algoritma krisis nasionalisme digital - News | Good News From Indonesia 2025

Algoritma dan Krisis Nasionalisme, Indonesia di Persimpangan Digital?

Algoritma dan Krisis Nasionalisme, Indonesia di Persimpangan Digital?
images info

Algoritma dan Krisis Nasionalisme, Indonesia di Persimpangan Digital?


Perkembangan teknologi membawa dampak besar pada cara warga Indonesia membangun identitas kebangsaannya. Jika dulu nasionalisme dibentuk melalui sekolah, keluarga, dan lingkungan sosial, kini sebagian besar persepsi politik anak muda justru dibentuk melalui media sosial.

Survei nasional Katadata Insight Center (2023) menunjukkan bahwa68,2%anak muda Indonesia sering terpapar berita politik melalui media sosial. Bahkan, 80,4% generasi muda mengakses informasi politik dari akun media sosial portal berita online, menjadikannya sumber informasi yang paling dominan dalam pembentukan pandangan politik anak muda zaman sekarang.

Dalam konteks ini, algoritma tidak hanya menentukan isu apa yang mereka lihat, tetapi juga cara mereka memaknai bangsa dan negara.

baca juga

Krisis nasionalisme tampak dari meningkatnya polarisasi, perpecahan sosial, dan ketidakpercayaan antarkelompok. Ketika konsumsi informasi politik bergeser dari ruang formal ke ruang digital, informasi yang diterima pun cenderung tidak lagi mengutamakan edukasi, tetapi viralitas.

Kominfo mencatat tingginya penyebaran hoaks SARA dan politik identitas dalam beberapa tahun terakhir—bukan karena pesan yang disampaikan benar, tetapi karena algoritma lebih menyukai konten yang memicu emosi dan interaksi.

Akibatnya, identitas kebangsaan yang seharusnya menjadi perekat sosial mudah tergeser oleh identitas digital yang lebih sempit: kelompok politik, afiliasi agama, dan komunitas online yang diperkuat oleh preferensi algoritmik.

Di media sosial, algoritma bekerja dengan logika mempertahankan perhatian pengguna selama mungkin. Konten-konten moderat, objektif, atau edukatif sering kalah dari konten provokatif, sensasional, atau memecah belah.

Fenomena ini terlihat jelas selama masa Pemilu 2014 dan 2019, ketika istilah “cebong” dan “kampret” menjadi penanda paling kasat mata dari perpecahan digital.

Dalam ruang digital yang terfragmentasi semacam ini, pengguna hanya melihat konten yang mengonfirmasi keyakinannya sendiri. Terbentuklah ruang gema (echo chamber) yang memperkuat fanatisme kelompok dan melemahkan identitas nasional sebagai rumah bersama.

Krisis nasionalisme juga tercermin dari cara sebagian masyarakat menyerap informasi terkait bangsa dan negara. Hoaks mengenai kebijakan pemerintah, isu agama, atau etnis sering kali menyebar jauh lebih cepat daripada klarifikasi resmi.

baca juga

Data dari MAFINDO (2023) menunjukkan bahwa hoaks dengan narasi kebangsaan—seperti ancaman ideologi negara atau isu konflik antaragama—termasuk jenis hoaks yang paling banyak beredar.

Ketika konten semacam itu mendominasi ruang digital, rasa percaya kepada negara, institusi publik, dan sesama warga negara perlahan melemah.

Di titik inilah algoritma berperan memperdalam krisis nasionalisme secara tidak langsung, karena ia lebih mementingkan viralitas ketimbang akurasi.

Namun, krisis ini bukan hanya soal teknologi; ini soal bagaimana warga negara meresponsnya. Nasionalisme digital tidak akan tumbuh selama kita membiarkan algoritma menentukan arah emosi dan cara pandang kita.

Nilai-nilai seperti gotong royong, toleransi, dan kejujuran informasi hanya dapat bertahan jika pengguna digital memiliki kesadaran kritis terhadap cara kerja algoritma.

Literasi media menjadi benteng utama agar masyarakat tidak sekadar menjadi objek yang dikendalikan sistem, tetapi menjadi subjek yang mampu memilih, memilah, dan menilai informasi secara matang.

baca juga

Dalam konteks ini, membangun “algoritma kebangsaan” berarti mengembalikan nilai-nilai Pancasila dan kebersatuan Indonesia sebagai panduan etis dalam menggunakan teknologi.

Pada akhirnya, krisis nasionalisme di era algoritma bukan hanya soal melemahnya rasa cinta tanah air, tetapi tentang bagaimana identitas bangsa dipertaruhkan oleh derasnya arus informasi.

Jika tidak diimbangi kesadaran kritis, teknologi dapat memecah belah lebih cepat daripada ia menyatukan. Karena itu, mempertahankan nasionalisme hari ini bukan lagi sekadar soal upacara, simbol negara, atau ajaran formal, melainkan kemampuan kolektif untuk menjaga ruang digital tetap sehat, inklusif, dan beradab.

Masa depan kebangsaan Indonesia tidak hanya ditentukan oleh kebijakan politik atau pendidikan formal, tetapi juga oleh bagaimana kita bersikap, berperilaku, dan berinteraksi di dunia digital yang kian menentukan arah bangsa. 

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

MF
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.