Di tengah kondisi geopolitik yang tidak stabil, bergabungnya Indonesia dalam BRICS disebut sebagai langkah tepat. BRICS dianggap sebagai langkah diversifikasi platform untuk berdiplomasi selain ASEAN.
Berisikan 10 negara Global South yang tengah berkembang pesat, BRICS memiliki peran dan pengaruh yang besar dalam perekonomian dunia. BRICS juga dikatakan sebagai tempat yang tepat untuk “mempertahankan diri” di tengah gejolak dunia saat ini.
Aswin Ariyanto Aziz, S.IP., M.DevSt., Ketua Departemen Politik Pemerintahan Hubungan Internasional Universitas Brawijaya (UB), menilai jika BRICS dapat dijadikan forum bertukar strategi antarnegara anggota untuk menghadapi kebijakan Trump.
Menurutnya, langkah Indonesia untuk bergabung dengan BRICS sudah relevan dan sesuai dengan asas bebas aktif. Ia menjelaskan jika bebas aktif tidak bermakna netral atau tidak memihak.
Alih-alih netral, bebas berarti bebas untuk menentukan pilihan sendiri. Sementara itu, aktif bermakna proaktif dalam mengambil peran dalam diplomasi internasional untuk kepentingan perdamaian, keadilan, dan kemakmuran global.
“Indonesia bebas mengejar kepentingan nasional termasuk dalam forum multilateral Negara Selatan-Selatan seperti BRICS,” ungkapnya dalam keterangan yang dipublikasikan prasetya.ub.ac.id.
Strategi yang Dapat Dilakukan Indonesia dengan BRICS
Selama ini, kerja sama multilateral memang sangat didominasi oleh Barat. Hadirnya BRICS disebut Aswin sebagai tawaran alternatif lain untuk pelaksanaan kerja sama multilateral.
Ia mencontohkan, kerja sama pembiayaan pembangunan yang selama ini berasal dari World Bank dapat diganti oleh New Development Bank (NDB). Ada juga CRA yang dapat menjadi opsi lain dari IMF, transaksi pembayaran dari SWIFT dengan CIPS, dan sebagainya.
Dengan usia BRICS yang masih muda, perlu waktu dan proses untuk mencapai hal tersebut. Tak hanya itu, Aswin menerangkan jika BRICS belum digunakan sebagai tempat untuk membangun solidaritas dalam konsolidasi demi menghadapi kebijakan unilateral dan koersif.
Indonesia sendiri sudah menyatakan bergabung dengan NDB milik BRICS. Dengan ini, akses pinjaman untuk infrastruktur dan energi terbarukan dengan biaya yang kompetitif dapat diperoleh Indonesia.
Dengan demikian, proyek pemerintah tidak bergantung sepenuhnya pada World Bank. Selain itu, masuknya investasi dari anggota-anggota BRICS, utamanya Tiongkok, Rusia, dan India, dapat membantu Indonesia dalam mengimbangi potensi penurunan investasi dari Barat dan memperkuat klaster manufaktur serta teknologi.
Aswin turut menyarankan pembentukan BRICS Task Force yang diisi oleh kementerian antarnegara anggota untuk menginventarisasi dan menyiapkan pipeline proyek prioritas. Penguatan kapasitas negosiasi, seperti pelatihan intensif bagi diplomat dan pejabat teknis, khususnya Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Perdagangan, juga dapat dilakukan agar menguasai mekanisme NDB/CRA, hingga menegosiasikan syarat pembiayaan yang menguntungkan.
Ia juga menyarankan agar jembatan kerja sama antara Sekretariat ASEAN dan BRICS dapat semakin dibangun untuk menguatkan stabilitas regional. Komunikasi pada publik dalam ranah transparansi dan akuntabilitas berbentuk publikasi laporan berkala mengenai manfaat proyek BRICS juga harus dilakukan untuk membangun kepercayaan publik.
BRICS dan Tantangannya
Di sisi lain, ada pekerjaan rumah yang harus diantisipasi Indonesia, salah satunya adalah dinamika internal BRICS, seperti usaha Barat untuk memecah BRICS lewat persaingan trio BRICS—Tiongkok, India, dan Rusia—utamanya dalam sektor prioritas pembangunan, seperti infrastuktur, teknologi, maupun energi.
Aswin juga menyebut Indonesia perlu bersiap atas dinamika eksternal, salah satunya tekanan diplomatik Barat apabila Indonesia dianggap benar-benar meninggalkan Barat. Ini bisa mengakibatkan berkurangnya investasi dari Eropa dan Amerika Serikat, bahkan sanksi perdagangan.
Pakar politik dengan fokus development studies ini turut mengatakan jika Indonesia berpeluang untuk menaikkan profil regional. Indonesia juga bisa mendorong ASEAN agar lebih terlibat dalam arsitektur multipolar. Akan tetapi, langkah ini dapat memicu kegelisahan anggota ASEAN.
“Anggota ASEAN lain yang khawatir akan terganggunya prinsip konsensus dan ASEAN centrality, mengingat pendekatan BRICS lebih club-based daripada ASEAN yang berbasis unanimity,” jelasnya.
Aswin berharap Indonesia dapat memanfaatkan forum ini untuk memperjuangkan agenda negara berkembang demi memperkuat ketahanan pangan, energi bersih, dan reformasi lembaga keuangan internasional dalam kerangka kemitraan yang adil dan setara.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News