mengenal desa adat wologai di ende ntt dari sejarah struktur masyarakat hingga upacara adat - News | Good News From Indonesia 2025

Mengenal Desa Adat Wologai di Ende NTT, dari Sejarah, Struktur Masyarakat, hingga Upacara Adat

Mengenal Desa Adat Wologai di Ende NTT, dari Sejarah, Struktur Masyarakat, hingga Upacara Adat
images info

Mengenal Desa Adat Wologai di Ende NTT, dari Sejarah, Struktur Masyarakat, hingga Upacara Adat


Desa Adat Wologai di Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, merupakan kampung tradisional yang memelihara warisan budaya suku Lio selama hampir sembilan abad. 

Tersembunyi di balik perbukitan hijau dengan latar megah Gunung Lepembusu, desa ini menyuguhkan pesona arsitektur adat dan nuansa sakral yang kental. Hingga kini, Wologai tetap menjadi penjaga budaya yang hidup, menghadirkan pengalaman autentik baik secara struktur masyarakat maupun upacara adat. 

Kompleksnya kebudayaan Desa Adat Wologai tetap dilestarikan oleh warganya. Tentu hal ini menjadi menarik untuk Kawan telusuri untuk memperkaya khazanah budaya kita. Mari, kita gali lebih dalam!

baca juga

Sejarah Desa Adat Wologai

Nama Wologai berasal dari bahasa leluhur suku Lio, yakni “wolo” yang berarti bukit dan “gai” yang berarti gelagah atau ilalang, tanaman yang tumbuh subur di wilayah tersebut. Sesuai namanya, Kampung Adat Wologai memang terletak di atas bukit, menciptakan suasana tenang dan alami yang khas. 

Masyarakat setempat menyebutnya sebagai Nua Wologai atau Tanah Siga Ria Watu Rembu Rewa, merujuk pada sosok leluhur mereka, Siga Ria. Leluhur tersebut diyakini berasal dari Hindia Belaka/Malaka (Sumatra) dan menetap di Bukit Mbotu Manukako setelah sampai di Pantai Wewaria dan mengembara hingga sampai ke Keli Lepembusu.

Legenda menyebutkan bahwa Siga Ria menetapkan tempat tinggal berdasarkan jatuhnya anak panah yang dilepaskannya. Lokasi jatuhnya itulah yang kini dikenal sebagai Wologai. 

Dari pemukiman kecil inilah cikal bakal masyarakat Wologai berkembang. Siga Ria menikah dengan Rembu Rewa, dan dari keturunan merekalah lahir lima Ambu atau garis keturunan utama, yaitu Woro, Gusa, Soa, Jobi, dan Monggi, yang tergabung dalam suku Siga. 

Kepemimpinan adat dijalankan oleh tujuh Mosalaki (Pemimpin Adat) Tanah Siga Ria Watu Rembu Rewa. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Wologai sejak dulu hidup dari hasil berburu babi hutan dan rusa, menangkap kepiting, udang, serta belut di sungai, dan bercocok tanam padi ladang di daerah pegunungan dengan sistem berpindah-pindah.

baca juga

Struktur Masyarakat dan Hukum Adat di Desa Wologai

Hak Atas Tanah dan Pengelolaan Wilayah Menurut Adat di Desa Wologai

Dalam kearifan lokal masyarakat Wologai, lanskap pengelolalan wilayah terbagi dalam empat zona utama: Bodhe adalah hutan adat yang dilindungi karena menjadi sumber mata air, lokasi keramat, dan pusat ritual yang ditumbuhi berbagai pohon besar seperti Waru, Rau, Nara, dan Kabo. 

Ngebo merupakan hutan komunal milik suku Siga yang dimanfaatkan secara terbatas dan disiapkan sebagai cadangan lahan garapan di masa depan. Sementara itu, Uma adalah area kebun dan ladang yang ditanami padi gunung serta berbagai tanaman komoditas seperti kemiri, kopi, vanili, dan kakao. 

Terakhir, Nua adalah kawasan permukiman tempat warga tinggal, dengan pekarangan yang ditanami tanaman pangan seperti singkong dan labu besi.

