komik indie jalur karir komikus lokal - News | Good News From Indonesia 2025

Komik Indie: Jalur Karier Komikus Lokal

Komik Indie: Jalur Karier Komikus Lokal
images info

Komik Indie: Jalur Karier Komikus Lokal


Kadang terbenak di pikiran, industri komik di Indonesia itu sebenarnya ada atau tidak, sih? Jawabannya ialah ada. Sampai saat ini komunitas seni komik di Indonesia juga kebingungan menjawab pertanyaan itu mengingat pendapat setiap orang berbeda-beda.

Terlebih lagi setelah ramainya Comic Frontier XX, pameran sekaligus pasar komik terbesar di Indonesia yang berlangsung selama 2 hari di ICE BSD Tangerang dengan ribuan pengunjung harusnya menandakan bahwa industri komik Indonesia itu nyata.

Akan tetapi terkadang orang heran; pasar sebesar itu tapi produknya tidak banyak terdengar di telinga umum? Tidak seperti komik-komik Marvel dan DC, atau komik terbitan Jepang?

Jawabannya simple. Industri seni komik di Indonesia itu ada, tapi tidak seramai industri komik dari negara lain. Mungkin orang berpikir istilah “industri” berarti sesuatu yang masif dan bergerak cepat, padahal tidak selalu. Asalkan ada supply dan demand serta kegiatan produksi seharusnya sudah bisa dikatakan industri, bukan?

Orang Indonesia bukannya tidak senang dengan komik, peminatnya banyak, senimannya juga banyak. Namun, banyak dari seniman tersebut masih berstatus indie. Dengan kata lain, mereka masih bebas, produksi sendiri, menjual sendiri, tidak bergantung pada label ataupun penerbit atau perusahaan apapun; mereka mandiri.

Ada banyak alasan yang masuk akal mengapa banyak seniman komik yang tetap memilih indie daripada harus bekerja di bawah naungan perusahaan besar.

Seni yang membutuhkan waktu

Pernah dengari istilah “great art takes time” yang artinya “seni yang hebat memerlukan waktu”? Dalam proses pembentukkan seni, dibutuhkan waktu yang bervariasi. Bahkan, dalam pembuatan seni, bisa dibilang proses kreatifnya tidak terpaku oleh waktu dan lebih kepada perjalanan dari 0 menuju 100 seni itu dihasilkan dari ketiadaan.

Akan tetapi apakah perlu perjalanannya sampai ke langkah 100? Tidak. Sebuah karya tidak perlu sampai ke langkah 100 untuk menjadi seni. Bisa saja suatu seni itu belum sampai ke tahap polishing dan seniman tersebut menyatakan bahwa karya ini telah selesai, dan karyanya tetap diminati banyak orang.

Seorang seniman dan penikmat seni menghargai proses. Proses itu diperlukan sebagai bentuk mengekspresikan diri. Dengan merilis komik secara indie, para seniman komik atau komikus tidak dikejar tenggat waktu perusahaan. Proses kreatif pembentukkan karya seni tetap terjaga murni dan tulus dari jiwa seorang seniman yang tidak ternilai harganya.

Perusahaan akan berusaha untuk terus mengikuti demand dari suatu pasar komik masif yang menginginkan hasil cepat, berkualitas tinggi, serta sejalan dengan selera pasar. Bukannya tak mungkin, tapi hal tersebut bukanlah yang dicari kebanyakan seniman lokal: ketenangan dan kebebasan berekspresi. 

Monetisasi dan pemasaran

Jika pandangan seniman terhadap monetisasi karya adalah buruk, seharusnya mereka juga tidak perlu menjual karya mereka demi uang, dong!

Tidak dapat dipungkiri kalau menjadi seniman merupakan pekerjaan yang masih tabu di dunia ini. Seperti kebanyakan orang, mereka juga butuh uang untuk hidup. Dari mana lagi komikus mendapatkan upah wajar dengan alur kerja sebagai seniman yang manusiawi?

Jalur indie dan self-publishing malah makin meyakinkan di mata mereka. Penikmat komik sudah biasa mendatangi pasar komik secara mandiri. Dari segi efisiensi biaya, memproduksi dan menjual komik secara mandiri akan lebih terjangkau dan memberikan keuntungan.

Apakah jangkauan pemasarannya bisa seluas komik yang dirilis melalui penerbit atau perusahaan? Mungkin tidak. Tapi sebagai seniman, sebuah karya tidak berarti tanpa mengenal seniman dibaliknya.

Ibarat memasak untuk orang-orang terdekat tapi mereka sangat menyukai dan menghargai hasil masakan kita. Hal ini memberikan kepuasan lebih dalam daripada hanya sebatas uang yang melimpah dan nama yang melambung tinggi di industri tetapi koneksi dan kedekatan jiwa antara seniman dan penikmat seni tidak tersampaikan. Sebuah pengalaman seni dan emosi itulah yang tidak ternilai harganya.

Kemudian yang paling penting; tidak semua seniman memiliki target profit atau pemasaran layaknya sebuah perusahaan. Ada hal yang lebih bermakna bagi mereka, tak sebatas uang dan pamor semata.

Lebih bagus atau lebih baik adalah subjektif. Indikator keberhasilan suatu penyampaian karya seni yang tidak terbatas komik bisa berbeda-beda di mata orang awam, seniman, bahkan perusahaan. Bagi perusahaan, sebuah standar akan diterapkan. Sebuah standar bagi seni adalah sesuatu yang tidak masuk akal.

Namun, standar ini lah yang menjadi indikator layak jual di industri. Sejumlah kritik dan saran yang sistematis akan diterapkan agar sebuah karya mencapai tingkatan layak dan seniman dapat berkembang di industri besar. Tetap saja, tiap seniman berhak memilih untuk mengikuti standar ataupun tidak.

Dengan idealisme sebagai seniman untuk menciptakan sebuah bentuk seni yang dituangkan dalam visual dan dialog panel yang tidak ingin komiknya dicampuri tangan orang lain apalagi disetir perusahaan, masih masuk akal untuk memilih bekerja sendiri, bukan? Seni itu idealis, selera itu relatif. Tetap dan akan selalu seperti itu. Masih banyak komikus yang peduli akan idealisme diri sebagai seorang seniman. 

Fleksibilitas yang ditawarkan oleh idealisme masing-masing seniman yang memilih berstatus indie menjadikan suatu proses aman dan nyaman dijalani. Langkah kecil dan tenang bukan berarti sebuah industri itu tidak ada. Industri komik Indonesia tetap mengalir seperti sungai yang sunyi nan tenang, tak stagnan bak genangan air.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

RI
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.