga pimpinan tingkat daerah. Konsep dan hierarki top down alias terstratifikasi mulai pucuk pimpinan paling atas hingga kalangan rakyat jelata tingkat paling bawah. Tidak heran, karena latar belakang beliau adalah militer yang dikenal sebagai penganut konsepsi setia pada garis komando dalam setiap pelaksanaan tugas.
Pemerintah mengklaim dapat melakukan pemangkasan anggaran sebanyak Rp306,6 triliun pada tahun 2025, sesuai informasi yang dilansir Biro Pers Media dan Informasi Sekretariat Presiden Republik Indonesia pada situsweb www.presidenri.go.id.
Namun apakah semudah itu melakukan efisiensi anggaran pada wilayah Republik Indonesia? Mengingat bangsa kita memiliki pluralitas kondisi sosio ekonomi, geografi dan kultural. RI memiliki wilayah geografis meliputi 38 provinsi dan 514 kabupaten kota mulai Sabang sampai Merauke dengan sejumlah dilematika permasalahan.
Hiruk Pikuk Pagar Laut, Tabung Gas 3 Kilogram Hingga Pembahasan THR dan Gaji ke-13 Bagi Aparatur Sipil Negara
Belum lama ini pada pemberitaan media berskala nasional, kita disuguhkan berita mengenai adanya laut yang dipagari sepanjang lebih dari 30 kilometer di wilayah Kabupaten Tangerang. Lahan yang berdasar informasi adalah proyek salah satu PSN (Program Strategis Nasional) yang dikelola pihak pengembang properti Agung Sedayu Group.
Pertanyaan sederhana muncul pada benak masyarakat, bagaimana bisa laut dipagari dan diterbitkan sertifikat berstatus Hak Guna Bangunan (HGB) maupun Sertifikat Hak Milik (SHM)? Mengingat konstitusi negara kita menjamin bahwa area laut adalah sah milik negara dan tidak boleh dikuasakan kepada siapapun secara pribadi atau konglomerasi, termasuk perusahaan pengembang swasta.
Alhasil, setelah ramai, para aparat penegak hukum (APH) bergerak. Puluhan birokrat di pertanahan, pemerintah daerah hingga aparat desa kena getahnya. Ada yang dipecat, diproses hukum dan harus menjalani proses penyelidikan serta penyidikan di muka hukum. Yang salah harus tetap salah, dan yang benar biarlah tetap benar.
Selanjutnya pada awal bulan Februari 2025 publik terhenyak dengan kebijakan kontroversial menteri ESDM Bahlil Lahadalia yang sempat membuat "gaduh" masyarakat. Menteri ESDM sempat menerbitkan aturan bahwa warung pengecer tidak diperbolehkan menjual langsung tabung gas "melon" kepada publik.
Menurutnya, masyarakat jika ingin mendapatkan tabung gas subsidi 3 kilogram, harus datang membeli ke pangkalan resmi milik Pertamina. Kebijakan yang mungkin terdengar tidak populis, karena wilayah Indonesia teramat sangat luas.
Banyak daerah kabupaten yang jauh dari kota menjadi "direpotkan" aturan ini dimana tempat tinggal mereka sangat jauh dari pangkalan resmi Pertamina. Sebut saja warga yang tinggal di pedesaan dan hutan di wilayah Lampung, Kalimantan, Sulawesi hingga Papua. Mereka harus menempuh jarak antara puluhan kilometer hingga ratusan kilometer untuk menjangkau pangkalan resmi.
Belum lagi jika ada persyaratan administrasi kependudukan KTP dan pembatasan kuota gas 3 Kg diberlakukan oleh pangkalan Pertamina tersebut. Lantas, bagaimana dengan rakyat yang sudah bepergian jauh ratusan kilometer dari rumah, lalu kehabisan tabung gas 3 kilogram setibanya mereka di lokasi pangkalan?
Implikasi seperti ini yang wajib dilakukan prediksi dan mitigasi risiko secara lebih cermat oleh pemangku kebijakan dan bukan dengan kebijakan yang asal serampangan. Sekelumit pelajaran berharga bisa diambil, yakni jika ingin membuat suatu kebijakan, jangan anut prinsip javasentris. Ya, javasentris yang menitikberatkan kepada wilayah Pulau Jawa saja. Padahal Indonesia sangat luas dan beragam memiliki wilayah 17.000 pulau lebih.
Aturan tak populis ini telah merenggut 2 orang korban jiwa, setidaknya di Tangerang Selatan dan Demak, Jawa Tengah. Di mana sebagian besar pengantre tabung gas 3 kilogram notabene didominasi kalangan ibu rumah tangga. Ada ibu rumah tangga menjadi korban, karena harus merenggang nyawa saat mengantre tabung 3 kg.
Lalu ada pula yang wafat akibat kecelakaan lalu lintas, ketika sedang keliling mencari tabung 3 kg. Nah, kira-kira siapa elit di Republik Indonesia yang berani mengacungkan tangan dan bernyali mengatakan bahwa "Saya yang Salah" dan dengan jantan mengatakan dirinya yang harus bertanggung jawab? Pelajaran berharga berikutnya, beranilah mengakui kesalahan secara jantan, terutama kepada rakyat.
Belakangan, kebijakan tersebut akhirnya dianulir oleh Istana Kepresidenan Republik Indonesia pada Hari Rabu, 5 Februari 2025. Warung pengecer dibolehkan kembali menjual tabung gas 3 kilogram kepada masyarakat. Kebijakan yang ditunggu oleh jutaan rakyat Indonesia.
Terakhir, bahwa konsep efisiensi juga ikut bersinggungan langsung dengan kesejahteraan para ASN di tahun 2025, yakni, kebijakan pencairan Gaji ke-14 (Tunjangan Hari Raya) pada Hari Besar Idul Fitri, dan Gaji ke-13 yang lazimnya dicairkan pada Bulan Juli. Informasi yang beredar pada beberapa badan dan lembaga, bahwa ada efisiensi bahkan peniadaan THR dan gaji ke-13 bagi kalangan ASN pada tahun 2025 ini.
Namun pemberitaan yang dilansir CNBC Indonesia pada Hari Rabu 5 Februari 2025, menginformasikan bahwa pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan RI tetap akan mencairkan THR maupun Gaji ke-13 pada tahun 2025. Berapa besarannya? Kita tunggu saja tanggal mainnya Kawan GNFI. Biasanya besaran gaji ke-13 dan THR akan terbit dalam Peraturan Pemerintah yang akan diterbitkan resmi mendatang pada tahun 2025 ini.
Yang jelas kita sama-sama berharap kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dengan Kabinet Merah Putih Era 2024-2029 dapat merealisasikan Asta Citabagi seluruh tumpah darah Indonesia.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News