willem iskander sang pelopor pendidikan dari sumut yang berakhir tragis - News | Good News From Indonesia 2025

Willem Iskande: Kisah Sang Pelopor Pendidikan dari Sumut yang Berakhir Tragis

Willem Iskande: Kisah Sang Pelopor Pendidikan dari Sumut yang Berakhir Tragis
images info

Willem Iskande: Kisah Sang Pelopor Pendidikan dari Sumut yang Berakhir Tragis


Dalam dunia pendidikan, nama Ki Hajar Dewantara memang sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat. Lain halnya dengan Willem Iskander, seorang tokoh sekaligus pelopor pendidikan yang berasal dari Mandailing, Sumatra Utara.

Namanya tidak banyak yang tahu, tetapi masyarakat Sumatra Utara mengabadikannya sebagai nama jalan di Mandailing Natal dan Medan, bahkan dipakai untuk nama SMK di Mandailing Natal.

Kemajuan pendidikan Indonesia di masa kini, tentu tak lepas dari campur tangan para pejuang di masa lalu, salah satunya yaitu Willem Iskandar. Beliau telah mendirikan lembaga pendidikan demi menghasilkan guru-guru yang berbasis kerakyatan (bumiputera).

Nama asli Willem yaitu Sati Nasution, dengan gelar Sutan Iskandar. Ia lahir tahun 1840 di desa Pidoli Lombang, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatra Utara.

Ia merupakan bungsu dari empat bersaudara, dari orang tua yang bernama Raja Tinating Nasution dan Si Anggur. Pergantian namanya dilakukan sewaktu sekolah di Belanda sebagai nama baptis.

Willem mulai mengenyam pendidikan di Sekolah Rendah (Inlandsche Schoolan), di Panyabungan Kota, Mandailing Natal tahun 1853.Sekolah itu didirikan oleh Alexander Godon, seorang Asisten Residen.

Setelah lulus pada tahun 1855, Willem pun diangkat menjadi guru di sekolah tersebut saat berusia 15 tahun. Ia mengajar di sana sekira dua tahun, sebab pada tahun 1857 harus melanjutkan sekolahnya ke Belanda bersama Godon. Hal itu dilakukan agar kelak Willem dapat menjadi guru di kampungnya.

Awalnya, usulan Godon mendapat pertentangan dari parlemen kerajaan Belanda karena dianggap kristenisasi dalam pembiayaan pendidikan dan aturan tidak memberikan beasiswa kepada rakyat negeri jajahan.

Namun, berkat upaya yang dilakukan Godon dibantu Prof. H.C Milles (guru filsafat, sastra, dan budaya Timur di Utrecht), akhirnya Willem pun berhasil mendapat beasiswa dari Kerajaan Belanda.

Pada tahun 1859, Willem lulus dari Sekolah Guru (Oefenschool) dan mendapatkan ijazah Guru Bantu (Hulponderwijzer)

baca juga

Pulang ke Tanah Air untuk Mendirikan Sekolah Guru

Untuk mewujudkan cita-citanya mendirikan sekolah guru, Willem yang sudah kembali dari Belanda menyampaikan rencana tersebut kepada Gubernur Jenderal Mr. Ludolf Anne Jan Wilt Baron Sloet Van Den Balle, yang berada di Batavia.

Gayung pun bersambut dari sang gubernur jenderal. Diberikannya surat rekomendasi untuk membantu pendirian Sekolah Guru di Mandailing, ditujukan kepada Gubernur Pantai Barat Sumatra, Van Den Bosch, juga kepada Resident Mandailing-Angloka, Kontrolir, serta pejabat-pejabat daerah.

Akhirnya, pada tahun 1962 Willem berhasil mendirikan Sekolah Guru (Kweekschool) di Tanobato secara swadaya. Tanobato merupakan Gudang Kopi Pemerintah Hindia Belanda, jadilah bangunan sekolah terlihat sangat sederhana. Meskipun demikian, Willem telah berhasil melakukan terobosan gerakan pencerahan (Aufklarung) melalui pendidikan.

