International Olympic Committee (IOC) atau Komite Olimpiade Internasional menjatuhkan sanksi kepada Indonesia imbas penolakannya untuk menerbitkan visa pada atlet senam artistik Israel. Akibatnya, lembaga tersebut melarang segala bentuk penyelenggaraan olimpiade di Tanah Air hingga Indonesia memberikan jaminan bagi seluruh atlet di dunia, terlepas dari kewarganegaraannya, untuk hadir dan bertanding.
Penolakan Indonesia jelas bukan tanpa sebab. Selain tidak menjalin hubungan diplomatik, keputusan untuk menolak visa atlet Israel juga sejalan dengan prinsip Indonesia yang menolak adanya penjajahan.
Menanggapi hal ini, Dosen Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta, Winda Eka Pahla Ayuningtyas, S.Pd., M.A., menjelaskan bahwa sanksi IOC tidak hanya masuk dalam isu olahraga saja, tetapi juga politik internasional.
Dalam kacamata hubungan internasional, Winda mengatakan jika hal tersebut berkaitan dengan reputasi, norma global, serta posisi Indonesia dalam sistem internasional. Respons Indonesia juga menentukan akan dilihat sebagai negara yang patuh pada tatanan global atau justru menolak normal internasional, tetapi mempertahankan norma nasionalnya.
“Sebenarnya pemerintah Indonesia ini juga dilematis, apakah akan menjadikan integritas nasionalnya tetap dijaga atau malah patuh pada norma tatanan global,” jelas Winda pada GNFI.
IOC dan Netralitasnya
Dalam Olympic Charter, IOC menyebut bahwa olahraga harus netral dan bebas dari intervensi politik. Selain itu, IOC juga memiliki prinsip dasar non-diskriminasi, otonomi, dan netralitas politik yang mengatur jalannya olimpiade.
IOC menganggap bahwa seluruh atlet, tim, dan pejabat olahraga—selama memenuhi syarat—dapat berpartisipasi dalam kompetisi dan acara olahraga internasional tanpa bentuk diskriminasi apapun dari negara tuan rumah.
Dalam kasus Indonesia, IOC menganggap bahwa pembatasan atlet Israel untuk hadir dan bertanding di Jakarta merupakan tindakan yang merampas hak atlet untuk berkompetisi secara damai. Artinya, bagi IOC, Indonesia sudah mencederai prinsip netralitas dalam dunia olahraga internasional.
Menyoal hal ini, apakah IOC tengah menunjukkan standar gandanya?
Menjawab hal tersebut, Winda tak menampik bahwa IOC memang melakukan standar ganda, meskipun secara prinsip mereka mengatakan bahwa lembaga tersebut menjunjung tinggi netralitas dan anti-diskriminasi.
Dalam praktik pengambilan keputusan, IOC acap kali dipengaruhi oleh negara-negara besar, seperti Amerika Serikat. Ia juga menyoroti bagaimana IOC mengorbit pada kepentingan negara superpower yang punya pengaruh ekonomi, sponsor, dan geopolitik yang besar.
“Lembaga internasional itu tidak sepenuhnya independen. Mau kita bilang, apakah PBB independen? Itu juga tidak independen. Karena lagi-lagi itu (IOC, PBB, dan lainnya) akan terpengaruh negara-negara maju,” tukas Winda.
Sebagai informasi, pendanaan IOC berasal dari swasta atau sponsor. Perusahaan yang memberikan sponsor mayoritas berasal dari negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Korea Selatan, hingga negara-negara Eropa. Hasil dari sponsor inilah yang akan didistribusikan untuk mendukung atlet dan organisasi olahraga di seluruh dunia.
Lalu, mungkinkah IOC dapat berlaku adil bagi seluruh negara di dunia dan ‘tak melulu’ memihak pada negara maju saja?
Menurut Winda, hal ini akan sulit. Ia mencontohkan bagaimana FIFA yang banyak dipengaruhi oleh negara-negara di Timur Tengah.
