fopo ketakutan terhadap pendapat orang lain di era digital - News | Good News From Indonesia 2025

FOPO, Ketakutan terhadap Pendapat Orang Lain di Era Digital

FOPO, Ketakutan terhadap Pendapat Orang Lain di Era Digital
images info

FOPO, Ketakutan terhadap Pendapat Orang Lain di Era Digital


Di tengah dunia yang serba cepat dan saling terhubung, pendapat orang lain kini terasa lebih dekat dari sebelumnya. Media sosial, percakapan digital, hingga dinamika interaksi sehari-hari membuat banyak orang semakin sensitif terhadap komentar atau pandangan orang lain. Fenomena inilah yang dikenal sebagai FOPO (Fear of Other People’s Opinions), ketakutan terhadap pendapat orang lain.

FOPO dapat memengaruhi cara seseorang memutuskan sesuatu, bersikap, hingga menilai dirinya sendiri. Hal ini tidak hanya muncul pada momen-momen besar, tetapi juga dalam hal kecil seperti memposting sesuatu di media sosial atau menyampaikan pendapat di tempat kerja.

Apa Sebenarnya FOPO itu?

FOPO menggambarkan rasa cemas atau takut berlebih terhadap bagaimana seseorang dipandang atau dinilai oleh orang lain. Istilah ini semakin dikenal setelah dibahas oleh berbagai psikolog modern yang menilai FOPO sebagai salah satu penghambat besar potensi diri.

Dalam beberapa kasus, ketakutan ini membuat seseorang menahan diri dari kesempatan yang sebenarnya bisa membawa mereka berkembang.

baca juga

Melansir Halodoc, FOPO dapat memengaruhi kinerja, kesejahteraan emosional, dan kehidupan sosial seseorang. Kecemasan ini bisa muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari ragu berbicara di depan umum hingga takut untuk sekadar mengemukakan ide.

Penyebab FOPO: Kombinasi Lingkungan, Budaya, dan Pengalaman

FOPO tidak muncul dari satu faktor saja. Ada berbagai lapisan penyebab yang saling terkait.

Menurut HalloSehat, pengalaman di masa lalu—seperti sering dikritik, dibully, atau dihakimi—dapat membentuk pola pikir bahwa pendapat orang lain menentukan nilai diri. Selain itu, perfeksionisme juga menjadi pemicu kuat. Ketika seseorang terlalu takut salah, ia akan berusaha keras menghindari apa pun yang mungkin membuatnya dinilai negatif.

Di sisi lain, budaya yang menekankan pada penerimaan sosial dan reputasi turut membentuk tekanan besar agar seseorang selalu terlihat “baik”. Pola asuh yang terlalu menuntut kesempurnaan atau lingkungan sosial yang kompetitif dapat memperkuat kecenderungan ini.

Media sosial—dengan segala perbandingan visual dan standar idealnya—juga memberi kontribusi besar. Kawan GNFI tentu pernah melihat bagaimana unggahan orang lain terlihat sangat “sempurna”. Tanpa disadari, ini bisa memengaruhi cara seseorang melihat dirinya sendiri.

Dampak FOPO terhadap Kesehatan Mental

FOPO bukan hanya soal cemas dinilai; dampaknya bisa jauh lebih luas.

Dikutip dari Narasi TV, FOPO dapat memunculkan gejala kecemasan yang berkelanjutan. Individu dapat mengalami jantung berdebar, keringat dingin, atau pikiran yang melantur ketika berada dalam situasi yang berpotensi mendapat komentar.

baca juga

Dalam jangka panjang, FOPO juga bisa memengaruhi:

  • Rasa percaya diri, karena individu terlalu fokus pada pandangan orang lain.

  • Kemampuan mengambil keputusan, sebab muncul rasa takut membuat pilihan yang salah.

  • Kemampuan menerima kritik, yang membuat seseorang mudah merasa terancam oleh setiap masukan.

  • Relasi sosial, karena kecenderungan menghindari situasi yang melibatkan interaksi.

Semua ini dapat menciptakan lingkaran kecemasan yang sulit diputus jika tidak disadari sejak awal.

Bagaimana Cara Mengatasi FOPO?

Mengatasi FOPO adalah proses bertahap. Ada beberapa langkah sederhana namun efektif yang bisa dicoba oleh Kawan GNFI:

1. Bangun kesadaran diri

Kenali momen ketika ketakutan terhadap opini mulai muncul. Dengan menyadari polanya, seseorang dapat mulai menantang pikiran negatif tersebut.

2. Kembangkan filosofi hidup pribadi

Punya nilai dan prinsip diri dapat menjadi jangkar dalam mengambil keputusan. Ketika seseorang memegang kompas hidupnya sendiri, pendapat orang lain tidak menjadi pusat pertimbangan.

3. Batasi perbandingan digital

Mengurangi penggunaan media sosial bukan hanya menghindari perbandingan, tetapi juga memberi ruang bagi hubungan yang lebih autentik di dunia nyata.

baca juga

4. Biasakan menghadapi ketidaknyamanan

Berani tampil, berbicara, atau mengemukakan ide meski ada kemungkinan dikritik adalah bagian dari proses membangun ketahanan mental.

5. Fokus pada pertumbuhan, bukan kesempurnaan

Kesalahan adalah bagian dari perjalanan. Ketika seseorang memberi ruang untuk belajar, ia akan lebih fleksibel menghadapi penilaian eksternal.

Jika FOPO terasa sangat mengganggu aktivitas harian, mencari bantuan profesional adalah langkah yang bijaksana.

Pendapat orang lain bisa menjadi cermin, tetapi tidak seharusnya menjadi penjara. Era digital memang membuat komentar terasa lebih dekat dan lebih keras dibanding sebelumnya, tetapi nilai diri seseorang tidak pernah ditentukan oleh seberapa banyak persetujuan yang ia dapatkan.

Kawan GNFI berhak bertumbuh, bereksplorasi, dan mengambil keputusan berdasarkan apa yang benar-benar penting bagi diri sendiri. Pada akhirnya, suara yang paling layak didengarkan adalah suara dari dalam—yang mengenal tujuan, mimpi, dan potensi besar yang sedang dibangun.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

NA
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.