Dalam era digital yang semakin berkembang, fashion tidak lagi sekadar soal estetika pribadi, melainkan cerminan dari dinamika sosial, budaya, dan identitas. Di tengah arus globalisasi yang membawa tren-tren internasional ke depan pintu kita, generasi muda sering dihadapkan pada dilema: apakah mengadopsi gaya global berarti mengorbankan akar budaya lokal?
Judul artikel ini, “Style Boleh Fleks, Tapi Identitas Tetap Fix”, menggambarkan esensi keseimbangan tersebut: fleksibilitas dalam berekspresi gaya, tanpa mengorbankan fondasi identitas nasional. Memahami interaksi antara fashion, globalisasi, budaya lokal, dan peran generasi muda menjadi krusial.
Artikel ini mengeksplorasi bagaimana kita bisa merangkul perubahan tanpa kehilangan jati diri, dengan insight dari perspektif budaya dan sosial yang relevan.
Pengaruh Globalisasi terhadap Fashion: Peluang dan Tantangan
Globalisasi telah merevolusi industri fashion secara dramatis. Sejak awal abad ke-21, platform seperti Instagram, TikTok, dan e-commerce raksasa seperti Shein atau Zara telah membuat tren fashion dari Paris, New York, hingga Seoul menjadi aksesibel bagi konsumen di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Di satu sisi, hal ini membuka peluang besar: produksi dan distribusi mode semakin cepat, kolaborasi lintas negara semakin lazim, dan konsumen mendapat ragam pilihan gaya yang sebelumnya sulit dijangkau.
Namun pengaruh ini bukan tanpa tantangan. Globalisasi sering kali mempromosikan homogenisasi budaya—di mana gaya Barat seperti athleisure atau fast fashion mendominasi pasar lokal.
Dalam konteks Indonesia, hal ini dapat mengancam keberagaman budaya dan identitas nasional bila tak disertai kesadaran budaya.
Dari sisi positif, globalisasi justru dapat menjadi peluang emas. Desainer Indonesia seperti Didit Hediprasetyo atau Anne Avantie telah berhasil mengintegrasikan elemen lokal ke panggung internasional, menunjukkan bahwa fashion bisa menjadi jembatan, bukan penghalang.
Adaptasi global—jika disertai akar budaya yang kuat—menjadi strategi meningkatkan daya saing sekaligus menjaga identitas.
Pentingnya Identitas Nasional dalam Gaya Berpakaian
Identitas nasional bukanlah konsep abstrak; ia terwujud dalam keseharian kita, termasuk apa yang kita kenakan. Di Indonesia, yang kaya akan keragaman etnis dan budaya, fashion menjadi media yang kuat untuk memperkuat rasa kebersamaan.
Kain batik, kebaya, atau ulos Sumatera bukan sekadar pakaian—melainkan simbol perjuangan kemerdekaan dan keberagaman. UNESCO bahkan mengakui batik sebagai Warisan Budaya Takbenda Manusia pada 2009, menegaskan nilai universalnya.
Bagi generasi muda, mempertahankan identitas ini sangat krusial di tengah tekanan global. Insight dari antropolog budaya seperti Clifford Geertz dalam karyanya tentang “web of significance” menekankan bahwa identitas adalah jalinan makna yang harus dijaga melalui praktik sehari-hari.
Dalam konteks profesional, hal ini bisa berarti mengadopsi “fusion fashion”—misalnya, blus kerja bermotif songket atau sneakers dengan aksen wayang.
Kampanye seperti “Batik Day” yang digalakkan pemerintah sejak 2011 tak hanya meningkatkan penjualan industri tekstil lokal sebesar sekitar 15% (data Kementerian Perindustrian Republik Indonesia, 2024). Namun, juga membangun kepercayaan diri generasi muda dalam menampilkan identitas nasional di forum global.
Peran Budaya Lokal di Tengah Tren Global
Budaya lokal bukanlah warisan yang diam—melainkan aset dinamis yang dapat bersinergi dengan tren global. Di Indonesia, yang memiliki lebih dari 300 kelompok etnis, fashion lokal menawarkan keunikan yang sulit ditiru oleh fast fashion massal.
Kain tenun dari NTT atau bordir Dayak dari Kalimantan bukan hanya cantik, tetapi juga mendukung pengrajin lokal dan mengurangi jejak karbon dibanding produksi massal di luar sana.
