Warna memiliki peran penting dalam industri pangan, kosmetik, dan tekstil karena mampu meningkatkan daya tarik serta nilai jual produk. Salah satu pewarna alami yang telah lama digunakan dan masih populer hingga kini adalah karmin, pewarna merah yang berasal dari serangga cochineal (Dactylopius coccus).
Meskipun tergolong pewarna alami dengan banyak keunggulan, penggunaannya masih menimbulkan berbagai pandangan, terutama terkait kehalalan, etika, dan aspek teknologinya.
Asal Usul dan Sumber Pigment Karmin
Pewarna karmin diperoleh dari serangga betina cochineal yang hidup menempel pada kaktus Opuntia (prickly pear cactus), terutama di daerah beriklim kering seperti Meksiko, Peru, dan Bolivia. Pigmen merah alami yang diambil berasal dari tubuh serangga ini mengandung asam karminat (carminic acid), yang berfungsi melindungi serangga dari predator.
Untuk memproduksinya, serangga dikumpulkan, dikeringkan, lalu digiling menjadi bubuk halus. Bubuk tersebut diekstraksi menggunakan air panas atau alkohol, kemudian dicampur dengan logam seperti aluminium atau kalsium untuk menghasilkan pewarna karmin yang stabil dengan warna merah cerah serta tahan terhadap panas dan cahaya.
Selama proses produksi, terjadi perubahan kimia yang membuat asam karminat menjadi zat baru dengan sifat fisik dan kimia berbeda dari bahan asalnya. Transformasi ini tidak hanya meningkatkan kestabilan warna, tetapi juga memastikan keamanan penggunaannya dalam berbagai industri. Karena membutuhkan sekitar 70.000 hingga 100.000 ekor serangga untuk menghasilkan 1 kg karmin, pewarna ini memiliki nilai ekonomi tinggi dan termasuk salah satu pewarna alami paling mahal di dunia.
Sejarah dan Perkembangan Karmin
Sejarah panjang pewarna karmin dimulai sejak ribuan tahun lalu. Suku Aztec dan Inca di Amerika Selatan telah menggunakan serangga cochineal sebagai sumber warna alami untuk mewarnai kain, lukisan, dan perlengkapan ritual keagamaan. Warna merahnya yang kuat ini menjadikan pewarna karmin sebagai simbol kemewahan dan status sosial tinggi.
Setelah bangsa Spanyol datang ke benua Amerika pada abad ke-16, pewarna ini menjadi komoditas ekspor utama ke Eropa dan dikenal sebagai “emas merah” karena nilai jualnya yang sangat tinggi.
Di Eropa, karmin banyak digunakan sebagai pewarna untuk pakaian bangsawan, kain sutra, dan berbagai karya seni. Hingga saat ini, karmin digunakan secara luas di seluruh dunia dan diakui secara internasional sebagai pewarna alami E120 dalam industri makanan dan kosmetik.
Proses dan Karakteristik Karmin
Karmin merupakan pewarna alami berwarna merah tua yang sangat stabil terhadap panas, cahaya, dan oksidasi. Keunggulan ini membuatnya lebih tahan lama dibanding pewarna alami lain seperti betanin dari bit merah atau antosianin dari buah beri yang mudah rusak pada suhu tinggi atau pH tertentu. Karena sifatnya yang kuat dan tidak mudah pudar, karmin banyak digunakan dalam berbagai industri, terutama pangan dan kosmetik.
Selain itu, karmin tergolong tidak toksik dan aman digunakan sesuai batas yang ditetapkan oleh lembaga seperti FDA dan EFSA, bahkan termasuk dalam kategori GRAS (Generally Recognized as Safe).
Namun, pada sebagian orang, pewarna ini dapat memicu reaksi alergi ringan seperti gatal atau ruam, sehingga produsen diwajibkan mencantumkan label “mengandung karmin (E120)” agar konsumen dapat memilih dengan lebih bijak.
Pemanfaatan Karmin di Berbagai Industri
Pewarna karmin banyak dimanfaatkan secara luas di berbagai bidang, seperti:
• Industri pangan: dimanfaatkan untuk memberi warna merah atau merah muda pada minuman seperti yogurt, permen, es krim, sosis, dan berbagai produk olahan buah (Silva et al., 2022).
• Industri kosmetik: dimanfaatkan sebagai pewarna bagi lipstik, blush on, eyeshadow, dan cat kuku karena memberikan warna alami yang kuat dan tidak mudah luntur (Ristea et al., 2023).
• Industri farmasi: dimanfaatkan untuk mewarnai tablet, kapsul, dan sirup agar tampilan lebih menarik dan seragam.
• Industri tekstil dan seni rupa: dimanfaatkan selama beberapa abad untuk mewarnai kain wol dan sutra serta berbagai karya seni tradisional.
Aspek Keagamaan dan Kehalalan Karmin
Salah satu isu kontroversial dalam penggunaan karmin adalah status kehalalannya, karena pewarna ini berasal dari serangga cochineal. Banyak yang mempertanyakan apakah bahan tersebut boleh dikonsumsi menurut hukum Islam, mengingat serangga umumnya dianggap tidak halal. Namun, hasil kajian menunjukkan bahwa cochineal merupakan serangga herbivora yang hidup di lingkungan bersih, bukan pemakan bangkai atau kotoran.
Selain itu, proses pembuatan karmin mengalami perubahan kimia menyeluruh (istihālah kāmila) yang mengubah sifat asalnya, sehingga menurut sebagian ulama, zat tersebut dapat dianggap suci dan boleh digunakan.
Beberapa lembaga seperti MUI dan JAKIM menyatakan karmin dapat dinilai halal jika proses produksinya higienis dan tidak membahayakan kesehatan. Namun, sebagian lembaga lain tetap menganggapnya tidak halal karena menilai hukum bahan dasar tidak berubah meski telah melalui proses kimia.
Perbedaan pandangan ini menyebabkan status halal karmin bervariasi di setiap negara. Untuk mengatasi hal tersebut, banyak produsen kini berupaya memastikan proses produksinya sesuai standar halal dan mencantumkan label yang jelas agar dapat dikonsumsi dengan aman oleh seluruh masyarakat.
Kesimpulan
Pewarna karmin merupakan bahan alami bernilai tinggi yang berasal dari serangga cochineal, menghasilkan warna merah kuat, tahan lama, dan diakui aman secara global. Selama berabad-abad, karmin banyak digunakan dalam industri pangan dan kosmetik.
Meski sempat diperdebatkan karena asalnya dari serangga, kajian ilmiah dan keagamaan modern menilai karmin aman dan dapat dianggap halal jika diproduksi secara higienis dan melalui transformasi kimia sempurna. Dengan pengawasan ketat, pelabelan jelas, serta edukasi publik, karmin dapat terus dimanfaatkan sebagai pewarna alami yang aman, etis, dan ramah lingkungan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News