kearifan lokal suku lio di flores ntt dari sejarah penanggalan khas hingga upacara adat - News | Good News From Indonesia 2025

Kearifan Lokal Suku Lio di Flores NTT, dari Sejarah, Penanggalan Khas, hingga Upacara Adat

Kearifan Lokal Suku Lio di Flores NTT, dari Sejarah, Penanggalan Khas, hingga Upacara Adat
images info

Kearifan Lokal Suku Lio di Flores NTT, dari Sejarah, Penanggalan Khas, hingga Upacara Adat


Dalam kehidupan masyarakat, terdapat kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun sebagai bagian dari pengetahuan dan cara hidup. Namun, seiring dengan arus modernisasi dan perubahan zaman, sebagian nilai-nilai tersebut perlahan mulai tergerus dan kehilangan peran pentingnya dalam kehidupan sehari-hari.

Masyarakat Lio dikenal memiliki kearifan lokal yang tercermin dalam cara mereka menata lingkungan dan menjalani kehidupan secara selaras dengan alam. Nilai-nilai ini lahir dari proses adaptasi panjang dan membawa dampak positif bagi kelestarian hidup. 

Meski begitu, suku Lio tetap menonjol sebagai salah satu komunitas yang gigih menjaga dan melestarikan warisan budaya leluhur mereka. Mari Kawan kita mengenal kearifan lokal yang dimiliki oleh suku Lio dari Flores!

baca juga

Sekilas Tentang Suku Lio

Suku Lio merupakan kelompok etnis mayoritas di Kabupaten Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Lio sendiri berasal dari falsafah “Sa Li, Sa Ine, Sa One” atau sebaya, seibu, sekeluarga.

Mereka menamakan dirinya "Ata Lio" dan menggunakan bahasa Lio (sara Lio) sebagai alat komunikasi sehari-hari. Mata pencaharian utamanya adalah bertani, dan sebagian di wilayah pesisir menjadi nelayan. 

Secara geografis, wilayah Lio berada di Flores bagian tengah dan mencakup beberapa kecamatan di Ende serta sebagian wilayah timur yang masuk Kabupaten Sikka. Hingga kini, masyarakat Lio tetap menjaga warisan budaya dan identitasnya dengan kuat.

Sejarah Suku Lio

Asal usul suku Lio dikelilingi oleh berbagai mitos yang menarik. Salah satu cerita yang diyakini sebagian masyarakat Ende-Lio menyebutkan bahwa nenek moyang mereka berasal dari Indocina dan datang menyeberangi lautan dengan perahu panjang menuju Flores Tengah melalui Aewora. 

Mereka membawa berbagai keterampilan hidup, seperti berburu, menangkap ikan, menanam padi ladang, hingga menenun. Versi lain menyebutkan adanya kelompok yang datang melalui Wewaria dari Malaka, membawa sistem budaya dan lembaga sosial-politik yang menjadi fondasi kebudayaan Lio. 

Bahkan, ada pula kisah yang menghubungkan asal-usul suku Lio dengan keturunan bangsawan dari Kerajaan Majapahit di Jawa.

Sementara itu, menurut cerita lisan lokal, masyarakat Lio pertama kali muncul dari kawasan pegunungan tinggi Lepembusu di wilayah Desa Wolotolo. Di sana, komunitas adat dipimpin oleh empat Mosalaki (kepala suku) dan tujuh Kopokasa (wakil kepala suku), yang menjalankan perannya sesuai dengan warisan leluhur. 

Mereka tinggal di Sao Ria (rumah besar) dan membangun permukiman adat lengkap dengan struktur khas seperti Sao Keda (rumah musyawarah), Kanga (arena lingkaran), Tubu Musu (tugu batu), Rate (kuburan), dan Kebo Ria (lumbung). 

baca juga

Kebo ria, lumbung pangan tradisional suku Lio @ Iskandar Hale Usman/wikimedia commons
info gambar

Kebo ria, lumbung pangan tradisional suku Lio @ Iskandar Hale Usman/wikimedia commons


Kepercayaan Suku Lio

Suku Lio dikenal sebagai masyarakat yang memegang teguh kepercayaan terhadap Du'a Ngga'e (Tuhan), Nitupa’i (roh halus), dan Atamata atau Babo Mamo (roh leluhur), yang masing-masing memiliki posisi penting dalam kehidupan spiritual mereka. 

Du’a Ngga’e disembah sebagai wujud tertinggi, sementara roh halus dan leluhur dihormati karena diyakini memiliki pengaruh besar dalam kehidupan sehari-hari. 

Meskipun kini mayoritas masyarakat Lio menganut agama Katolik—yang diperkenalkan oleh bangsa Portugis—dan sebagian kecil memeluk Islam yang dibawa pedagang Makassar. Perbedaan agama tidak menjadi sumber perpecahan, karena prinsip persatuan tetap menjadi nilai utama yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Lio.