Globalisasi malah bisa memperkuat budaya lokal melalui platform digital. Influencer dapat mempopulerkan outfit hybrid—seperti hijab modern dengan sentuhan gamis batik—yang menarik audiens global.
Laporan dari Fashion Revolution (2023) menyebutkan bahwa konsumen milenial semakin memilih brand yang autentik dan etis, dengan 68% bersedia membayar lebih untuk produk yang mendukung budaya lokal.
Ini menjadi peluang bisnis nyata: startup seperti Batik Chic atau Loom Indonesia telah sukses mengekspor desain lokal ke pasar Eropa, dengan revenue tahunan hingga Rp500 miliar.
Generasi Muda: Penjaga atau Pengubah Identitas?
Generasi muda—milenial dan Gen Z—adalah aktor utama dalam narasi ini. Mereka lahir di era pasca-reformasi, dengan akses informasi global yang membentuk pandangan dan gaya hidup mereka.
Di satu sisi, mereka adalah penjaga identitas: survei Nielsen Indonesia (2023) menemukan bahwa 76% Gen Z Indonesia mengidentifikasi diri sebagai “global citizen with local roots”, dan banyak yang aktif di gerakan seperti #WearYourCulture di media sosial. Contohnya: selama pandemi COVID-19, penjualan pakaian lokal melonjak 30% karena kampanye digital yang dipimpin influencer muda (data Asosiasi Pengusaha Mode Indonesia).
Di sisi lain, generasi ini juga pengubah: mereka menantang norma tradisional dengan reinterpretasi fashion lokal—seperti streetwear bermotif Toraja atau sustainable fashion dari limbah kain adat.
Bagi mereka, karier di dunia mode tidak lagi sekadar menjadi pembeli, tetapi juga pencipta. Eksekutif di perusahaan multinasional seperti Unilever Indonesia semakin mendorong kebijakan “cultural dress code” yang fleksibel, memungkinkan karyawan menampilkan elemen lokal tanpa mengorbankan profesionalisme.
Cara Menjaga Keseimbangan, Fleksibilitas Tanpa Kehilangan Akar
Mencapai keseimbangan antara ekspresi gaya dan kekokohan identitas memerlukan strategi sadar:
Edukasi: Mulailah dengan memahami sejarah budaya melalui buku seperti Batik: The Technique of Indonesian Textile Design oleh Robyn Maxwell atau mengikuti festival seperti Jakarta Fashion Week yang menyertakan segmen tradisional-modern.
Konsumsi bijak: Pilih brand yang etis, bersertifikat Fair Trade atau mendukung UMKM lokal. Di era sustainability, ini selaras dengan tren global.
Inovasi pribadi: Eksperimen dengan capsulewardrobe yang mencampur global dan lokal, misalnya jeans dengan atasan kebaya‐inspired untuk hybrid style. Bagi perusahaan: kebijakan seperti “Cultural Fridays” bisa mendorong karyawan menampilkan identitas tanpa formalitas kaku.
Fashion bukan lagi sekadar urusan estetika, ia adalah cermin dari dinamika budaya, sosial, dan identitas. Tren global yang mudah diakses memang membuka peluang besar bagi generasi muda untuk berekspresi. Namun konsekuensi yang tidak bisa diabaikan adalah risiko terpinggirkannya budaya lokal.
Pada akhirnya, fashion harus dipandang sebagai ruang negosiasi identitas. Style memang boleh berubah mengikuti zaman, tetapi identitas budaya adalah fondasi yang tidak boleh luntur.
Jika generasi muda mampu memadukan keduanya, Indonesia tidak hanya mampu bertahan di era globalisasi, tetapi juga bersinar dengan keunikannya sendiri di panggung dunia.
Fashion yang fleksibel adalah kekuatan, bukan ancaman—asal identitas nasional tetap fix sebagai pondasi. Di tengah globalisasi yang tak terelakkan, budaya lokal dan generasi muda memegang peran pivotal dalam menciptakan narasi yang inklusif dan autentik.
Ini bukan hanya soal gaya, tetapi investasi jangka panjang dalam keberagaman dan daya saing nasional. Mari kita buktikan bahwa style boleh berubah mengikuti zaman, tetapi jati diri kita tetap abadi.
Dengan demikian, Indonesia tidak hanya bertahan, tetapi bersinar di panggung global, satu outfit pada satu waktu.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News