Ada yang berbeda pagi ini di Kuala Lumpur. Biasanya, naik MRT hanyalah rutinitas membosankan—wajah lelah, langkah terburu-buru, dan kesunyian yang hanya dipecah oleh dengung kereta.
Namun hari ini semuanya berubah. Stasiun penuh warna, sarung dan kain dengan berbagai motif berkibar di udara, dan ribuan wajah tersenyum seolah-olah sudah saling mengenal sejak lama.
Saya berdiri di tengah keramaian, dan jujur saja, rasanya seperti terjebak dalam sebuah festival jalanan raksasa. Tak ada yang peduli siapa Anda, dari mana asalmu, atau apa pekerjaanmu. Semua setara, disatukan oleh sehelai kain: sarung. Dan rasanya begitu indah.
“Serumpun” dalam Semaraknya
Tema tahun ini adalah “Serumpun”, dan jelas terasa bahwa ini bukan sekadar slogan. Dari Subang Jaya hingga KL Sentral, dari Putrajaya hingga Gombak, gelombang manusia bergerak bersama menuju pusat kota. Saat berkumpul, saya melihat Malaysia dalam wujud paling hidupnya: beragam, riuh, namun indah dalam kesatuan.
Sekitar 20.000 peserta tahun ini mengenakan sarung mereka dan naik kereta dari 11 stasiun awal di Lembah Klang. Dari Subang Jaya, Kajang, KL Sentral, Putrajaya Sentral, UPM, Gombak, dan lainnya, mereka semua bertemu di Kuala Lumpur.
Di sana, suasana berubah menjadi perayaan Hari Malaysia yang penuh musik, pertunjukan, dan suguhan budaya. Tahun ini terasa lebih istimewa karena fokus Serumpun, sejalan dengan kepemimpinan Malaysia di ASEAN, yang mengubah acara ini dari perayaan lokal menjadi simbol solidaritas regional.
Lebih dari sekadar Malaysia, saya merasakan kehadiran seluruh Nusantara bahkan Asia. Saya mendengar bahasa Melayu, Mandarin, Tamil, hingga logat Sabah dan Sarawak bercampur dalam satu ruang.
Namun ketika musik mulai mengalun, semua bahasa itu luluh, tergantikan oleh tawa dan sorak yang sama. Saya tak bisa menahan diri untuk berpikir, “Mungkin beginilah wajah ASEAN seharusnya, bukan di ruang diplomasi, melainkan di jalanan, di kereta, di tubuh-tubuh yang bergoyang mengikuti irama yang sama.”
Akhir yang Menyentuh
Acara ditutup dengan sesuatu yang tak pernah saya bayangkan: ribuan orang menari lamba mengikuti lagu Tabola Bale dari Flores, Indonesia, lagu yang pertama kali saya temukan bukan di festival budaya, melainkan di TikTok.
Aneh memang. Sebuah lagu viral, biasanya hanya jadi hiburan ringan di layar ponsel, tiba-tiba berubah menjadi lagu kebersamaan bagi ribuan orang di jantung Kuala Lumpur, menyatukan budaya dari seluruh kawasan.
Melihat warga Malaysia dan Asia lainnya menari bersama lagu Indonesia sungguh menghangatkan hati. Ada rasa kedekatan, sebuah kesadaran sunyi bahwa “kita sebenarnya tidak terlalu berbeda”, meski dipisahkan lautan dan bendera. Momen itu sederhana, namun begitu bermakna.
Lebih dari Sekadar Acara Tahunan
Sejujurnya, saya datang hanya karena rasa penasaran. Tapi saya pulang membawa sesuatu yang berbeda: secercah harapan.
Di masa ketika orang semakin sibuk dengan dunianya sendiri, acara seperti Keretapi Sarong mengingatkan bahwa kita masih bisa berkumpul, masih bisa merayakan kebersamaan dengan cara yang indah dan membumi.
Sarung mungkin sederhana, tetapi hari ini ia menjembatani tradisi dan kehidupan modern, Malaysia dan Nusantara, serta mempersatukan banyak orang. Dan saya merasa beruntung bisa menyaksikannya dengan mata kepala sendiri.
Kuala Lumpur pagi ini merayakan salah satu festival tahunan terbesar negara. Sekaligus menunjukkan pada dunia bahwa budaya tidak pernah usang. Selama masih ada orang yang mau merayakannya bersama, budaya itu bisa menari, tertawa, bahkan viral di TikTok.
Dan bagi saya, itulah bentuk harapan paling manusiawi: bahwa di balik semua perbedaan, kita tetap bisa menari mengikuti irama yang sama.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News