Di tengah derasnya arus digitalisasi dan gempuran teknologi informasi, dunia pendidikan anak turut mengalami transformasi besar. Perangkat gadget seperti smartphone dan tablet tak lagi menjadi barang mewah, melainkan bagian dari keseharian, bahkan sejak anak berusia dini.
Kemajuan ini membawa tantangan baru bagi para orang tua, terutama “Ibu Rumah Tangga” yang merupakan sosok perempuan yang dalam budaya Indonesia dianggap sebagai pendidik utama di dalam keluarga.
Namun, peran seorang ibu tidak berhenti pada merawat anak saja. Mereka adalah garda depan dalam membangun fondasi literasi, nilai moral, dan pola pikir anak-anak.
Mendidik anak di era gadget yang begitu canggih membutuhkan strategi, keteguhan, dan keteladan. Di sinilah semangat Raden Ajeng Kartini menjadi cerminan dan teladan bagi ibu masa kini.
Kartini bukan hanya pahlawan emansipasi, tetapi juga pelopor pendidikan perempuan dan pemikir kemajuan yang melihat literasi sebagai jalan pembebasan dan perbaikan masa depan.
R.A. Kartini dan Warisan Literasi
Raden Ajeng Kartini (1879–1904) adalah simbol kebangkitan perempuan Nusantara. Ia hidup pada masa di mana akses pendidikan sangat terbatas bagi kaum perempuan, Kartini muncul sebagai pengecualian.
Lahir dalam keluarga bangsawan Jawa yang cukup terbuka terhadap pemikiran Barat, Kartini mendapat kesempatan bersekolah hingga usia 12 tahun. Namun, tradisi pingitan kemudian menghentikan pendidikannya secara formal.
Alih-alih terkungkung, Kartini justru menjadikan masa pingitan sebagai mometum untuk memperkaya diri melalui buku, surat-menyurat dengan sahabat-sahabatnya di Belanda, dan merenungkan kondisi sosial bangsanya. Dari peristiwa inilah lahir buah pemikirannya yang terkenal dalam buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Kartini menganggap bahwa pendidikan bukan hanya hak laki-laki. Menurutnya, perempuan juga harus terdidik agar dapat mendidik generasi selanjutnya.
Ia menulis, “Banyak hal yang dapat menjatuhkanmu. Tapi satu-satunya hal yang benar-benar dapat menjatuhkanmu adalah sikapmu sendiri.”
Kutipan ini menjadi pijakan bagi perempuan Indonesia untuk terus belajar, berkembang, dan menjadi pengaruh positif bagi keluarga dan bangsa.
Dampak Positif dan Negatif Gadget
Di era digital, gadget telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan. Anak-anak kini terbiasa dengan konten visual yang interaktif dan cepat.
Sayangnya, paparan yang tidak terkontrol dapat berdampak buruk, mulai dari kecanduan layar, penurunan kemampuan sosial, hingga penyebaran nilai-nilai yang tidak sesuai dengan budaya Nusantara.
Namun, gadget juga bukan semata-mata musuh. Dalam kendali yang tepat, teknologi bisa menjadi alat bantu pendidikan yang luar biasa dan dapat mengembangkan kemampuan kreativitas anak-anak.
Aplikasi edukasi, cerita digital, kanal belajar di YouTube, hingga e-book anak dapat memperkaya pengetahuan si kecil. Kuncinya terletak pada bagaimana orang tua terutama ibu mengarahkan dan mendampingi penggunaan gadget secara bijak.
Ibu sebagai Garda Depan Literasi Digital Keluarga
Dalam keluarga, ibu sering kali menjadi pengatur ritme harian anak. Ia mengenal karakter anak lebih dalam, memahami kecenderungan mereka, dan memiliki keleluasaan untuk membentuk kebiasaan positif sejak dini.
Maka dari itu, peran ibu sebagai garda depan literasi digital keluarga sangatlah vital. Berikut adalah beberapa peran ibu dalam literasi digital keluarga:
1. Menjadi Teladan Literasi Digital
Kartini menumbuhkan semangat literasi bukan dengan paksaan, tetapi dengan contoh nyata. Ia membaca, menulis, dan berdiskusi. Perempuan masa kini dapat meneladani hal tersebut.
