Di sebuah balai pertemuan kecil di Grati, Kabupaten Pasuruan, sekumpulan orang tampak duduk melingkar. Mereka berbincang pelan, sesekali tertawa, sambil memeriksa luka di tangan atau kaki yang perlahan sembuh.
Di tengah lingkaran itu, seorang perempuan berhijab tampak memperhatikan satu per satu ‘pasiennya’ dengan sabar. Kawan GNFI, dari tanah Pasuruan, ia adalah Ratna Indah Kurniawati. Beliau adalah seorang perawat puskesmas yang sudah lebih dari satu dekade menemani para penyintas kusta di wilayah ini.
Nama Ratna dikenal lebih luas ketika ia menerima Apresiasi SATU Indonesia Awards tahun 2010. Namun bagi banyak warga Grati, penghargaan itu hanya penanda formal dari sesuatu yang jauh lebih besar. Ratna sudah bekerja panjang untuk meruntuhkan stigma yang menempel kuat pada penyakit kusta.
Sebagai informasi, bagi sebagian orang, kusta adalah penyakit yang masih dibicarakan dalam bisik-bisik. Ada keluarga yang memilih menyembunyikan kondisi anggotanya. Ada yang takut disentuh. Ada yang berpikir penyakit ini “kutukan”. Terlebih lagi, kusta memang termasuk penyakit yang menular. Namun, jika sudah dilakukan pengobatan, maka penularannya bisa dikendalikan atau terputus mata rantainya.
Karena itu, Ratna berusaha mengedukasi masyarakat di sekitarnya bahwa kusta adalah penyakit yang bisa disembuhkan, dan para penyintasnya berhak diperlakukan setara.
Perkenalannya dengan para penyintas dimulai dari tugas rutin sebagai perawat. Namun, begitu melihat bagaimana stigma membuat pasien menarik diri dari lingkungan, Ratna merasa pengobatan saja tidak cukup. Ia berupaya meningkatkan kepercayaan diri para pasien, keluarga, untuk berdaya kembali ke masyarakat.
Maka, Ratna tak jarang membuat pertemuan kepada sesama penyintas. Mengajari mereka bagaimana belajar cara merawat luka sendiri, mengenali reaksi tubuh, dan saling menguatkan. Pertemuan-pertemuan itu bukan hanya soal kesehatan, melainkan tentang pulihnya rasa percaya diri.
Tentu saja Kawan, apa yang dilakukan Ratna tak selamanya berjalan nyaman. Tak hanya penderita kusta yang mendapatkan diskriminasi, pun juga dengan dirinya yang aktif memberikan literasi soal penyakit ini.
GNFI menuliskan, bahkan ia memerlukan waktu yang tidak sebentar untuk membuat stigma negatif yang diterimanya dari keluarga terhadap kegiatan ini berubah menjadi dukungan. Belum lagi, ketakutan-ketakutan umum lainnnya.
Terhadap aktivitas pembinaan Ratna, beberapa ‘peserta’ awalnya datang dengan kepala tertunduk. Ada yang jarang berbicara. Terlebih, tak jarang mereka masih mendapatkan penolakan dan diskriminasi dari beberapa pihak, termasuk pada pertemuan yang diadakan Ratna.
Namun perlahan suasana berubah. Ketika mereka menyadari bahwa mereka tidak sendiri, bahwa ada yang mendengarkan tanpa menghakimi, percakapan mulai mengalir. Di ruang kecil seperti itulah, kepercayaan tumbuh kembali.
Ratna diketahui juga turut membantu penderita kusta untuk kembali bekerja dan mendapatkan kemandirian ekonomi. Dalam ebook Astra, dituliskan salah satu warga binaannya ada yang menjadi pedagang jangkrik, bisa menyulam, dan menjahit. Mereka berhasil menjual hasil karyanya atau panennya sendiri.
Penghargaan dari SATU Indonesia Awards di tahun 2011 hadir setelah bertahun-tahun proses yang berjalan pelan, tetapi konsisten ini. Pengakuan tersebut membuka lebih banyak ruang berbagi pengalaman, bahkan menjadi inspirasi bagi tenaga kesehatan lain di daerah yang menghadapi kondisi serupa.
Kawan GNFI, Ratna mengingatkan bahwa perubahan sosial tidak selalu hadir dalam bentuk program besar. Kadang, perubahan dimulai dari satu orang yang berani mendekat ketika orang lain menjauh. Dari seseorang yang mau mendengar ketika banyak yang memilih diam. Dan dari seseorang yang percaya bahwa semua orang, tanpa kecuali, berhak menjalani hidup dengan martabat yang utuh.
#kabarbaiksatuIndonesia
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News