Kampung Adat Wologai terletak di atas bukit, menciptakan suasana tenang dan alami yang khas @ Dokumentasi Pribadi
info gambar

Kampung Adat Wologai terletak di atas bukit, menciptakan suasana tenang dan alami yang khas @ Dokumentasi Pribadi


Kelembagaan dan Kepemimpinan Adat di Desa Wologai

Struktur kepemimpinan adat di Wologai dikenal sebagai Mosalaki Tanah Siga Ria Watu Rembu Rewa, yang terdiri dari tujuh pemangku adat utama: Mosalaki Weri, Eko, Ua Taga/Kopokasa, Kinga Ria Mboko Mata Bege, Ria Bewa, Rate Kidhe, dan So Au Wenggo Pangga. 

Gelar Mosalaki diwariskan secara turun-temurun kepada anak laki-laki, namun jika tidak ada penerus, pemilihan dilakukan melalui musyawarah dalam garis keturunan atau Ambu yang bersangkutan.

Para Mosalaki ini bertugas seumur hidup dan memiliki peran penting dalam pelaksanaan ritual adat serta pengambilan keputusan dalam tata kelola masyarakat. 

Selain mereka, terdapat juga perwakilan perempuan (Weta Ane) dan laki-laki dari pihak saudara ibu (Ine Ame), yang dilibatkan sebagai bentuk penghormatan terhadap hubungan antar Ambu, terutama dalam konteks perkawinan adat.

Pengambilan keputusan adat dilakukan melalui forum musyawarah yang disebut Bou Mondo atau "Duduk Bersama", yang membahas berbagai hal mulai dari penyelesaian sengketa tanah, peradilan adat, hingga perencanaan kerja kolektif dan ritual budaya. 

Pertemuan ini berlangsung di Saonggua (rumah adat) dan dihadiri oleh seluruh pemangku adat, Weta Ane, Ine Ame, serta perwakilan desa dan gereja jika diperlukan. Mosalaki terkait juga melakukan peninjauan langsung atas bukti atau lokasi perkara jika diperlukan. 

Filosofi dari Bou Mondo adalah "Kita Sa Mboka Sa Ate", yang berarti satu suara dan satu hati dalam menjalankan hukum adat. Kerja sama juga diperlukan antara tiga pilar utama yaitu, Mosalaki, pemerintah desa, dan pihak gereja.

Hukuman Terhadap Pelanggaran Adat di Desa Wologai

Setiap pelanggaran terhadap aturan adat di Wologai akan dikenakan sanksi berupa Poi, yakni denda adat yang umumnya berupa seekor babi atau kerbau, dengan ukuran yang disesuaikan dengan tingkat kesalahan. 

Hewan tersebut kemudian dimasak dan dimakan bersama di rumah adat “Sa’o Nggo Mere, Ndeka Pu’u Tubu Fi’i Kanga” sebagai bentuk tanggung jawab sosial. Ketentuan adat ini bersifat dinamis dan dapat disesuaikan atau ditambahkan sewaktu-waktu oleh Mosalaki yang berwenang.

baca juga

Upacara-Upacara Adat di Desa Wologai

Di Kampung Adat Wologai, terdapat dua ritual utama yang menjadi bagian penting dalam siklus kehidupan masyarakat, yaitu Keti Uta (panen padi, jagung, dan kacang-kacangan) pada bulan April, dan Ta’u Nggua (menumbuk padi) pada bulan September. 

Puncak dari Ta’u Nggua adalah Pire, di mana selama tujuh hari masyarakat menghentikan seluruh aktivitas sehari-hari sebagai bentuk penghormatan. Setelah rangkaian upacara selesai, diadakan Gawi, yaitu tarian bersama di pelataran sekitar Tubu Kanga sebagai simbol syukur dan kebersamaan. 

Dalam upacara tertentu, digunakan alat musik sakral bernama Lamba Bupu, gendang kecil yang konon terbuat dari kulit manusia dan hanya dimainkan setahun sekali dengan pemukul dari daun ilalang. 

Gendang ini dipercaya memiliki kekuatan magis untuk memanggil roh leluhur, dan disimpan di tempat khusus bernama Keda yang dijaga oleh patung sakral Anadeo, pelindung desa dari berbagai marabahaya.

Desa Adat Wologai telah menurunkan kebudayaan secara terus-menerus untuk dipelajari generasi bangsa selanjutnya. Banyak hikmah yang dapat Kawan ambil, mulai dari ketidakterpisahannya dengan alam dan kebanggaan akan budaya sendiri. Wologai menawarkan pengalaman kebudayaan yang wajib Kawan datangi ketika berkunjung ke Pulau Flores! 

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Ashnov Brillianto Ahmada lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Ashnov Brillianto Ahmada.

AB
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.