Budaya tidak hanya menghasilkan tradisi. Sebagaimana kata “budaya”, yang berarti memanfaatkan kemampuan berpikir, budaya juga menghasilkan wacana-wacana yang hingga saat ini masih dianut masyarakat, termasuk konsep “masuk angin”.
Hal ini diungkapkan oleh Dosen Antropologi FIB UGM Prof. Dr. Atik Triratnawati, M.A. Dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar dalam Bidang Antropologi Kesehatan pada Selasa (10/6) di Balai Senat UGM, ia mengatakan bahwa “masuk angin” merupakan kombinasi antara wacana medis dan budaya.
Gangguan kesehatan yang ditandai dengan perut kembung, mual, pusing, telah dipercaya oleh masyarakat sebagai gejala masuk angin. Padahal, istilah masuk angin tidak ada dalam kamus medis. Akan tetapi, dengan kecerdasan daya pikir para leluhur, mereka menciptakan istilah masuk angin untuk menyebut gejala serupa flu atau gangguan pencernaan yang masih menjadi kepercayaan hingga saat ini.
Tiga Jenis Masuk Angin di Indonesia
Tidak sampai di sana, Atik Triratnawati mengungkapkan bahkan ada tiga tingkatan masuk angin menurut kepercayaan masyarakat, yakni masuk angin biasa, masuk angin berat, dan masuk angin duduk.
Masuk angin ringan adalah masuk angin yang biasa dikenal luas oleh masyarakat. Pada tahap ini, seseorang masih bisa beraktivitas seperti biasa. Menurut Kepala Program Studi Antropologi ini, masuk angin ringan disebabkan oleh kondisi fisik yang kelelahan bekerja.
“Gejalanya sendiri berupa kembung, panas, dan pegal-pegal,” ungkapnya.
Sementara itu, masuk angin berat merupakan gejala lanjutan dari masuk angin biasa. Masuk angin dikategorikan berat jika masalah pencernaan yang terjadi lebih parah, misalnya disertai diare atau muntah. Hal ini disebabkan oleh kombinasi antara pola makan yang buruk, stres, dan kurangnya istirahat.
“Umumnya penderitanya sering sekali menunda makan, minum, dan istirahat karena berharap pekerjaannya akan diselesaikan dulu,” tambahnya.
Kemudian, yang ketiga adalah angin duduk atau angin kasep. Jenis masuk angin ini lebih berbahaya dibandingkan dua masuk angin yang telah disebutkan. Angin duduk muncul sebab gejala masuk angin yang sebelumnya dibiarkan dan terlambat diatasi.
“Gejala yang tidak teratasi pada masyarakat awam dapat menyebabkan kematian,” tegasnya.
Budaya dan Kepercayaan Pengobatan pada Masyarakat
Kerokan menjadi pengetahuan lokal masyarakat terhadap pengobatan masuk angin. Meski banyak literatur yang mengungkap kerokan berpotensi menyebabkan iritasi kulit hingga pecahnya pembuluh darah, budaya kerokan telah menjadi alternatif pengobatan yang bersifat komunal.
Atik menjelaskan bahwa kerokan yang dilakukan hingga menyebabkan rasa sakit memang tidak efektif. Meski demikian, kerokan pada titik yang tepat dinilai membantu kelancaran peredaran darah sekaligus meningkatkan suhu tubuh.
“Dengan demikian, prinsip pengobatan ini sesuai dengan prinsip pemikiran sehat-sakit dalam budaya Jawa,” ujarnya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News