“Setiap masa ada orangnya, setiap orang ada masanya, itu yang saya yakini,” tegas Achmad Irfandi.
Sebagai penggagas komunitas Kampung Lali Gadget (KLG) di Sidoarjo, Irfandi telah merasakan beragam dinamika komunitas yang telah ia bangun sejak 2018. Ia membagikan pengalaman-pengalamannya mengelola komunitas selama tujuh tahun, dalam sesi sharing Bootcamp Gerakan 100 Komunitas Bermain Tanpa Gadget yang diselenggarakan daring pada Kamis (22/5/2025).
Dinamika-dinamika itu bisa dari berbagai hal, utamanya tiga unsur utama pembentukan komunitas, yakni sumber daya manusia (SDM), dana, dan ide atau program. Ketiga hal tersebut menjadi topik yang menarik dan tidak akan pernah habis untuk didiskusikan.
Manusia Datang dan Pergi, Akankah Program Tetap Berjalan Saat Kita Tinggalkan?
Ditinggalkan anggota komunitas menjadi hal biasa bagi Irfandi. Bahkan, ia mengakui relawan di KLG selalu berganti. Sebab, relawan-relawan tersebut hadir secara organik.
Pernah beberapa kali KLG mencoba merekrut relawan, tetapi pada akhirnya relawan-relawan terpilih mengundurkan diri. Bahkan, dari beberapa penggagas KLG, hanya Irfandi yang masih konsisten hingga saat ini.
“Ciri khas penggerak-penggerak itu ada di awal dan sampai akhir itu penggerak,” ungkapnya.
Hal ini normal dalam suatu kelompok ataupun komunitas. Farley (1990: 626) dalam buku Sztompka (2004: 5) mengatakan bahwa perubahan sosial merupakan perubahan kepada pola perilaku, hubungan sosial, lembaga dan struktur sosial pada waktu tertentu, yang terkait dengan adanya perubahan interaksi dalam masyarakat. Motif perubahan beragam, mulai dari ekonomi, nilai yang dianut, hingga tujuan yang tidak lagi sejalan.
Maka, yang Kampung Lali Gadget saat ini lakukan adalah menerima para relawan dari berbagai kalangan, bukan lagi mencari relawan.
“Mereka itu datang sendiri. Dari unsur misalnya mahasiswa yang mengerjakan tugas misalnya,” tuturnya.
View this post on Instagram
Untuk mencapai tahap ini, komunitas perlu untuk menguatkan pondasi dasar sehingga mampu menarik partisipan untuk terlibat dalam menggerakkan program. Pondasi tersebut, seperti yang sudah disinggung sebelumnya berupa program dan dana.
Jika komunitas telah berada di tahap sustainable, relawan yang mulanya bersifat periodik akan berpotensi menjadi anggota tetap dalam komunitas. Para anggota inilah yang kelak akan meneruskan program-program komunitas.
“Penggeraknya lebih hebat lagi kalau di awal dia merintis, berkembang, dan ketika nanti kita meninggalkan, gerakan yang kita rintis tetap bergerak dan berdampak,” tegasnya.
Pergerakan Komunitas Tidak Bisa Lepas dari Dana, Jangan Merasa Tabu untuk Melakukan Fundarising
Bicara komunitas tidak dapat dipisahkan dari kebutuhan dana. Komunitas dengan tujuan apapun itu, akan selalu membutuhkan daya—istilah yang digunakan oleh Irfandi menyebut dana—untuk menyokong aktivitas dan program yang dicanangkan.
“Kita nggak usah sungkan ngomongkan tentang uang. Meskipun memang, kadang kalau kita bicara uang kok kelihatannya materialistik gitu ya,” kata Irfandi.
Maka, dalam hal ini, Kampung Lali Gadget beberapa kali mengandalkan donasi untuk membantu menjalankan kegiatan mereka. Tidak selalu berupa uang, KLG membuka segala bentuk donasi, seperti nasi, peralatan bermain, dan benda-benda lainnya.
View this post on Instagram
Usai menggelar kegiatan, KLG selalu membuat laporan yang di dalamnya menjelaskan kegunaan dari donasi yang diberikan masyarakat. KLG telah menerapkan arsip data yang nantinya akan berguna dalam melakukan evaluasi dan fundarising.
Laporan-laporan inilah yang menjadi senjata KLG untuk mendapatkan kepercayaan dari berbagai pihak, mulai dari masyarakat, swasta, dan pemerintah, hingga akhirnya pihak-pihak tersebut memberikan dukungan.
“Data ini ketika kita ramu, kita tampilkan, itulah yang akan menarik bagi orang lain. Kalau kita bicara CSR, Corporate Social Responsibility, mereka suka sekali dengan tidak lagi mencari-cari seberapa berdampak komunitas ini. Tapi kita yang menggambarkan dampaknya dulu lewat data-data kita,” tegasnya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News