perjalanan ratih hadiwinito bersama teman autis dari mengubah stigma hingga menjaga nyala asa para orang tua - News | Good News From Indonesia 2025

Perjalanan Ratih Hadiwinito bersama Teman Autis: dari Mengubah Stigma, hingga Menjaga Nyala Asa Para Orang Tua

Perjalanan Ratih Hadiwinito bersama Teman Autis: dari Mengubah Stigma, hingga Menjaga Nyala Asa Para Orang Tua
images info

Perjalanan Ratih Hadiwinito bersama Teman Autis: dari Mengubah Stigma, hingga Menjaga Nyala Asa Para Orang Tua


“...kalau bercanda suka ‘autis lu’ gitu misalnya. Itu membuat aku dan teman-teman ngerasa kayaknya ngga pas, karena autis bukan sesuatu yang seharusnya dijadikan sebagai bahan bercandaan,” ucap Ratih Hadiwinito mengenang awal perjalanannya.

Autism Spectrum Disorder (ASD) merupakan kelainan perkembangan saraf yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berkomunikasi, berinteraksi dan merespon hal sekitarnya. Data menunjukkan terdapat lebih dari dua juta anak penyintas autisme di Indonesia. 

Meskipun begitu, ternyata masih banyak masyarakat yang belum memahami seperti apa kondisi penyandang autisme dan bagaimana memperlakukan mereka. Bahkan, seperti kata Ratih, “autis” seringkali dijadikan sebagai bahan candaan.

Hal tersebut menggerakkan hati Ratih yang berpendapat bahwa kondisi autisme tidak sepantasnya dijadikan bahan perundungan. Bersama Alvinia Christiany, mereka berusaha memahami lebih jauh tentang penyintas autisme serta kebutuhan para orang tua.

Menilik Masalah dan Stigma Penyandang Autisme

Dari keresahan Ratih dan Alvinia, diinisiasi Light Up Project yang pertama kali diadakan pada tahun 2017. Kegiatan fun walk sembari membagikan brosur edukasi autisme itu teryata menjadi awal sebuah perjalanan panjang.

Kegiatan tersebut juga diikuti beberapa anak penyintas autis. Ditemani orang tua dan pendampingnya, mereka membuat langkah-langkah kecil dimulai dari car free day Sudirman, Jakarta.

baca juga

Ratih mengaku, melalui Light Up Project, ia dan teman-teman menjadi lebih paham masalah-masalah yang dihadapi anak penyintas autis serta kebutuhan orang tua mereka. Salah satunya adalah bagaimana orang tua kesulitan dalam mencari informasi-informasi yang reliable.

Ternyata, informasi seputar klinik dan tempat terapi untuk penyandang autisme masih terbatas saat itu. Pemahaman yang salah dan respon yang keliru pun muncul di lingkungan masyarakat akibat kesimpangsiuran informasi seputar autisme.

Tidak jarang, fase penolakan yang kerap dialami para orang tua juga disebabkan karena ada stigma-stigma negatif tentang autisme dalam lingkungan sekitarnya. Hal tersebut membuat orang tua tidak bisa memahami kebutuhan anak penyintas autis, bahkan memilih untuk menyembunyikan kondisi mereka.

“Orang tua biasanya denial dulu. [Padahal] Nyatanya satu dari seratus anak itu penderita autisme.” jelas Ratih.

Karena itu, semakin jelas bagi Ratih bahwa perlu ada komunitas yang bisa memberikan informasi-informasi valid seputar autisme, serta menjawab masalah-masalah yang dialami penyintas autis dan orang tua mereka.

baca juga

Dari Empati, Lahir Ruang Aman untuk Saling Berbagi

Teman Autis lahir dari empati yang dirasakan Ratih dan teman-teman. Komunitas yang diperkenalkan melalui website temanautis.com pada 2018 ini, menjadi wadah informasi-informasi reliable tentang autisme berdasarkan masalah yang dihadapi penyintas autis dan para orang tuanya.

Artikel-artikel seputar apa itu autisme, gejala-gejalanya, bagaimana cara merespon kondisi tersebut, hingga kebutuhan gizi penyandang autisme, ditulis oleh para ahli untuk mengurangi kesalahpahaman dan stigma-stigma negatif tentang autisme yang beredar di masyarakat.

Dalam usaha membantu para orang tua anak penyandang autisme, di website Teman Autis juga terdapat sebuah laman direktori yang mencatat informasi klinik, sekolah, hingga tempat terapi untuk anak autis lengkap dengan layanan serta kontak yang dapat dihubungi.

