bayangkan beli nasi goreng cuma 10 rupiah ini efek redenominasi jika terjadi - News | Good News From Indonesia 2025

Ini Efek Redenominasi Jika Terjadi, Bayangkan Beli Nasi Goreng Cuma 10 Rupiah!

Ini Efek Redenominasi Jika Terjadi, Bayangkan Beli Nasi Goreng Cuma 10 Rupiah!
images info

Ini Efek Redenominasi Jika Terjadi, Bayangkan Beli Nasi Goreng Cuma 10 Rupiah!


Pemerintah kembali menggulirkan wacana redenominasi rupiah sebagai langkah penyederhanaan nilai mata uang nasional. Isu ini mencuat setelah Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa menetapkan Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2025–2029 melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70 Tahun 2025.

Dalam regulasi tersebut ditegaskan komitmen pemerintah menyiapkan kerangka hukum dan regulasi sebagai dasar pelaksanaan redenominasi. Salah satu langkah konkret ialah penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Harga Rupiah yang akan dibahas mulai tahun depan dan ditargetkan rampung pada 2027.

Direktorat Jenderal Perbendaharaan ditunjuk sebagai penanggung jawab penyusunan RUU tersebut dengan target penyelesaian kerangka regulasi pada 2026.

Lantas, apa itu Redenominasi?

Menurut KBBI, redenominasi merupakan penyederhanaan nilai mata uang rupiah tanpa mengubah nilai tukarnya. Dalam buku Manajemen Keuangan Internasional Edisi Kedua karya Dr. Darmawan, MAB, dijelaskan bahwa redenominasi merupakan proses penyederhanaan pecahan mata uang dengan cara menghapus beberapa digit nol tanpa mengubah nilai riil atau daya belinya.

Artinya, kebijakan ini hanya mengubah tampilan nominal, bukan nilai ekonomi yang terkandung di dalamnya. Sebagai contoh, Rp100.000 setelah redenominasi akan menjadi Rp100, tetapi daya beli uang tersebut tetap setara, harga barang dan jasa juga akan disesuaikan secara proporsional.

Perlu dipahami bahwa redenominasi tidak mengubah nilai riil mata uang, melainkan hanya menyederhanakan jumlah digit pada nominalnya. Dengan kata lain, Rp100 setelah redenominasi tetap memiliki nilai yang sama dengan Rp100.000 sebelum redenominasi dilakukan.

baca juga

Apakah Redenominasi sama dengan Sanering?

Redenominasi berbeda dengan sanering atau pemotongan nilai uang, seperti yang pernah dilakukan di Indonesia pada akhir dekade 1950-an. Saat itu, pemerintah memangkas nilai pecahan Rp500 dan Rp1.000 menjadi Rp50 dan Rp100, yang menurunkan daya beli masyarakat hingga 90%.

Menurut Hariyono (2008) dalam bukunya “Penerapan Status Bahaya di Indonesia: Sejak Pemerintah Kolonial Belanda hingga Pemerintah Orde Baru”, kebijakan yang saat itu disebut pemerintah sebagai “penyehatan uang” bertujuan untuk menekan inflasi, mengendalikan harga, serta meningkatkan nilai mata uang.

Langkah ini juga dirancang untuk mengurangi jumlah uang beredar dari Rp34 miliar menjadi Rp21 miliar demi menstabilkan ekonomi pasca krisis.

Namun, sanering berbeda jauh dengan redenominasi. Jika sanering memangkas nilai riil uang, maka redenominasi hanya menyederhanakan tampilan nominal tanpa mengubah nilai atau daya beli.

Dalam sanering, masyarakat kehilangan sebagian nilai uangnya. Misalnya, Rp10.000 dipotong menjadi Rp10, sementara harga barang tetap sama, sehingga daya beli menurun tajam.

Sebaliknya, pada redenominasi, angka nominal berkurang, tetapi nilai ekonominya tetap. Misalnya, uang Rp10.000 akan ditulis menjadi Rp10 setelah redenominasi, dan harga barang juga akan disesuaikan, misalnya harga susu kaleng yang sebelumnya Rp10.000 akan menjadi Rp10 setelah redenominasi.

Dengan demikian, redenominasi bukanlah sanering. Redenominasi dilakukan untuk meningkatkan efisiensi transaksi, memperbaiki sistem keuangan, dan memudahkan pencatatan akuntansi, tanpa menurunkan nilai uang yang dimiliki masyarakat.

Sedangkan sanering adalah kebijakan darurat fiskal untuk menekan inflasi dengan cara mengorbankan sebagian nilai uang, yang berdampak langsung terhadap penurunan daya beli publik.

Tujuan dan Dampak negatif dari Redenominasi

Tujuan utama redenominasi rupiah adalah menyederhanakan pecahan uang agar lebih efisien dalam transaksi dan praktis dalam pencatatan keuangan. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan kenyamanan masyarakat dalam bertransaksi sekaligus memperkuat efisiensi di sektor keuangan dan perbankan.