Mandailing Natal
info gambar

Mandailing (commons wikimedia/ Christian Advs Sltg)


baca juga

Tantanganpun harus dihadapi oleh Willem dalam mendapatkan murid yang mau bersekolah, sebab banyak yang takut jika biayanya mahal.

Dengan kerja keras dan pantang menyerah, Willem mendatangi setiap rumah, dari pintu ke pintu hingga ke desa terpencil untuk mensosialisasikan gagasannya tentang perubahan. Hasilnya, rintangan bisa teratasi dari ketertarikan orang-orang yang berpikiran maju.

Melansir Greget Tuanku Rao tulisan Basyral Harahap, di sekolah yang didirikan Willem tersebut para siswa belajar dasar-dasar berhitung, membaca, menulis, bahasa Belanda, bahasa Melayu, bahasa Mandailing, Matematika, Fisika, ilmu ukur tanah, ilmu bumi, dan ilmu pemerintahan. Bahasa pengantarnya menggunakan bahasa Mandailing.

Demi meningkatkan kapasitas sekolahnya, Willem berangkat ke Belanda untuk kedua kalinya pada tahun 1974. Ia ingin melanjutkan sekolah untuk mendapatkan ijazah Guru Kepala Sekolah (Hoofdonderwijzer). Bersama dengan tiga orang teman yaitu Benas Lubis dari Mandailing, Raden Mas Sunarso dari Kwekschool Surakarta, dan Mas Ardi Sasmita dari Majalengka, mereka berencana mengembangkan pendidikan di Indonesia.

Sayang, kepergian Willem mengakibatkan sekolah yang didirikannya di Tanobato tutup dan berpindah ke Padang Sidempuan.

Akhir Tragis Sang Pelopor Pendidikan

Sesampainya di Belanda, ketiga teman Willem ternyata kesulitan beradaptasi dengan lingkungan maupun cuaca yang jauh berbeda dari negara asal. Nahas, Mas Ardi dan muridnya Banas meninggal di tahun 1875, sedangkan Raden Mas Sunarso sakit sehingga harus pulang ke Solo. Kehilangan teman-temannya membuat Willem sangat terpukul, sebab ia merasa gagal dalam membimbing mereka.

Willem menikah dengan Maria Jacoba Christina Winter di tahun 1876, berharap mendapat kebahagiaan layaknya pasangan pada umumnya. Namun untung tak dapat diraih, keluarga Willem di Mandailing menjunjung tinggi adat serta budaya, sehingga pernikahannya dengan Maria yang beragama Kristen ditentang dan menuai kecaman.

Pukulan yang bertubi-tubi membuat Willem depresi. Rasa kehilangan teman-teman masih membuatnya berduka, ditambah dengan pernikahannya yang memunculkan masalah baru. Usia pernikahannya baru 103 hari kala itu.

Alih-alih hidup bahagia sampai jadi ayah kelak. Willem lebih memilih mengakhiri hidup dengan menembak kepalanya sendiri. Jenazahnya dimakamkan di pinggiran kota Anmsterdam, Belanda.

Karya dan Penghargaan

Selain dikenal sebagai tokoh pendidikan, Willem Iskandar juga merupakan sastrawan. Tercacat, ia telah menghasilkan 13 puisi, 8 prosa, dan 1 drama pendek berupa dialog. Semua karyanya diterbitkan pertama kali tahun 1872 di Batavia, dalam bentuk buku berjudul 'Sibulus-bulus Sirumbuk-rumbuh' (yang tulus yang sia sekata).

Melalui karya-karya Willem, budaya penulisan sastra Mandailing yang semula berisi keluh-kesah, adat, cinta, dan nasehat, telah berubah tentang pendidikan, generasi muda, kritik sosial, serta penyadaran diri.

Atas jasa serta warisan yang ditinggalkan, Willem pun mendapat penghargaan dari pemerintah. Tepatnya pada tahun 1978 dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional, Pemerintah Republik Indonesia memberikan “Anugerah Seni” melalui KEPRES No 101/M/Tahun 1978.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

RP
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.