Salah satu intervasi dini yang bisa dilakukan oleh orang tua dari anak penyintas autis adalah dengan berkonsultasi ke klinik. Selain ingin memudahkan para orang tua untuk menemukan fasilitas pendukung terdekat dari lokasi mereka, Teman Autis juga berupaya membagikan daftar klinik yang bisa dijangkau segala lingkup masyarakat dengan berbagai tingkat ekonomi.

Hingga kini, Teman Autis telah menjalin lebih dari 100 kemitraan dengan klinik, sekolah, dan tempat terapi untuk penyintas autisme. Selain itu, seminar daring (webinar) juga secara rutin diadakan sebagai jembatan antara orang tua penyintas autis dengan narasumber-narasumber yang ahli di bidangnya.

Teman Autis juga bekerja sama dengan komunitas-komunitas parenting yang memungkinkan para orang tua dapat menyampaikan keresahan, mengajukan pertanyaan, hingga konsultasi gratis dengan para ahli. Mereka berupaya untuk senantiasa memberikan informasi dengan dasar medis serta ilmu pengetahuan.

Melansir dari laman IDN Times, Alvinia mengutarakan tujuan Teman Autis untuk menjadi komunitas yang sehat bagi para penyandang autisme yang mungkin belum diterima di lingkungan sekitarnya.

“...Kami ingin membantu teman-teman autis dan orang tuanya. Walaupun lingkungan sekitarnya belum dapat menerima, setidaknya mereka memiliki komunitas yang sehat,” ujar Alvinia dalam kesempatan itu.

Ratih dan Alvinia percaya bahwa membangun jaringan komunitas menjadi sangat penting sebagai ruang aman untuk saling berbagi agar penyintas autis tidak merasa sendiri.

baca juga

Memahami Kebutuhan Penyintas Autis dan Menjaga Asa Orang Tua

Pemahaman yang keliru mengenai autisme bisa menimbulkan stigma negatif dan respon yang salah. Misalnya saat anak tantrum, akan muncul stigma bahwa anak autis bandel.

Padahal, penyintas autis juga memiliki tantangan untuk mengekspresikan emosinya. Bahkan, anak autis mudah merasa overwhelm hingga tidak bisa mengontrol diri karena tingginya sensitivitas sensori mereka.

Basically, orang ini tuh punya kebutuhan. Bedanya dia ngga bisa menyampaikan kebutuhannya seperti kita bisa ngomong,” ujar Ratih dalam program SATU Indonesia Awards Bicara.

Orang tua perlu memahami hal tersebut dan membantu anak untuk mendapatkan ruang tenangnya. Ratih menyampaikan bahwa penerimaan adalah langkah awal agar orang tua bisa mendampingi anak penyintas autis dengan pola asuh yang tepat.

Peran orang tua untuk mengenali karakter anak sangat diperlukan agar paham cara merespon dan mengembangkan potensi mereka. Menurut cerita Ratih, banyak anak autis yang memiliki potensi luar biasa.

“Sebagai orang tua yang baru memiliki anak kan tidak ada kurikulumnya ya, apalagi menjadi orang tua anak autisme,” lanjut Ratih.

Maka dari itu, Teman Autis juga memberi wadah bagi para orang tua untuk saling dukung melalui grup WhatsApp. Para orang tua bisa berbagai informasi tentang berbagai komunitas, misalnya komunitas melukis untuk anak-anak autis agar hobi mereka dapat tersalurkan.

Teman Autis berupaya membantu orang tua penyintas autis agar tidak merasa sendirian dalam perjalanan mendampingi anak mereka.

“Tidak Ada Isu yang Terlalu Kecil”

Kontribusi Ratih dan teman-teman untuk mewujudkan Indonesia ramah autisme mendapatkan Apresiasi SATU Indonesia Awards 2022 dari Astra karena sejalan dengan Sustainable Development Goals (SDGs) di tanah air.

“Ngga ada isu yang terlalu kecil. Saya percaya kita di dunia dikasih misi sama yang di atas. So sekecil apapun misi itu, itu yang harus kita tampilkan.” Kata Ratih mengakhiri wawancara hari itu.

Ratih dan teman-teman ingin lebih banyak masyarakat Indonesia yang peka dan menerima kondisi autisme, supaya penyintas autis juga bisa lebih mudah dalam menjalani kehidupan mereka. Lebih dari sekedar edukasi dan dukungan, Teman Autis berupaya terus mendampingi penyandang autisme dan turut menjaga nyala asa para orang tua.

#kabarbaiksatuindonesia

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

DA
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.