Menurut Permana (2015) dalam penelitiannya berjudul “Prospects of Redenomination Implementation in Indonesia”, pecahan rupiah saat ini merupakan pecahan terbesar ketiga di dunia, setelah Zimbabwe dan Vietnam.

Di Asia Tenggara, nominal Rp100.000 menjadi pecahan terbesar kedua setelah Dong Vietnam yang memiliki denominasi 500.000. Kondisi ini menyulitkan transaksi dan pencatatan keuangan masyarakat.

Melalui redenominasi, proses penghitungan nilai uang menjadi lebih sederhana, karena tiga angka nol di belakang satuan akan dihapus. Dalam konteks perbankan dan sistem akuntansi, penyederhanaan nominal ini berpotensi menekan biaya teknologi serta meningkatkan efisiensi pelaporan keuangan.

Selain itu, redenominasi juga bertujuan meningkatkan citra dan kredibilitas ekonomi nasional di tingkat internasional. Nilai tukar rupiah yang lebih ringkas akan menciptakan persepsi bahwa mata uang Indonesia sejajar dengan negara lain.

Misalnya, jika 1 dolar AS sebelumnya setara Rp15.300, maka setelah redenominasi menjadi Rp15,3. Penyederhanaan ini membuat rupiah terlihat sejajar dengan negara lain dan memperkuat kepercayaan terhadap rupiah.

Meskipun memiliki banyak manfaat, redenominasi rupiah juga berisiko apabila tidak diantisipasi dengan baik. Risiko utama adalah munculnya kepanikan di kalangan masyarakat, terutama pada kelompok ekonomi menengah ke bawah yang belum memahami konsep dasar redenominasi.

Minimnya literasi keuangan bisa menimbulkan salah persepsi bahwa redenominasi sama dengan pemotongan nilai uang (sanering), sehingga masyarakat khawatir nilai uang mereka akan menurun. Ketidakpahaman semacam ini berpotensi mengganggu kestabilan psikologis ekonomi dan menimbulkan kepanikan massal di pasar.

Selain itu, peluang kenaikan harga barang dan jasajuga menjadi ancaman tersendiri. Dalam praktiknya, perubahan nominal setelah redenominasi sering kali diikuti dengan pembulatan harga oleh pelaku usaha.

Misalnya, sebuah barang yang semula dijual dengan harga Rp5.800, setelah redenominasi menjadi Rp5,8. Namun, untuk memudahkan transaksi, harga tersebut berisiko dibulatkan menjadi Rp6, sehingga secara tidak langsung terjadi kenaikan harga. Kondisi ini dapat memicu inflasi ringan (inflasi psikologis)yang berdampak pada daya beli masyarakat, terutama bagi kelompok berpenghasilan rendah.

Dampak lainnya adalah tingginya biaya implementasi kebijakan, seperti pencetakan uang baru, pembaruan sistem perbankan, dan sosialisasi nasional agar masyarakat memahami perubahan tersebut. Tanpa perencanaan matang, biaya tersebut dapat membebani anggaran negara dan memperlambat efektivitas kebijakan.

baca juga

Bagaimana agar Redenominasi berjalan dengan baik?

Menurut Setioko dalam Hutauruk (2011), terdapat sejumlah syarat penting agar kebijakan redenominasi berjalan efektif tanpa menimbulkan gejolak ekonomi.

Pertama, tingkat inflasi harus stabil di bawah 5% selama minimal empat tahun berturut-turut. Stabilitas inflasi menjadi indikator utama kesiapan ekonomi karena menunjukkan daya beli masyarakat dan harga barang yang terkendali.

Kedua, negara perlu memiliki cadangan devisa yang kuat, idealnya berkisar antara 100 hingga 200 miliar dolar AS untuk menjaga kestabilan nilai tukar dan kepercayaan investor selama masa transisi.

Syarat ketiga adalah adanya kesamaan persepsi dan dukungan dari seluruh elemen bangsa, termasuk pemerintah, parlemen, dunia usaha, dan masyarakat. Persepsi yang seragam sangat penting agar tidak muncul kesalahpahaman publik, misalnya anggapan bahwa redenominasi sama dengan pemotongan nilai uang. Dengan komunikasi yang baik, kebijakan ini dapat diterima secara luas dan berjalan tanpa menimbulkan kepanikan.

Terakhir, diperlukan landasan hukum yang kuatuntuk memastikan seluruh tahapan pelaksanaan redenominasi memiliki kepastian regulasi dan perlindungan hukum. Undang-undang atau peraturan yang jelas akan mencegah terjadinya tumpang tindih kebijakan, sekaligus memberikan arah dan batasan yang tegas bagi lembaga keuangan, pelaku usaha, serta masyarakat dalam menghadapi perubahan nilai nominal mata uang.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

SB
KG
AD
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.