kampung naga di antara larangan kesederhanaan dan ketaatan - News | Good News From Indonesia 2025

Kampung Naga: Di Antara Larangan, Kesederhanaan, dan Ketaatan

Kampung Naga: Di Antara Larangan, Kesederhanaan, dan Ketaatan
images info

Kampung Naga: Di Antara Larangan, Kesederhanaan, dan Ketaatan


Di tengah derasnya arus modernisasi, masih ada masyarakat yang memilih hidup dengan cara lama tanpa merasa tertinggal. Salah satunya adalah Kampung Naga, sebuah kampung adat di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Warganya hidup dalam kesederhanaan, memegang adat secara turun-temurun, dan menjalani kehidupan religius yang kuat.

Hasil wawancara dengan warga Kampung Naga memperlihatkan tiga hal utama yang membentuk kehidupan mereka: larangan adat atau pamali, kesederhanaan hidup, dan ketaatan pada nilai agama. Ketiganya saling berkaitan dan menjadi dasar harmoni sosial di tengah perubahan zaman.

Pamali: Larangan yang Menjaga Keseimbangan

Bagi masyarakat Kampung Naga, pamali bukan sekadar larangan tanpa alasan. Ia menjadi cara untuk menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan kepercayaan. Warga setempat mematuhi larangan tersebut karena dianggap sebagai bentuk hormat kepada leluhur dan lingkungan.

Salah satu larangan yang masih berlaku adalah tidak boleh memotret atau masuk ke Bumi Ageung, bangunan utama yang dianggap suci. Hanya sesepuh adat yang boleh memasuki tempat itu.

“Punten, ulah poto Bumi Ageung. Ningali ti luar pager mah teu nanaon,” ujar Ibu Ikah, salah satu warga yang sudah lama menetap di Kampung Naga.

Bagi warga, kata pamali sudah cukup kuat untuk ditaati. Mereka tidak merasa perlu menanyakan alasannya. Hal ini menunjukkan bagaimana nilai adat masih menjadi pengendali sosial yang efektif, bahkan tanpa aturan tertulis. Melalui tradisi seperti ini, masyarakat Kampung Naga berhasil menjaga keteraturan dan rasa hormat dalam kehidupan sehari-hari.

Kesederhanaan sebagai Pilihan Hidup

Patromak
info gambar

Gambar : Dokumentasi pribadi Patromak - Yolfani Meilanda


Ciri khas lain dari Kampung Naga adalah kehidupan yang sederhana dan selaras dengan alam. Warga memilih untuk tidak menggunakan listrik. Sebagai gantinya, mereka menggunakan cempor dan patromak sebagai penerangan malam hari.

Menurut Bapak Saep, warga yang sudah tinggal di sana sejak tahun 1989, kesederhanaan ini bukan karena keterpaksaan, tetapi karena keyakinan.

“Listrik mah teu aya, neng. Di dieu mah make patromak,” ujarnya sambil tersenyum.

Keputusan untuk tetap hidup sederhana adalah bentuk kesadaran kultural. Mereka percaya bahwa modernitas bisa mengubah tatanan nilai dan ketenangan hidup yang sudah dijaga sejak lama. Walau demikian, warga tetap terbuka terhadap tamu dan peneliti dari luar, selama menghormati aturan adat.

Kehidupan sederhana ini mengajarkan bahwa kemajuan tidak selalu diukur dari teknologi, tetapi dari kemampuan manusia menjaga keseimbangan antara kebutuhan, nilai, dan alam.

Pedaran: Tradisi Religius yang Mempererat Kebersamaan

Surau Kampung Naga
info gambar

Gambar : Dokumentasi pribadi Surau - Yolfani Meilanda


Selain memegang adat, masyarakat Kampung Naga juga sangat menjunjung nilai agama. Setiap tahun mereka mengadakan pedaran, yaitu peringatan hari-hari besar Islam yang dilaksanakan enam kali dalam setahun. Acara ini berisi tawasulan, shalawatan, dan doa bersama di masjid.

Setiap keluarga membawa tumpeng dari rumah masing-masing untuk didoakan bersama. Setelah selesai, tumpeng dibawa pulang dan dinikmati dengan keluarga.

“Pedaran téh tawasulan, sataun genep kali. Sadaya warga kumpul, ngadoa bareng,” kata Bapak Saep.

Menariknya, walaupun peringatan ini bernuansa Islam, unsur adat masih terasa kuat. Misalnya, pembagian ruang sakral antara masjid untuk warga dan Bumi Ageung untuk para sesepuh. Ini menunjukkan bahwa masyarakat Kampung Naga berhasil memadukan nilai agama dengan adat secara harmonis, tanpa saling meniadakan.

Ketaatan yang Membentuk Identitas

Baik dalam hal adat maupun agama, warga Kampung Naga menunjukkan tingkat ketaatan yang tinggi. Mereka patuh pada aturan adat yang diwariskan, sekaligus menjalankan ajaran agama dengan khusyuk.

Ketaatan ini bukan bentuk keterpaksaan, melainkan kesadaran kolektif yang sudah mengakar. Mereka hidup dengan prinsip saling menghormati, tolong-menolong, dan menjaga ketertiban. Tidak ada kepala suku, melainkan kuncén yang berperan sebagai penjaga adat dan moral masyarakat.

Dalam pandangan sosial, kehidupan masyarakat Kampung Naga mencerminkan solidaritas tradisional yang kuat—di mana kebersamaan dan kesamaan nilai menjadi dasar hubungan antarwarga. Nilai-nilai ini membuat mereka mampu bertahan, bahkan ketika dunia luar berubah dengan cepat.

Menjaga Warisan di Tengah Perubahan

Kampung Naga bukan sekadar tempat wisata budaya, tetapi juga ruang hidup yang menyimpan pelajaran tentang kebijaksanaan lokal. Warganya membuktikan bahwa kemajuan tidak selalu harus berarti meninggalkan tradisi.

Dalam larangan mereka tersimpan penghormatan. Dalam kesederhanaan, ada ketenangan, dan dalam ketaatan, ada makna yang menuntun kehidupan.

Kawan GNFI, di era serba cepat dan penuh distraksi ini, masyarakat Kampung Naga mengingatkan kita bahwa hidup tidak harus rumit. Menjaga nilai, menghormati alam, dan hidup sederhana adalah bentuk kemajuan yang sesungguhnya kemajuan yang tidak kehilangan jati diri.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

YM
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.