Di sudut rumah peninggalan nenek, ada sebuah meja kayu tua yang catnya mulai mengelupas. Di atasnya, tiap kali keluarga besar berkumpul, selalu terhidang makanan yang seakan menyimpan rahasia: nasi jagung, sayur lodeh, sambal terasi yang aromanya menusuk, serta jenang merah putih yang lengket di lidah.
Meja itu bukan sekadar benda. Ia saksi bisu, Kawan, dari cerita-cerita yang diselipkan orang tua sambil menyuapkan makanan ke mulut cucu-cucunya. Di meja itulah aku mendengar pertama kali tentang asal-usul gudeg yang katanya terlahir dari kelaparan, tentang ikan mas yang dipercaya membawa keberuntungan dan tentang cabai rawit yang dijadikan perumpamaan bagi keberanian orang kecil.
“Tanah air ini bisa kau baca lewat lauk pauknya,” kata nenek suatu kali. Tangannya bergetar, tapi suaranya mantap. “Kalau kau belajar sungguh-sungguh, setiap makanan adalah kitab yang menyimpan sejarah.”
Nenek selalu punya cara memikat kami lewat cerita. Ketika menyajikan rendang, ia berkata bahwa rendang adalah lambang kesabaran, sebab daging harus dimasak berjam-jam hingga empuk dan bumbu meresap. Saat membuat sate, ia menyebutkan bahwa tusukannya melambangkan ikatan, bahwa bangsa ini bisa bertahan karena diikat oleh rasa kebersamaan meski bumbu di dalamnya beragam.
Kami yang masih anak-anak hanya manggut-manggut, sambil melahap hidangan. Namun jauh di dalam hati, cerita itu tumbuh jadi akar.
Aku tumbuh dengan pemahaman sederhana: mencintai tanah air bukan hanya soal mengibarkan bendera, tetapi juga menjaga rasa yang dititipkan dalam makanan sehari-hari. Sebab makanan selalu menyimpan jejak: keringat petani, doa nelayan, tangan ibu yang tidak pernah berhenti berkorban.
Ketika usiaku remaja, aku mulai merantau ke kota besar. Di sana, kuliner berubah jadi komoditas cepat saji. Nasi bungkus berganti dengan burger dan kentang goreng. Tempe, yang dulu jadi lauk harian, kadang dipandang rendah. Ada masa di mana aku ikut-ikutan malu makan sayur asem di kantin, karena teman-teman lebih bangga menyantap pizza dengan keju leleh.
Namun suatu malam, ketika aku pulang terlambat dari kampus, aku menemukan sebuah warung kecil di pojok jalan. Penjualnya seorang ibu sepuh dengan rambut memutih. Di mejanya tersaji nasi pecel dengan sambal kacang yang harum. Aku membelinya, lalu duduk di bangku plastik yang goyah.
Satu suap pertama, aku tertegun. Rasanya seperti membuka pintu masa kecil. Aroma kacang tanah yang disangrai, pedas cabai dan segarnya daun kemangi membuatku seketika teringat meja kayu nenek. Aku menahan air mata. Malam itu, di tengah hiruk pikuk kota, aku merasa pulang.
Indonesia, Kawan, selalu menyimpan rasa pulang dalam kulinernya. Di Sumatra, gulai dan rendang memberi kita cerita tentang rempah yang dibawa pedagang India berabad-abad lalu. Di Jawa, jenang dan wedang jahe menjadi medium doa dan harapan. Di Bali, lawar disajikan saat upacara, menandai kesatuan antara manusia, alam dan para dewa. Di Maluku, papeda dengan ikan kuah kuning adalah wujud cinta pada laut yang memberi kehidupan.
Kuliner adalah mitos yang bisa dimakan. Ia menyimpan cerita rakyat yang tak ditulis dalam buku sejarah tapi diwariskan dari mulut ke mulut, dari tangan ke tangan.
Ketika nenek meninggal, meja kayu itu diwariskan padaku. Pada saat itulah aku sadar betul apa maksudnya. Meja itu bukan hanya tempat makan, melainkan panggung kecil tempat cinta tanah air dipertunjukkan dalam bentuk paling sederhana: sepiring makanan.
Kini, Indonesia telah mencapai 80 tahun kemerdekaannya. Di layar televisi, para pemimpin berbicara tentang inovasi, pembangunan dan prestasi yang mendunia. Tapi di balik gegap gempita itu, aku masih percaya ada hal yang lebih intim dan tak boleh kita lupakan: menjaga rasa.
Apa gunanya kita menembus teknologi dunia, Kawan, jika anak-anak kita lupa bagaimana rasa soto Lamongan atau aroma wangi nasi liwet? Apa artinya merdeka, jika lidah kita kehilangan bahasa lokalnya sendiri?
Aku membayangkan Indonesia delapan puluh tahun ke depan. Apakah masih ada anak kecil yang tertawa sambil makan kue rangi di pinggir jalan? Apakah masih ada pemuda yang pulang kampung dan meneteskan air mata karena mencicipi pecel buatan ibunya?
Harapanku sederhana: semoga negeri ini tetap menyimpan kekayaannya bukan hanya di rak museum atau buku pelajaran, tetapi di dapur-dapur rumah rakyatnya. Sebab cinta tanah air sesungguhnya, bisa lahir dari cara kita menyuapkan nasi, dari cara kita menghargai sepotong tempe, dari cara kita bersyukur pada rasa.
Beberapa hari lalu, aku mengundang teman-temanku kerumah. Mereka datang dari berbagai latar belakang, ada yang dari Papua, Kalimantan, Aceh, juga Jawa. Aku sengaja menyajikan hidangan sederhana di atas meja kayu nenek: papeda, rendang, sate lilit dan pecel. Saat kami duduk bersama, tawa mengalir, cerita mengalun dan rasa menyatukan kami lebih kuat daripada pidato mana pun.
Salah seorang teman berkata, “Aku baru sadar, Indonesia itu luas sekali. Dan kita bisa merasakannya di meja makan ini.”
Aku tersenyum. Itulah jawaban yang selama ini kucari.
Percakapan berlanjut, Kawan. Teman dari Papua bercerita tentang keladi rebus yang selalu ia rindukan, yang katanya tak pernah sama jika dimasak di kota besar. Teman dari Kalimantan menambahkan tentang iwak gabus asap yang biasanya disantap dengan sambal terasi, aroma khasnya membuatnya selalu ingin pulang. Dari Aceh, seorang sahabat bercerita tentang kuah pliek u, makanan sederhana yang diracik dari ampas kelapa, namun menyimpan filosofi kebersamaan.
Malam itu, kami saling menukar cerita, saling memperkenalkan rasa. Dan aku semakin yakin: persatuan bangsa ini tidak hanya disatukan oleh sumpah para pendiri, tetapi juga oleh rasa yang kita wariskan di meja makan.
Kawan, di meja kayu warisan nenekku, aku belajar bahwa cinta tanah air bisa sederhana sekaligus sakral. Ia tak selalu berupa perjuangan di medan perang atau gegap gempita festival besar. Kadang, ia hadir dalam sesendok sayur lodeh, dalam sepotong rendang atau dalam jenang merah putih yang lengket di lidah.
Dan ketika bangsa ini merayakan delapan puluh tahun kemerdekaannya, aku berharap kita tak hanya mengenang bendera dan pidato, tapi juga rasa yang menyatukan.
Sebab Indonesia, pada akhirnya, adalah meja panjang yang dipenuhi makanan, cerita, mitos dan doa yang kita bagi bersama.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News