Wilayah Pertambangan Rakyat atau WPR Timah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menjadi salah satu instrumen penting dalam penataan sektor pertambangan nasional. Kebijakan ini dihadirkan untuk memberikan kepastian hukum bagi penambang kecil, meredam aktivitas penambangan ilegal, serta memperbaiki tata kelola sumber daya timah.
Namun, setelah lebih dari setahun percepatan penetapan WPR dijalankan, masalah utama tetap sama. Legalitas sudah hadir, tetapi keberlanjutan belum terwujud.
Payung Hukum di Atas Lahan yang Lelah
Melalui Keputusan Menteri ESDM No. 149.K/MB.01/MEM.B/2024, pemerintah menetapkan 36 blok WPR di Bangka Belitung. Blok-blok tersebut tersebar di tiga kabupaten: 13 blok di Bangka Tengah, 9 blok di Bangka Selatan, dan 14 blok di Belitung Timur. Secara keseluruhan, provinsi ini memiliki 123 WPR dengan luas total 856.835 hektar. Kabupaten lain seperti Bangka, Bangka Barat, dan Belitung masih dalam proses pengajuan dokumen pengelolaan.
Tujuan utama pembentukan WPR Timah cukup jelas. Kebijakan ini dimaksudkan untuk memberikan payung hukum yang pasti bagi penambang rakyat, menyediakan izin usaha pertambangan rakyat (IPR), serta memastikan hasil tambang memberikan kontribusi nyata bagi ekonomi lokal dan penerimaan negara. Melalui WPR, pemerintah berharap dapat menekan praktik penambangan ilegal yang selama ini merugikan negara dan lingkungan.
Namun, realitas di lapangan masih jauh dari harapan. Tambang ilegal tetap marak dengan perkiraan sekitar seribu titik aktif di seluruh Bangka Belitung. Sebagian besar beroperasi di luar blok resmi, termasuk di kawasan pesisir dan laut. Akibatnya, kerugian negara dari penyelundupan timah terus meningkat, sementara pengawasan terhadap tambang rakyat belum berjalan efektif.
Antara Harapan dan Kenyataan
WPR diharapkan menjadi solusi bagi hubungan tegang antara negara dan penambang kecil. Bagi masyarakat, keberadaan WPR memberikan perlindungan hukum dan pengakuan atas pekerjaan yang selama ini dijalankan dalam ketidakpastian. Bagi pemerintah, kebijakan ini berfungsi sebagai instrumen fiskal dan sosial yang dapat menekan tambang ilegal sekaligus meningkatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Namun, legalitas tanpa pengawasan justru memperlebar jarak antara kebijakan dan kenyataan. WPR memang menentukan siapa yang boleh menambang, tetapi belum memastikan bagaimana tambang itu dikelola secara aman, adil, dan ramah lingkungan. Lubang bekas tambang masih terbuka, kolong-kolong bertambah luas, dan sedimentasi pesisir mengancam ekosistem laut. Konflik sosial antara penambang, petani, dan nelayan pun terus muncul akibat perebutan ruang hidup.
Tata Kelola yang Lemah
Proses penetapan WPR melibatkan pemerintah kabupaten dan provinsi, mulai dari pengusulan area hingga peninjauan lapangan. Namun, koordinasi antarinstansi masih lemah. Ombudsman RI telah memperingatkan bahwa tanpa sistem pengawasan lintas sektor, WPR berisiko disalahgunakan. Celah birokrasi memberi peluang bagi praktik rente, manipulasi data produksi, dan penyalahgunaan izin untuk kepentingan di luar tujuan rakyat.
Lebih jauh, WPR kerap dijadikan pembenaran bagi operasi berskala besar yang tidak termasuk kategori pertambangan rakyat. Kondisi ini memperburuk citra WPR sebagai solusi kebijakan yang baik di atas kertas, tetapi lemah dalam pelaksanaan.
Membangun Prinsip Hijau
Pengelolaan WPR Timah perlu diarahkan pada pendekatan yang berorientasi pada keberlanjutan. Setiap izin pertambangan rakyat seharusnya mencakup kewajiban rehabilitasi lahan pascatambang, pengelolaan air, dan perlindungan ekosistem pesisir. Kebijakan ini perlu menempatkan aspek lingkungan sebagai inti, bukan pelengkap administratif.
Beberapa negara seperti Bolivia dan Kolombia telah berhasil mengembangkan model pertambangan rakyat yang berkeadilan melalui keterlibatan komunitas lokal sebagai pengawas dan penerima manfaat utama. Pendekatan serupa dapat diterapkan di Bangka Belitung yang selama puluhan tahun bergantung pada sektor timah.
Empat Langkah untuk Perubahan
Untuk memperkuat tata kelola dan mencegah jebakan legalitas semu, pemerintah perlu mengambil empat langkah konkret:
- Perkuat sistem pengawasan WPR dengan melibatkan masyarakat, akademisi, dan lembaga independen agar pelanggaran dapat terdeteksi lebih awal.
- Wajibkan rehabilitasi lingkungan sebagai bagian dari izin WPR dengan alokasi dana reklamasi yang transparan dan diawasi publik.
- Dorong ekonomi alternatif lokal, seperti perikanan, pertanian, dan ekowisata, agar masyarakat tidak sepenuhnya bergantung pada tambang.
- Bangun rantai pasok timah yang transparan, memastikan nilai tambah dan manfaat ekonomi benar-benar kembali ke masyarakat Bangka Belitung.
Menambang dengan Nurani
WPR Timah bukan sekadar dokumen hukum atau batas wilayah di peta pertambangan. Kebijakan ini merupakan ujian moral bagi pemerintah dalam memandang kesejahteraan rakyat tanpa mengorbankan masa depan lingkungan.
Legalitas tanpa keberlanjutan hanyalah jalan pintas menuju kerusakan yang sah. Jika pemerintah ingin menjadikan WPR sebagai simbol keadilan sosial dan ekologis, maka tambang rakyat harus diatur dengan ilmu, diawasi dengan nurani, dan dijalankan dengan visi keberlanjutan. Hanya dengan cara itu Bangka Belitung dapat menambang tanpa merusak, menata tanpa meminggirkan, dan membangun tanpa menghancurkan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News