Sudah menjadi rahasia umum jika Indonesia kaya akan budaya benda maupun tak benda. Perbedaan dari jenis budaya tersebut terletak pada wujudnya, di mana budaya benda umumnya berupa karya fisik yang mempunyai bentuk nyata. Sementara itu, budaya tak benda seringkali berupa karya abstrak yang diwariskan secara turun temurun. Pada setiap budaya turut mengandung nilai yang menjadi ciri khas suatu daerah.
Salah satu jenis budaya tak benda yang dimiliki Indonesia adalah kain tenun. Dikutip dari wikipedia, tenun merupakan teknik dalam membuat kain yang dilakukan dengan menyatukan benang secara memanjang dan melintang. Biasanya, bahan kain menggunakan serat kayu, kapas, atau sutra. Sama seperti budaya pada umumnya, tenun membawa ciri khas sebagai bentuk representasi budaya dalam suatu masyarakat.
Beberapa wilayah di Indonesia merupakan penghasil tenun, salah satunya di Nusa Tenggara Barat (NTB). Dari sekian daerah dan pengrajin tenun di NTB, Yuyun Ahdiyanti berhasil meraih apresiasi SATU Indonesia Award 2024 di bidang kewirausahaan. Apresiasi ini diberikan atas kiprahnya dalam mengenalkan tenun khas daerahnya yaitu Kampung Ntobo.
Terletak di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kampung Ntobo termasuk ke dalam wilayah administratif Kecamatan Raba, Kota Bima. Seperti masyarakat Bima pada umumnya, masyarakat Kelurahan Ntobo menjunjung tinggi nilai-nilai adat dan agama. Selain itu, semangat jiwa wirausaha dan potensi sumber daya manusia di Ntobo menjadi modal dalam mengembangkan ekonomi lokal.
Masa kecil Yuyun Ahdiyanti tumbuh di tengah-tengah warga Kampung Ntobo yang mayoritas menjadi pengrajin tenun. Sedari kecil ia terbiasa membuat kain tenun dengan motif khas Bima yang diwariskan turun temurun dari orang tua dan nenek moyang. Berawal dari kecintaan terhadap warisan leluhur dan memudarnya tradisi tenun di kampungnya, Yuyun berupaya membangun usaha dengan menjual kain tenun yang dia buat.
Usaha tersebut diberi nama Galeri Yuyun UKM Dina yang didirikan sebagai upaya menyebarluaskan tenun Bima dan meningkatkan ekonomi kreatif lokal. Yuyun merasa terusik dengan potensi besar kemahiran pengrajin tenun di kampungnya yang tidak dikembangkan dengan optimal. Kain-kain indah karya warga Ntobo justru dijual dengan harga murah ke pengepul luar. Hal ini tidak sepadan dengan keindahan motif tenun dan tenaga para pembuatnya.
Meskipun dihadapkan dengan keterbatasan modal dan kondisi geografis yang jauh dari pusat kota serta mobilitas masyarakat dari luar yang rendah, tidak memudarkan semangat Yuyun untuk mengenalkan Kampung Ntobo sebagai penghasil tenun di Kota Bima. Justru dengan berbagai keterbatasan itu, melahirkan strategi baru yaitu dengan memanfaatkan media sosial sebagai sarana penjualan kain tenun. Diawali dengan mengunggah foto kain tenun yang dibuat keluarga dan tetangga di sekitarnya, Yuyun memasarkan kain-kain ini melalui media sosial Facebook. Hingga saat ini, Kampung Ntobo berhasil dikenal sebagai salah satu kampung penghasil tenun di Kota Bima dan membawanya mendapatkan apresiasi dari ASTRA pada tahun 2024.
Kiprah Yuyun Ahdiyanti dalam mengenalkan Kampung Ntobo sebagai daerah penghasil tenun tidak hanya melestarikan budaya, melainkan turut melahirkan kekuatan ekonomi baru di tingkat lokal. Kain tenun tidak sekadar produk kerajinan tangan, melainkan simbol peradaban dan ciri khas suatu daerah. Tidak ingin kain tenun sebatas pajangan di museum-museum, ia ingin tenun tetap hidup, digunakan, dibanggakan, dan diwariskan untuk generasi-generasi setelahnya. “Tenun adalah bahasa kami. Di setiap motifnya ada cerita, doa, dan sejarah.”
Yuyun ingin terus mengenalkan Ntobo sebagai kampung tenun dengan mendorong para wisatawan untuk melihat proses pembuatan kain tenun. Cakupan pasar UKM Dina diharapkan dapat melakukan kemitraan dengan berbagai pihak, seperti Pemerintah Daerah di luar NTB dan organisasi pemerintah seperti Dewan Kerajinan Nasional Daerah (DEKRANASDA). Selain itu, tidak menutup kemungkinan untuk merambah ke pasar mancanegara.
#kabarbaiksatuindonesia
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News