Belum lagi, pendanaan atau sponsor serta hak siar global IOC juga banyak dikendalikan oleh perusahaan Barat. Mau tak mau, suka tak suka, IOC tentu harus ikut ‘mematuhi’ aturan negara-negara tersebut.
Tiap kebijakan IOC berpotensi untuk ditafsirkan sebagai dukungan atau penolakan pada politik tertentu, meskipun mereka mengupayakan kenetralan. Akan tetapi, bias sistemik tersebut yang justru membuatnya tampak tidak netral.
“Selama IOC masih diintervensi oleh negara maju, itu akan sangat sulit, meskipun dirancang untuk netral,” ungkap dosen sekaligus praktisi SDGs itu.
Cara Apa yang Bisa Dilakukan Indonesia?
Melihat dunia yang cenderung berperilaku tak adil pada negara-negara kecil dan berkembang, Winda menyebut jika perlu ada solidaritas yang kuat antarsesama negara Global South. Bahkan, menurutnya Indonesia sangat bisa menjadi negara pelopor sekaligus penggerak, sejalan dengan Presiden Prabowo Subianto yang tampak aktif dalam diplomasi internasional selama ini.
Diplomasi kolektif dengan sesama negara berkembang dirasa penting untuk dapat menyeimbangkan kekuatan di dunia. Tak hanya itu, negara-negara Selatan juga dapat memulai untuk menulis narasinya sendiri.
“Kita (Global South) harus mereposisi narasi, alih-alih hanya mengikuti narasi barat tentang fairplay dan sebagainya. Kita harus munculkan konsep keadilan yang berpihak pada solidaritas, inklusivitas, kemudian hak atas manusia,” tegas Winda.
Tokoh-tokoh penting dari negara Global South juga bisa dilibatkan sebagai motor penggerak demi mendukung kebijakan itu. Representasi mereka dianggap penting, karena bukan sekadar simbolik, tetapi juga menentukan arah kebijakan legitimasi kebijakan global.
Indonesia juga perlu aktif berdiplomasi dan berdialog dengan IOC serta lembaga internasional lainnya. Dalam hal ini, Indonesia dapat menjelaskan bagaimana posisi resmi pemerintah. Winda turut menyarankan untuk tetap menunjukkan komitmen negara dalam prinsip netralitas politik dan non-diskriminasi dalam olahraga.
Berkaitan dengan diplomasi, penting untuk membawa delegasi diplomasi atau tim negosiasi yang kredibel. Tim khusus dapat terdiri dari Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), serta Komite Olimpiade Indonesia (KOI) untuk menciptakan tim yang solid.
“Ini penting untuk menunjukkan bahwa Indonesia menjunjung tinggi nilai-nilai dalam olimpiade,” pungkas Winda.
Pada akhirnya, sanksi ini menjadi peluang bagi Indonesia untuk menunjukkan seberapa matang kemampuan negosiasi, sekaligus menegaskan posisinya sebagai negara yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan hak asasi manusia.
Arah Hubungan Indonesia dan IOC Pasca-sanksi
Pasca-jatuhnya sanksi, KOI menggelar pertemuan resmi dengan IOC di Swiss pada 28 Oktober 2025. Di sana, pemerintah menjelaskan secara terbuka dan diplomatis terkait situasi dan alasan penolakan visa atlet Israel yang berkaitan dengan kondisi sosial serta menjamin keamanan para atlet.
Ketua Umum KOI, Raja Sapta Oktohari dalam keterangannya melalui ANTARA menjelaskan, pertemuan tersebut menjadi tonggak untuk memperkuat hubungan dengan IOC. Kedua pihak juga sepakat untuk melanjutkan diskusi dan evaluasi menyeluruh.
"Komunikasi yang baik, sikap terbuka, dan diplomasi yang konstruktif adalah jalan kita menuju solusi yang berkelanjutan," papar Oktohari.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News