Struktur Masyarakat Suku Lio

Dalam struktur sosial suku Lio, peran penting dipegang oleh Mosalaki, yakni kepala suku atau tetua adat yang menjadi tempat berkonsultasi dalam berbagai urusan adat dan kemasyarakatan. Segala musyawarah adat biasanya dilakukan di Sao Ria, rumah adat yang menjadi pusat kehidupan tradisional. 

Struktur masyarakat Lio berbentuk piramida, dengan Mosalaki di puncak sebagai pemimpin yang diwariskan secara turun-temurun kepada anak laki-laki sulung. Mosalaki juga dihormati layaknya orang tua (ine ame) serta pewaris utama (teke ria fai nggae). 

Anggota keluarga yang masih satu garis keturunan disebut Aji Ana, sedangkan warga kampung yang bukan kerabat kepala suku disebut Fai Walu. Meski tidak menerima warisan leluhur, mereka tetap dihargai dan bisa memperoleh imbalan jika berjasa bagi komunitas.

baca juga

Mosalaki dan rapat adat suku Lio @ Dokumentasi Pribadi
info gambar

Mosalaki dan rapat adat suku Lio @ Dokumentasi Pribadi


Penanggalan dan Kalender Khas Masyarakat Suku Lio

Masyarakat suku Lio memiliki sistem kalender adat yang unik dan telah digunakan jauh sebelum hadirnya kalender Masehi. Penanggalan ini didasarkan pada pengamatan terhadap bulan (wula), matahari (mata leja), serta perubahan siang (leja) dan malam (kobe). 

Meskipun terdapat perbedaan penamaan atau penetapan waktu antar sub-etnis Lio, prinsip dasarnya tetap sama. Kalender ini menjadi acuan dalam mengatur siklus hidup, terutama dalam kegiatan pertanian dan pelaksanaan upacara adat, di mana fenomena alam dijadikan penanda pergantian bulan.

Dalam sistem kalender musim Lio, setiap bulan memiliki nama dan ciri khasnya masing-masing. Misalnya, Wula Leru Hera (Agustus) menandai musim kemarau dan persiapan pembukaan lahan, sementara Wula Nduru (Desember) adalah masa penanaman saat hujan dan angin mulai datang. 

Bulan-bulan berikutnya seperti Wula Bako Ria (Februari) menjadi masa paceklik terberat, dan Wula Balu Ji’e (Mei) dirayakan dengan syukur atas panen yang berhasil. Setelah masa panen berakhir di Wula Bobo (Juni), masyarakat mulai menyimpan hasil di lumbung dan memasuki Wula Mala (Juli), saat mulai mengonsumsi cadangan pangan. 

Sistem ini mencerminkan keterikatan erat masyarakat Lio dengan alam dan pentingnya kearifan lokal dalam menjalani kehidupan.

Upacara Adat Suku Lio

Masyarakat suku Lio memiliki beragam upacara adat yang erat kaitannya dengan siklus pertanian. Misalnya, Paki Tana Neka Watu sebagai ritual awal musim tanam padi dan jagung, Joka Ju atau Ju Angi untuk menolak hama. 

Kemudian ada Keti Uta atau Ka Poka dalam menyambut masa panen, dan Ngguaria sebagai wujud syukur atas hasil panen selama setahun. 

Selain ritual pertanian, mereka juga memiliki tradisi untuk menandai fase kehidupan, seperti Wa’u Tana saat bayi berusia empat hari, Ka Ngaga saat bayi boleh digendong orang lain. Lalu ada Kongga atau Poro Fu sebagai cukur rambut pertama, Roso Ngi’i untuk potong gigi saat beranjak dewasa, dan Wudu Tu sebagai upacara pernikahan adat.

Salah satu ritual penting lainnya adalah Ka Po’o, yang dilakukan setiap tahun oleh para petani dan Mosalaki. Ritual ini ditandai dengan memasak nasi dalam bambu (are po’o) oleh para ibu, sebagai simbol bumi kesuburan dan penghormatan terhadap rahim kehidupan. Sementara laki-laki dilambangkan sebagai langit yang melindungi. 

Upacara ini ditutup dengan makan bersama antara para mosalaki dan penggarap ladang, sebagai wujud kebersamaan dan penghormatan terhadap leluhur. Ka Po’o dilaksanakan dengan harapan mendapatkan keberkahan berupa tanah yang subur, hasil panen melimpah, dan kehidupan yang sejahtera.

Kearifan lokal suku Lio telah diwariskan turun-temurun dalam tradisi dan adat istiadatnya. 
Masyarakat Lio dengan tekun terus melestarikan budaya juga ikut menjaga keseimbangan alam. Hal ini menjadi harta besar bangsa dan generasi masa depan. 

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Ashnov Brillianto Ahmada lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Ashnov Brillianto Ahmada.

AB
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.