normalisasi rasisme di media sosial - News | Good News From Indonesia 2025

Media Sosial dan Rasisme: Cermin Sikap Sosial di Indonesia Modern

Media Sosial dan Rasisme: Cermin Sikap Sosial di Indonesia Modern
images info

Media Sosial dan Rasisme: Cermin Sikap Sosial di Indonesia Modern


Kita berada di era digital, era dimana komunikasi tidak terbatas ruang dan waktu. Media sosial memberikan kita kebebasan untuk berkomunikasi tidak peduli berapa jauh jarak dan kapan waktu pesan itu dikirim. Namun kebebasan ini juga membawa dampak negatif.

Fenomena rasisme sekarang tidak hanya muncul di dunia nyata, namun juga terjadi di dunia maya, termasuk di Indonesia. Unggahan dan komentar bernada diskriminatif sering muncul, baik terhadap sesama warga Indonesia maupun terhadap kelompok dari negara lain.

Salah satu contoh yang baru-baru ini ramai diperbincangkan adalah perlakuan rasis terhadap transmigran asal India di Jepang, yang kemudian memicu beragam reaksi di media sosial Indonesia.

Rasisme dalam Dunia Digital dan Normalisasinya lewat Candaan

Media sosial seharusnya menjadi tempat ekspresi lintas budaya, namun kini sering menjadi ajang ejekan. Di Indonesia, sering ditemukan komentar rasial dalam bentuk candaan atau “meme.” Bahkan sebagian pengguna tidak menyadari bahwa hal tersebut adalah ucapan rasis dan menormalisasinya sebagai hal yang lucu, ringan, "bukan sesuatu yang serius." Fenomena ini menunjukkan rendahnya literasi digital dan empati digital masyarakat Indonesia.

Fenomena normalisasi rasisme ini terjadi karena dua faktor. Pertama, anonimitas yang ditawarkan digitalisasi membuat orang berani untuk melanggar etika-etika sosial yang biasanya tidak berani mereka langgar di dunia nyata. Kedua, budaya viral dari algoritma media sosial membuat sesuatu yang negatif dapat menyebarkan pengaruhnya dengan cepat. Dua kombinasi ini menciptakan sebuah lingkungan dimana rasisme dapat bertumbuh.

Yang lebih mengkhawatirkan, sebagian masyarakat Indonesia kerap menanggapinya dengan santai, seolah rasisme hanyalah bagian dari humor internet. Normalisasi ini perlahan membentuk cara pandang kolektif yang berbahaya: bahwa merendahkan kelompok tertentu adalah sesuatu yang wajar, selama itu terjadi di dunia maya.

Kasus Rasisme terhadap Imigran India di Jepang

Pada bulan Agustus 2025, Jepang mengumumkan bahwa akan dilakukan pertukaran sumber daya manusia (SDM) dengan India untuk lima tahun kedepan. Berita ini disambut warga Jepang dengan reaksi yang beragam.

Sebagian warga menganggap kejadian ini sebagai kebutuhan mendesak, terutama mengingat bahwa Jepang sedang krisis populasi sejak lama. Sementara sebagian lainnya khawatir atas keputusan ini kepada dampak sosial dan budaya yang akan ditimbulkan. Banyak yang berakhir mengekspresikan rasa kekhawatiran ini lewat media sosial, yang tak lama menjadi viral ke seluruh dunia, tidak terkecuali Indonesia.

Disinilah perlahan perkara rasisme ini dimulai. Setiap postingan curhat warga Jepang, selalu dapat ditemukan komentar netizen Indonesia yang menanggapi isu ini. Beberapa bersimpati, namun tidak sedikit yang justru melontarkan komentar yang berkesan merendahkan transmigran India. Ada yang mengatakannya dengan nada bercanda atau menggunakan meme, namun banyak juga yang menggunakan bahasa serius dan menyinggung.

Cermin bagi Masyarakat Indonesia

Kasus rasisme di Jepang seharusnya tidak hanya dilihat sebagai peristiwa luar negeri yang jauh dari kehidupan masyarakat Indonesia. Sebaliknya, kasus tersebut menjadi cermin bagi kita untuk melihat bagaimana nilai-nilai toleransi sebenarnya dipahami dan dipraktikkan di ruang digital Indonesia.

Sebagai negara dengan kekayaan etnis dan budaya yang luar biasa, Indonesia memiliki sejarah panjang tentang hidup bersama dalam perbedaan. Bahkan kita punya semboyan yang juga menjadi simbol negara bersamaan dengan Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, yang berarti berbeda-beda tapi tetap satu jua.

Itu adalah semboyan yang telah diajarkan kepada kita semenjak masih dini dengan harapan semboyan itu tertanam dalam di hati para penerus bangsa. Dengan begitu, masyarakat Indonesia dapat menjadi warga yang menjunjung tinggi nilai toleransi dan dapat melihat keindahan perbedaan. Namun dinamika media sosial mengungkapkan bahwa nilai-nilai itu belum sepenuhnya meresap dalam perilaku masyarakat daring.

Respons terhadap kasus di Jepang memperlihatkan bahwa sebagian netizen Indonesia masih terjebak dalam cara pandang yang hirarkis terhadap warna kulit, bentuk tubuh, atau tradisi budaya tertentu.

Tantangan Literasi Digital dan Empati Sosial

Kejadian ini menunjukkan pentingnya peran literasi digital. Walaupun sudah banyak orang memahami teknologi, belum tentu mereka juga dapat memahami dampak sosial dari apa yang mereka bagikan di media sosial. Hal ini dapat dilihat jelas dari bagaimana komentar rasis ditanggapi sebagai suatu hiburan, tidak memperhitungkan luka psikologis atau ketidakadilan sosial yang ditimbulkan. Masyarakat sipil dan institusi pendidikan harus mendorong edukasi literasi digital yang lebih inklusif.

Selain literasi digital, adapula empati sosial yang harus kita tumbuhkan. Empati sosial adalah kemampuan seseorang untuk memahami dan merasakan pengalaman orang lain. Dunia maya membuat hubungan sosial terasa lebih tipis, membuat kita lebih mudah melontarkan kata-kata menyakitkan hanya karena kita tidak tahu wajah dibalik orang-orang yang membaca pesan kita. Empati sosial dapat ditumbuhkan dengan menanamkan dan mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila, untuk nilai Pancasila ada untuk menciptakan manusia yang adil, beradab dan memiliki rasa persatuan yang kuat.

Hal lain yang perlu dilakukan berupa regulasi khusus yang menanggapi ujaran kejahatan di dunia maya dan moderasi konten yang lebih ketat pada media sosial.

Menuju Ruang Digital yang Lebih Inklusif

Rasisme tidak muncul dari antah berantah. Ia terbentuk dari ketidaktahuan, prasangka atau stereotipe dan kurangnya empati. Media sosial hanyalah wadah besar yang mempercepat laju penyebarannya. Kasus rasisme terhadap transmigran India di Jepang menunjukkan bahwa isu rasisme belum ditanggapi serius oleh masyarakat Indonesia, bahwa nilai-nilai kebersamaan dan toleransi yang diajarkan dari ideologi Pancasila belum sepenuhnya terimplementasikan oleh masyarakat.

Indonesia modern membutuhkan ruang digital yang lebih sehat, ruang yang tidak hanya nyaman untuk berpendapat, tetapi juga aman bagi mereka yang berbeda. Menghadapi cermin sosial ini memerlukan keberanian untuk melihat bahwa sebagian dari kita pernah menjadi pelaku, bukan sekadar saksi. Dari kesadaran itulah perubahan bisa mulai tumbuh.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AZ
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.