Anak-anak belajar dari apa yang mereka lihat, bukan hanya dari apa yang mereka dengar. Ibu yang menggunakan teknologi secara bijak dan bertanggung jawab akan menjadi contoh bagi anak-anaknya dalam menggunakan teknologi.
2. Mengelola Waktu Bermain Perangkat Elektronik
Salah satu tantangan utama adalah mengelola waktu layar anak. Terlalu banyak bermain gadget bisa menghambat perkembangan sosial dan emosional anak.
Ibu, sebagai pengatur rutinitas rumah tangga, dapat membuat jadwal harian yang seimbang antara waktu bermain, belajar, dan waktu untuk aktivitas tanpa layar seperti membaca buku fisik atau bermain di luar ruangan.
3. Menyeleksi Konten Edukatif
Ibu juga dapat menjadi penyeleksi konten. Dengan banyaknya aplikasi dan platform digital, orang tua harus selektif memilih mana yang cocok dan bermanfaat bagi perkembangan anak.
Aplikasi seperti Khan Academy Kids, Rumah Belajar dari Kemendikbud, atau YouTube Kids bisa menjadi sarana pembelajaran yang menyenangkan bila digunakan dengan pengawasan.
4. Mengajarkan Literasi Digital
Ibu dapat mengajarkan anak-anaknya tentang bagaimana menggunakan teknologi secara efektif, memahami etika digital, dan menghindari ancaman online. Ibu juga dapat terus meng-update pengetahuan digital untuk diajarkan kepada anaknya.
5. Mendorong Anak untuk Aktif Berpikir Kritis
Tidak semua yang ada di internet benar atau baik. Maka, Ibu harus mengajarkan anak untuk bersikap kritis seperti bertanya, membandingkan, dan menyaring informasi. Ini adalah bentuk literasi digital yang sangat penting agar anak tidak menjadi korban hoaks, cyberbullying, atau informasi menyesatkan lainnya.
Kisah Inspiratif Ibu Masa Kini
Kisah perjuangan literasi bukan hanya milik Kartini di masa lalu. Di berbagai wilayah di Indonesia, banyak perempuan masa kini yang menjadi “Kartini digital” bagi keluarganya.
Misalnya Ibu Ema, ibu rumah tangga berusia 41 tahun yang menggunakan literasi digital untuk mendukung pendidikan anaknya. Ia mencarikan konten yang bermanfaat, video edukatif, dan buku digital untuk menambah pengetahuan anaknya.
Perempuan seperti ini tidak memiliki gelar bangsawan seperti Kartini, tetapi mereka memiliki semangat yang sama yaitu membebaskan generasi melalui pendidikan dan literasi, kini dengan sentuhan digital.
Menumbuhkan Semangat Kartini di Setiap Perempuan
Mendidik anak di era gadget memang penuh tantangan. Namun, seperti Kartini yang melawan arus dominasi patriarki dengan pena dan pemikiran, perempuan masa kini dapat menghadapi tantangan teknologi dengan literasi dan keteladanan.
Semangat Kartini adalah semangat perubahan, bukan sekadar perlawanan. Perubahan ini dimulai dari keluarga, dari rumah, dari perempuan, dari ibu.
Perempuan tidak harus menjadi ahli IT atau influencer teknologi untuk bisa mendidik anak di era gadget.
Cukup dengan menjadi ibu yang mendampingi, mengawasi, dan membimbing anak dalam menggunakan teknologi, maka ia sudah menjalankan perannya sebagai garda depan literasi digital keluarga.
Era gadget bukanlah akhir dari literasi, melainkan bentuk baru yang mesti dikuasai. Di sinilah sosok ibu memiliki peran penting seperti Kartini dahulu untuk menerangi jalan anak-anak dengan ilmu, nilai, dan cinta.
Seperti kata Kartini, “Bukan hal baru bahwa kemajuan suatu bangsa bergantung pada tingkat pendidikan kaum perempuannya”. Maka, perempuan masa kini dengan segala pengetahuan digital adalah Kartini baru yang membawa lentera pengetahuan untuk generasi mendatang.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News