Keterbatasan akses bukan lagi penghalang ketika semangat perubahan datang dari hati. Hal inilah yang dibuktikan oleh Marwan Hakim, seorang petani bersahaja dari Desa Aikperapa, Kecamatan Aikmel, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB). Dari kegelisahannya, desa yang tadinya tertinggal jauh secara pendidikan, berubah pesat berkat inisiatif Marwan dalam dunia pendidikan.
Sebagai informasi, Marwan adalah lelaki yang lulus dari Madrasah Tsanawiyah atau setingkat SMP, kemudian sempat putus sekolah. Ia adalah putra Aikperapa, yang mana berupaya memajukan pendidikan di kampungnya sendiri.
Sejak tahun 2002, Marwan melihat ‘sekelilingnya’, prihatin dengan kondisi sosial di Aikperapa. Di desa yang mayoritas mata pencahariannya sebagai petani ini, punya tingkat pernikahan dini yang tinggi dan anak putus sekolah. Sebab, bagi para orang tua, mengenyam pendidikan sekolah dasar sudah dianggap cukup. Lantas, mereka menikah atau memulai bekerja.
Tak ingin masa depan anak-anak Aikperapa terus terputus dari dunia pendidikan tinggi, Marwan memulai aksinya dalam gerakan pendidikan berbasis agama.
Maka, ia mendirikan ‘sekolah kecil-kecilan’ di rumahnya sendiri. Mulai membujuk anak-anak yang hanya fokus mengaji di sore hari. Di sela-sela pelajaran agama, Marwan menyisipkan pentingnya pendidikan formal. Harapannya, agar semangat belajar formal suatu saat akan tumbuh di hati para anak didiknya.
Tak jarang, ia harus sampai menjemput murid-muridnya agar mereka terus bisa bersekolah. Dilansir dari Adventurose, lama-lama banyak warga yang mengira ia adalah ojek.
Sekolah Marwan memang bermodalkan ikhlas dan bayar sukarela. Untuk mengatasi kendala ekonomi warga yang mayoritas petani, Marwan menerapkan kebijakan administrasi yang sangat fleksibel, dikenal sebagai sistem pembayaran 'in natura'. Jika orang tua siswa tidak mampu membayar biaya sekolah dengan uang tunai, mereka diperbolehkan membayar menggunakan hasil bumi.
Tak ada usaha yang mengkhianati hasil. Selain anak-anak Aikperapa mulai menunjukkan minatnya pada pendidikan, bahkan mengenyam pendidikan hingga jenjang lanjut, Marwan juga berhasil mendirikan SMP Pertama di Desa Aikperapa. Menyusul kemudian pendirian SMA. Hebatnya, semuanya telah mendapatkan dari Dinas Pendidikan setempat.
Padahal, dalam sejumlah media disebutkan, Marwan sempat menerima penolakan berkali-kali dalam pendirian sekolahnya itu. Beberapa pihak bahkan menyarankan Marwan memberikan ‘uang’ agar diloloskan. Namun, ia menolak. Baginya, memulai kegiatan yang baik, harus dimulai dengan hal yang juga baik. Dengan demikian, hasil panjangnya juga akan berbuah baik.
Hingga saat ini, perjuangan Marwan Hakim telah membuahkan hasil nyata yang melampaui latar belakang pendidikannya yang sederhana. Sekolah yang ia rintis telah berhasil meluluskan ratusan siswa.
Dalam e-book Satu Indonesia Astra mencatat, sejak 2004, sudah lebih dari 200 murid SMP dan 50 murid SMA diluluskan.
Kisah Marwan ini menjadi pelajaran bagi kita semua. Bahwa meskipun kita memiliki ‘keterbatasan’, tetapi memudahkan banyak orang di masa depan akan membawa kebaikan untuk kita sendiri.
Atas dedikasi, ketekunan, dan kerja kerasnya dalam membangun dunia pendidikan dari nol di daerah tertinggal, Marwan Hakim dianugerahi penghargaan SATU Indonesia Awards di bidang Pendidikan pada tahun 2013. Penghargaan tersebut menjadi pengakuan atas perannya sebagai 'Pejuang Pendidikan Aikperapa' yang tulus mengajar tanpa pamrih.
Meskipun kini disegani, Marwan tetap tampil bersahaja. Penampilannya yang sangat sederhana bahkan sering membuatnya disangka sebagai tukang ojek oleh orang yang tidak mengenalnya. Namun, di balik kesederhanaan itu, Marwan Hakim adalah pahlawan nyata yang telah mengubah nasib anak-anak di Aikperapa melalui kekuatan pendidikan.
#kabarbaiksatuindonesia
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News