kearifan ekologis suku tengger langkah awal melawan krisis iklim - News | Good News From Indonesia 2025

Kearifan Ekologis Suku Tengger: Langkah Awal bagi Masyarakat Indonesia untuk Lawan Krisis Iklim

Kearifan Ekologis Suku Tengger: Langkah Awal bagi Masyarakat Indonesia untuk Lawan Krisis Iklim
images info

Kearifan Ekologis Suku Tengger: Langkah Awal bagi Masyarakat Indonesia untuk Lawan Krisis Iklim


Di tengah ancaman krisis iklim yang kian nyata, dunia seolah menaruh harapan sepenuhnya pada solusi global dan teknologi canggih sebagai jalan keluar utama.

Namun, di balik kompleksitas inovasi yang ditawarkan, tersimpan tradisi yang telah mengakar sejak lama dalam diri masyarakat tradisional Indonesia seperti kearifan ekologis suku Tengger di lereng Gunung Bromo, yang menjaga harmoni antara alam dan manusia.

Nilai-nilai ekologis yang dijalankan oleh masyarakat Tengger sejatinya sejalan dengan semangat Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), terutama SDG 13 tentang penanganan perubahan iklim.

Melalui ketaatan pada larangan adat yang melindungi hutan serta ritual yang dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap alam, masyarakat Tengger telah lama menerapkan prinsip keberlanjutan, jauh sebelum isu ini menjadi agenda global.

baca juga

Masyarakat Adat Suku Tengger dan Alam

Bagi masyarakat Tengger, alam bukan sekadar ruang kehidupan, tetapi bagian dari diri mereka sendiri. Sukmawan dan Alifah (2024) dalam Jurnal Kawistara menjelaskan bahwa masyarakat Tengger mengenal tiga relasi kosmologis, salah satunya Palemahan, yakni hubungan antara manusia dan alam.

Mereka meyakini bahwa kesejahteraan manusia bergantung pada keseimbangan alam, sehingga menjaga hutan, tanah, dan air sama artinya dengan menjaga kehidupan itu sendiri.

Nilai ini tidak berhenti pada bentuk keyakinan semata. Masyarakat Tengger mewujudkannya lewat berbagai praktik sosial dan ritual adat yang menjadi bentuk pengabdian mereka terhadap alam. 

Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Tengger menerapkan aturan adat yang melarang penebangan pohon sembarangan dan segala bentuk perusakan lingkungan. Mereka juga diharuskan untuk menjaga sumber daya air dari pencemaran, serta memanfaatkan alam dengan kesederhanaan dan rasa hormat, bukan dengan keserakahan.

Folklor dan tradisi mereka, sebagaimana diungkap Sukmawan dan Nurmansyah (2012) dalam Jurnal Literasi, memuat nilai-nilai seperti sikap hormat, kasih sayang, dan tanggung jawab untuk hidup selaras dengan alam. 

baca juga

Dalam bentuk tradisi, salah satu yang paling dikenal adalah Yadnya Kasada, upacara ketika masyarakat Tengger mempersembahkan hasil bumi—sayuran, buah-buahan, dan ternak—ke kawah Gunung Bromo.

Sejati et al. (2023) dalam GeoJournal of Tourism and Geosites mengungkapkan bahwaritual ini tidak hanya sebagai persembahan kepada Sang Hyang Widhi atau leluhur, tetapi juga sebagai pengingat bahwa alam yang memberi kehidupan harus dijaga keseimbangannya.

Pelajaran dari Suku Tengger untuk Hadapi Krisis Iklim

Saat ini, masyarakat Indonesia menunjukkan kesadaran yang tinggi terhadap isu lingkungan dibandingkan dengan rata-rata global. “Indonesia merupakan negara yang paling peduli terhadap masalah lingkungan.

Sebanyak 92% responden setuju dengan pernyataan bahwa apabila tidak ada perubahan kebiasaan, maka akan terjadi bencana alam besar di kemudian hari,” tulis Agnes dalam laporan Goodstats yang mengutip survei Ipsos.

Namun, di balik kesadaran tinggi itu, ada kesenjangan besar antara pengetahuan dan tindakan. Banyak masyarakat yang memahami urgensi perubahan, tetapi belum menjadikannya bagian dari perilaku sehari-hari. Di sinilah kearifan lokal masyarakat Tengger memberikan teladan yang relevan. 

Prinsip dan ritual yang dijalankan oleh masyarakat Tengger memberikan pelajaran penting: lingkungan harus dihargai dan dijaga dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip hidup masyarakat Tengger menegaskan bahwa menghormati alam bukan sekadar pilihan moral, melainkan keharusan untuk menjaga keberlanjutan hidup. 

baca juga

Melalui ritual seperti Yadnya Kasada, mereka menunjukkan bahwa hubungan manusia dengan alam harus dilandasi rasa syukur dan tanggung jawab.

Ketika hasil bumi dipersembahkan kembali kepada alam, sesungguhnya mereka sedang menegaskan bahwa manusia hanyalah bagian dari siklus kehidupan, bukan penguasa atasnya.

Bayangkan jika semangat Palemahan ini diterapkan dalam konteks nasional: warga yang menanam pohon bukan sekadar untuk estetika, melainkan sebagai bentuk syukur; kebiasaan memilah sampah menjadi bagian dari etika, bukan sekadar kewajiban.

Jika kesadaran ini terinternalisasi dalam diri seluruh masyarakat Indonesia, menjaga lingkungan bukan lagi sekedar kampanye, tetapi menjadi sebuah kebiasaan yang lahir dari alam bawah sadar.

Dengan meneladani prinsip dan ritual suku Tengger, kita sebenarnya tidak perlu menunggu kebijakan pemerintah atau solusi global untuk menghadapi krisis iklim.

Masyarakat Indonesia dapat memulainya dari nilai-nilai yang telah hidup dalam budaya kita sendiri, tentang kesederhanaan, rasa hormat terhadap alam, dan keseimbangan hidup. 

Mari, Kawan GNFI, bersama-sama mulai meneladani prinsip dan ritual suku Tengger untuk bumi yang lebih baik! 

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AH
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.