Dalam perjalanan hidup, banyak Kawan GNFI yang mungkin tampak kuat, disiplin, dan teratur dari luar, tapi menyimpan beban yang tak selalu terlihat. Salah satu dari mereka adalah Faruq—seorang pemuda yang menaruh standar tinggi pada dirinya sendiri dan takut mengulangi kegagalan yang pernah ia alami.
Kisah Faruq bukan sekadar kisah personal; ia mencerminkan pergulatan banyak anak muda Indonesia yang berusaha bertahan di tengah tekanan akademik, tuntutan sosial, dan kecemasan tentang masa depan.
Saat pertama kali menceritakan pergumulannya, Faruq mengakui bahwa ia takut gagal. Namun setelah ditelisik lebih jauh, ketakutannya bukanlah tentang nilai, pekerjaan, atau masa depan yang tidak pasti. Yang ia takutkan adalah kembali merasakan keterpurukan emosional yang pernah memukul dirinya—sebuah pengalaman yang, meski tidak ia jelaskan secara detail, meninggalkan jejak mendalam.
Beban emosional semacam ini jamak ditemui pada banyak anak muda. Riset psikologi menunjukkan bahwa ketakutan akan kegagalan sering kali berakar pada pengalaman masa lalu dan kebutuhan untuk merasa “aman” dari penilaian buruk. Sebagaimana dijelaskan oleh psikolog klinis Guy Winch (2014), ketakutan tersebut bukanlah tentang kegagalan itu sendiri, melainkan tentang makna emosional yang kita kaitkan dengannya.
Kawan GNFI mungkin pernah merasakan hal serupa: kecemasan bahwa satu kesalahan dapat menggagalkan seluruh masa depan. Padahal tidak selalu demikian.
Dalam keseharian, Faruq adalah seorang pembelajar tekun. Ia membaca jurnal ilmiah, menulis catatan panjang, dan mendalami banyak bidang studi. Namun ia menyadari sesuatu yang mengejutkan: sebagian besar waktunya habis untuk pekerjaan yang berdampak rendah—memperbaiki detail kecil, mengubah format tulisan, atau memperbaiki catatan footnote berkali-kali.
Fenomena ini dikenal sebagai pseudo-productivity, yaitu kondisi ketika seseorang tampak sibuk tetapi tidak bergerak pada tujuan yang sebenarnya penting.
Banyak anak muda terjebak di dalam pola ini. Kesibukan memberi rasa aman, tetapi tidak selalu mendekatkan kita pada tujuan besar. Ketika harus mengerjakan tugas besar—tesis, proyek kerja, atau rencana karier—perasaan takut gagal sering muncul dan membuat kita menunda atau menghindarinya.
Faruq menyadari bahwa ia bukan malas, tetapi takut menyentuh hal-hal yang berisiko membawa kegagalan. Ia, seperti banyak Kawan lainnya, tanpa sadar membangun benteng untuk melindungi diri dari rasa sakit emosional.
Perubahan tidak datang secara tiba-tiba bagi Faruq. Ia tidak berubah menjadi sosok tanpa rasa takut. Namun ia mulai mencoba sebuah pola sederhana yang ia sebut “Satu Langkah Harian”.
Setiap pagi, ia bertanya pada dirinya:
“Langkah paling kecil apa yang bisa membuatku maju 1% hari ini?”
Kadang itu hanya menulis satu paragraf. Kadang membaca tiga halaman. Kadang merapikan kerangka tulisan. Namun setiap langkah kecil memberinya perasaan maju—sesuatu yang ia rindukan sejak lama.
Strategi ini sejalan dengan prinsip atomic habits yang diperkenalkan oleh James Clear (2018), yang menunjukkan bahwa perubahan besar berawal dari tindakan kecil yang konsisten. Bagi banyak orang yang berjuang dengan kecemasan akademik atau tekanan karier, strategi semacam ini dapat membantu membangun momentum tanpa menakut-nakuti diri sendiri.
Dalam proses refleksi, Faruq akhirnya memahami bahwa mengelola diri bukanlah tentang membuat hidup sempurna. Justru sebaliknya: mengelola diri berarti belajar berdamai dengan diri yang tidak sempurna.
Pada suatu sore, ketika hujan turun dan ia beristirahat sejenak dari pekerjaannya, Faruq menuliskan kalimat sederhana dalam buku catatan:
“Aku tidak perlu menjadi sempurna untuk maju.”
Kalimat itu mungkin terdengar sederhana, tetapi bagi Faruq, itu adalah pergeseran besar dalam cara ia memandang dirinya sendiri. Ia menyadari bahwa ketakutan tidak harus hilang supaya seseorang bisa bergerak. Yang dibutuhkan adalah kemampuan mengelola ketakutan itu.
Dalam beberapa minggu, Faruq tidak berubah menjadi sosok yang sepenuhnya bebas dari kecemasan. Namun ia memperoleh sesuatu yang lebih penting: kemampuan menangani dirinya sendiri.
Ia mulai memahami bahwa rasa aman bukan datang dari keberhasilan tanpa henti, tetapi dari keyakinan bahwa dirinya mampu menghadapi tantangan apa pun, bahkan ketika gagal. Menurut penelitian Brené Brown (2012), ketangguhan emosional justru tumbuh dari keberanian menghadapi ketidaksempurnaan diri.
Faruq akhirnya menyadari bahwa ia tidak sedang mengejar kesempurnaan, tetapi sedang membangun ketahanan.
Kisah Faruq bukan kisah yang dramatis, tetapi kisah banyak anak muda Indonesia yang berjuang di tengah tuntutan studi, karier, dan ekspektasi sosial. Banyak Kawan GNFI mungkin merasa harus selalu berhasil agar hidup tetap aman. Namun seperti yang dipelajari Faruq:
Ketakutan adalah bagian dari proses.
Langkah kecil bisa menciptakan perubahan besar.
Tanggung jawab terbesar bukan menghindari kegagalan, tetapi mengelola diri sendiri.
Pada akhirnya, setiap orang sedang dalam proses tumbuh. Tidak perlu menjadi sempurna untuk melangkah maju.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News