Abdul Rozak Fachruddin (AR Fachruddin) atau yang biasa dikenal Pak AR tercatat pernah menjadi pemimpin Muhammadiyah terlama (1968-1990). Kepemimpinannya selama 22 tahun telah melewati berbagai fase perubahan sistem politik di Indonesia. Meski demikian, prinsip yang dianut Pak AR masih sama, yakni mengutamakan rakyat.
Pak AR telah memberi banyak pengaruh di berbagai bidang. Atas kiprahnya itu, tahun 2025 ini, ia mendapat Anugerah Pesantren Award 2025 dalam kategori Lifetime Achievement yang diselenggarakan Kementerian Agama.
Bagaimana biografi K.H. AR Fachruddin dan apa saja kontribusinya?
Biografi K.H. AR Fachruddin
Lahir di Pakualaman, Yogyakarta, pada 14 Februari 1916, K.H. AR Fachruddin tumbuh di lingkungan pesantren dan tradisi keislaman yang kuat. Sejak muda, ia telah dikenal sebagai pribadi yang rendah hati dan mudah bergaul dengan siapa pun.
Tahun 1923, di usianya yang masih belia, untuk pertama kalinya ia mengenyam pendidikan formal di Standaard School Muhammadiyah Bausasran, Yogyakarta. Sekolah ini menjadi pintu awal yang mempertemukannya dengan dunia pendidikan modern Islam yang kelak membentuk wataknya sebagai pendidik dan tokoh besar Muhammadiyah.
Akan tetapi, Pak AR harus pulang ke kampung halaman di Bleberan, Kulonprogo, setelah ayahnya sudah tidak menjadi penghulu dan usaha batik keluarganya jatuh.
Dua tahun kemudian, pada 1925, ia kembali merantau ke Prenggan, Kotagede, dan melanjutkan belajar di Standaard School Muhammadiyah Prenggan. Tahun 1928, setelah lulus dari sekolah dasar tersebut, Pak AR muda diterima di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta.
Baru dua tahun menimba ilmu di sana, ia mendapat panggilan pulang dari ayahnya. Ia kembali ke Bleberan untuk melanjutkan belajar kepada para ulama lokal seperti K.H. Abu Amar. Ia juga menempuh pendidikan tambahan di Madrasah Wustha Muhammadiyah Wanapeti, Sewugalur, Kulonprogo.
Lalu ia kembali menuntut ilmu secara formal di Madrasah Darul Ulum Muhammadiyah Wanapeti pada 1932, sebelum akhirnya melanjutkan ke Madrasah Tablighschool Muhammadiyah (atau Madrasah Muballighin) pada 1935.
Awal Pengabdian dan Dakwah ke Sumatra
Tahun 1935 Pimpinan Pusat Muhammadiyah menugaskan Pak AR ke Talangbalai, wilayah yang kini termasuk Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatra Selatan. Di sana, ia mengembangkan dakwah Muhammadiyah dengan mendirikan Sekolah Wustha Mu’allimin Muhammadiyah, setingkat SMP. Tujuannya, agar anak-anak di daerah terpencil juga bisa menikmati pendidikan Islam modern.
Pada tahun 1938, kiprah dakwahnya meluas ke Ulak Paceh, Sekayu, Musi Ilir (kini Kabupaten Musi Banyuasin). Ia mendirikan lembaga serupa dan aktif membina para kader muda.
Tiga tahun kemudian, tepatnya 1941, ia berpindah tugas ke Sungai Batang, Sungai Gerong, Palembang, sebagai pengajar di HIS (Hollandsch Inlandsche School) Muhammadiyah. Ia mengajar mengajar anak-anak pribumi di tengah keterbatasan fasilitas dan tekanan kolonial.
Akan tetapi, masa itu tidak berlangsung lama. Pada 14 Februari 1942, tentara Jepang menyerbu pabrik minyak Sungai Gerong. Sekolah tempat ia mengajar pun ditutup karena situasi perang. Pak AR kemudian dipindahkan ke Tebing Grinting, Muara Meranjat, masih di wilayah Palembang, dan bertugas di sana hingga tahun 1944.
Selain mengajar di sekolah Muhammadiyah, ia juga aktif memimpin dan melatih Hizbul Wathan (HW), mengisi pengajian masyarakat, serta membimbing anak muda agar tetap berpegang pada nilai-nilai keislaman meski situasi negeri sedang genting.
Kontribusinya dalam Muhammadiyah
Perjalanan K.H. AR Fachruddin dalam Muhammadiyah dimulai dari bawah. Ia pernah menjadi guru agama, kemudian aktif di berbagai cabang Muhammadiyah di Yogyakarta dan Sumatra Selatan. Dedikasinya membuatnya dipercaya menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah sejak 1968 hingga 1990, menggantikan K.H. Faqih Usman.
Selama 22 tahun memimpin, ia melewati masa-masa genting Indonesia, mulai dari Orde Lama, transisi ke Orde Baru, hingga masa konsolidasi pembangunan nasional. Di tengah dinamika politik dan pergulatan ideologi, K.H. AR Fachruddin selalu menempatkan Muhammadiyah di jalur yang tegak. Ia berdakwah dengan hikmah dan kesejukan, tanpa tergoda tarik-menarik kekuasaan.
"Beliau tidak pernah menjadikan jabatan sebagai jalan untuk memperkaya diri. Bapak tak pernah memiliki rumah. Rumah di Jalan Cik Di Tiro itu milik Muhammadiyah. Bahkan setelah wafat pun langsung dikembalikan," ucap Sukriyanto AR, salah satu putranya.
Ia dikenal dekat dengan pejabat, tapi tak pernah memanfaatkan kedekatan itu untuk kepentingan pribadi. Sebaliknya, ia sering menggunakan pengaruhnya untuk memperjuangkan kemaslahatan umat. Dalam banyak kesempatan, ia menolak fasilitas negara, bahkan mobil dinas yang disediakan pemerintah pun tak diambilnya.
Hidup Sederhana, Ajaran yang Dalam
Kesederhanaan adalah cara berpikir bagi K.H. AR Fachruddin. Ia bahkan tinggal di rumah yang sangat sederhana tanpa fasilitas mewah. Dalam sebuah kisah yang diceritakan Fauzi, salah seorang putranya, Pak AR pernah menerima amplop berisi uang sebagai “tanda terima kasih” ketika selesai ceramah. Namun Pak AR menyerahkan uang itu ke Muhammadiyah.
"Pernah, setelah ceramah mewakili Muhammadiyah, beliau mendapat amplop. Tapi semua diserahkan ke Muhammadiyah. Bapak cuma bilang, 'Itu bukan hak saya, nak.'" Kata Fauzi.
Pak AR tak tebang pilih dalam berinteraksi. Ia berteman tak hanya dengan sesama ulama atau tokoh masyarakat, tetapi juga dengan rakyat kecil seperti pedagang, tukang becak, hingga anak-anak kampung. Bagi Pak AR, kemajuan tidak harus diukur dengan harta atau gedung megah, tetapi dengan kemandirian dan ketulusan dalam melakukan kerja-kerja perjuangan.
"Beliau betul-betul dalam track-nya membawa Muhammadiyah dan di era beliau Muhammadiyah itu menjadi Muhammadiyah yang betul-betul kultura. Pendekatan kultural beliau di dalam bergaul dengan masyarakat itu sangat inklusif," kata Haedar Nashir, Ketum PP Muhammadiyah 2015-2020.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News