Republik Indonesia memiliki sistem hukum yang beragam, dan dalam hal keuangan, ada dua sistem yang saling berdekatan: sistem konvensional yang mengacu pada Hukum Perdata (BW) dan sistem syariah yang berlandaskan Hukum Islam. Di dunia perbankan, kedua sistem ini menciptakan konflik hukum dan etika yang mendasar, terutama mengenai masalah bunga bank.
Dari sudut pandang hukum positif (hukum yang diatur pemerintah), bunga dianggap sah dan menjadi bagian penting dalam transaksi keuangan. Namun, dari perspektif Hukum Islam, bunga identik dengan riba, yaitu praktik ekonomi yang secara tegas dilarang. Konflik antara halal dan tidak halal ini menjadi pusat perdebatan. Artikel ini berpendapat bahwa memahami konsep riba, bukan hanya bunga, adalah kunci untuk memperkuat sistem perbankan syariah dan mencapai keadilan ekonomi yang diinginkan oleh Hukum Islam.
Dari Sudut Pandang Hukum Perdata
Sistem bunga dianggap sah dan dibenarkan sebagai hasil logis dari sebuah perjanjian meminjam uang. Bunga dianggap sebagai biaya penggunaan uang. Pihak yang meminjam uang dari orang lain mendapatkan manfaat ekonomi, sehingga wajib memberikan imbalan atas penggunaan uang tersebut dalam waktu tertentu. Selain itu, bunga juga berperan sebagai kompensasi risiko bagi bank karena adanya kemungkinan peminjam tidak mampu melunasi cicilan.
Secara hukum, pembayaran bunga dibenarkan karena:
- Prinsip Kebebasan Berkontrak (Pasal 1338 KUHPerdata): Kedua belah pihak bebas menentukan isi perjanjian, termasuk menyetujui adanya bunga sebagai imbalan.
- Undang-Undang Perbankan: Mengakui adanya jasa serta imbalan dari pemberian pinjaman oleh bank, di mana bunga menjadi penghasilan utama bank konvensional.
Oleh karena itu, dalam ranah hukum yang berlaku di Indonesia, sistem bunga bank dianggap sah dan memiliki kekuatan mengikat yang sempurna dalam suatu perjanjian.
Dari Sudut Pandang Hukum Ekonomi Syariah
Hukum Ekonomi Syariah mengubah cara memahami bunga dengan mengategorikannya sebagai riba, yang secara dasar dilarang. Riba, secara terminologi syariah, adalah tambahan (ziyadah) uang yang disyaratkan oleh pihak yang meminjamkan uang kepada pihak yang meminjam tanpa ada 'iwadh (imbalan) yang seimbang dengan risiko yang dibagi. Larangan ini dijelaskan dalam Al-Qur'an (QS. Al-Baqarah: 275) yang jelas menyatakan: "Allah melarang riba dan menghalalkan perdagangan." Ayat lain seperti QS. Al-Rum: 39 juga menegaskan larangan riba untuk mencegah eksploitasi.
Perbedaan antara riba dan bunga terletak pada fakta bahwa riba melibatkan pertukaran uang dengan uang yang pasti menghasilkan untung tanpa risiko. Dalam pandangan Syariah, uang bukanlah barang yang diperdagangkan, melainkan alat untuk menukar barang.
Untung dalam ekonomi harus didapatkan melalui:
- Murabahah (Jual-Beli): Mendapatkan keuntungan dari penjualan barang nyata dengan margin yang disepakati. Contoh: Bank syariah membeli rumah untuk nasabah dengan harga tertentu, lalu menjualnya kembali dengan margin keuntungan 10%, bukan bunga tetap.
- Mudharabah atau Musyarakah (Bagi Hasil): Keuntungan didapatkan dari investasi pada sektor nyata di mana kerugian ditanggung bersama (risk sharing). Contoh: Dalam musyarakah, bank dan nasabah berbagi modal untuk usaha, dan keuntungan dibagi berdasarkan persentase yang disepakati, sementara kerugian proporsional dengan modal masing-masing.
Kesimpulan
Memahami perbedaan antara bunga dan riba adalah penting untuk menghadapi dua sistem keuangan di Indonesia. Bunga dianggap sah dalam hukum positif (hukum perdata), sedangkan riba dianggap haram dalam hukum syariah (norma agama). Riba bukan hanya soal kata, tapi mewakili praktik ekonomi yang dilarang hukum Islam karena bisa merusak keadilan sosial melalui eksploitasi dan tidak adanya pembagian risiko.
Meskipun perbankan syariah sudah ada, tantangan terbesar adalah munculnya riba terselubung yang melemahkan prinsip keadilan syariah. Selain itu, tidak selarasnya antara fatwa DSN MUI dan hukum perdata menyebabkan ketidakpastian bagi konsumen. Data menunjukkan bahwa perbankan syariah di Indonesia telah berkembang pesat, dengan jumlah nasabah mencapai sekitar 20 juta pada 2023, namun riba terselubung masih menjadi risiko yang perlu diatasi untuk mencegah ketidakadilan ekonomi jangka panjang.
Oleh karena itu, perlu langkah-langkah penting seperti memperkuat DSN MUI agar fatwa memiliki kekuatan hukum yang mengikat, melakukan audit untuk memastikan bank syariah benar-benar bebas dari riba, serta meningkatkan pemahaman hukum syariah bagi para penegak hukum.
Akhirnya, hukum harus menjadi jaminan keadilan, bukan hanya pembenar praktik ekonomi yang bisa mengeksploitasi. Memahami perbedaan antara bunga dan riba adalah langkah awal untuk mencapai keadilan itu.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News