Jika ada satu hal yang selalu berhasil membuat Jakarta terlihat seperti kota yang punya dua dunia, maka daftar obat keras golongan G mungkin masuk nominasi teratas. Secara aturan, obat jenis ini hanya boleh beredar lewat resep dokter, tercatat dengan rapi, diawasi ketat, dan dipatuhi sebagai bagian dari tata kelola kesehatan yang sehat.
Namun di realitas jalan raya, gang sempit, dan etalase kios serbaguna, ia menjelma menjadi komoditas receh yang bisa dibeli bersamaan dengan sabun, rokok, dan tisu basah.
Obat golongan G merupakan jenis obat keras yang penjualannya wajib menggunakan resep dokter, pengawasan ketat, serta distribusi resmi. Sebab, beberapa kandungannya memiliki risiko ketergantungan, penyalahgunaan, bahkan gangguan mental dan organ tubuh jika dikonsumsi tanpa kendali medis.
Secara simbol, huruf “G” ia berarti Gevaarlijk, kata serapan Belanda yang artinya berbahaya.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, hanya apoteker atau fasilitas kefarmasian berizin yang boleh menyalurkan obat keras, narkotika, dan psikotropika, dan penyerahannya harus dilakukan sesuai dengan resep dokter.
Sementara itu penggolongan obat dalam Permenkes No. 3 Tahun 2021 (revisi golongan obat) juga mempertegas pembatasan distribusi obat-obat tertentu agar tidak sembarangan diserahkan ke masyarakat.
Kemudian, Permenkes Nomor 5 Tahun 2023 juga menegaskan regulasi terkait narkotika, psikotropika, dan prekursor farmasi bagian dari rangka pengawasan zat berisiko tinggi agar distribusinya bisa lebih terkontrol.
Pada tingkat regulasi, kita telah memiliki fondasi hukum yang mestinya mampu membentuk sistem perlindungan yang kuat. Aturan yang berlaku idealnya berfungsi sebagai payung pengamanan yang tegas dan menyeluruh. Namun, bagaimana kenyataannya pada kota Jakarta?
Jakarta (dan Masih Banyak Lagi) dengan Obat Golongan G, Mengapa Bisa Terjadi?
“Jarak antara aturan di atas kertas dan apa yang terjadi di lapangan, rasanya kok semakin jauh ya”
Di kota besar seperti Jakarta, terlihat jelas bagaimana perdagangan obat keras golongan G muncul di tempat-tempat yang bahkan tidak berniat menjadi apotek. Mulai dari kios sembako, toko kosmetik, kios kelontong, hingga minimarket pinggir ruko elit.
Jarak antara legal dan ilegalnya semakin menipis, ketika skincare dan obat keras dipajang dalam satu rak yang sama. Sementara pembelinya bahkan tidak dikonfirmasi “ada resep dokternya kak?”.
Di sisi lain, beberapa pemberitaan menyoroti wilayah Pantai Indah Kapuk (PIK) yang dikenal sebagai kawasan elit, modern, dan fashionable. Namun glamornya ruko tidak serta-merta steril dari praktik jual-beli obat daftar G.
Orang bisa pulang dari coffee shop dengan latte di tangan kanan, lalu mampir ke toko sampingnya untuk membeli obat keras tanpa resep dokter di tangan kiri, multitasking gaya urban.
Sementara di wilayah lain seperti Jakarta Timur, kasus serupa disebut-sebut semakin merebak, bahkan dilakukan di ruang usaha yang tidak ada hubungannya dengan dunia farmasi.
Tentu, semua ini tidak boleh hanya menjadi bahan obrolan WhatsApp Family Group atau konten TikTok investigasi modal kamera depan. Pemprov DKI Jakarta melalui Dinas Kesehatan seharusnya memainkan peran sentral, bukan sekadar memberi imbauan yang akhirnya hanya menguap seperti asap bakaran sate di malam minggu.
Pengawasan seharusnya bukan hanya soal razia sesekali, tetapi sistem yang disiplin, penertiban berkelanjutan, edukasi publik, serta pembatasan izin usaha.
Paling tidak, harus muncul standar bahwa tidak semua orang yang mau menjual obat berhak mengaku “kan cuma dagang”. Menjual obat keras tanpa izin bukan dagang, tetapi melanggar hukum.
“Tapi kenapa mereka bisa beroperasi?”
Jawaban paling pahit bukan semata karena ada permintaan, tapi karena ada pembiaran. Sebagian usaha tersebut tidak memiliki izin farmasi. Namun tetap membuka transaksi karena merasa aman, entah karena kurangnya patroli, minimnya hukuman, atau keyakinan bahwa selama tidak ribut maka tidak akan dibidik.
Di sisi lain, masyarakat juga mudah tergoda oleh efek instan obat keras, layaknya jalan pintas menuju rasa lebih baik, tanpa peduli efek jangka panjang yang bisa menggerogoti kesehatan fisik, mental, bahkan sosial.
Apa yang Harus Kita Lakukan?
Pada akhirnya, kita perlu mengakui bahwa persoalan obat keras yang beredar bebas bukan sekadar soal lemahnya penegakan regulasi atau minimnya razia berkala. Ini adalah alarm bahwa sistem kesehatan dan tata niaga farmasi di Jakarta masih bocor di banyak titik.
Mulai dari rantai distribusi, pengawasan lapangan, hingga ketimpangan akses layanan medis yang membuka ruang bagi pasar gelap untuk menjadi solusi alternatif.
Pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan teks peraturan dan konferensi pers sebagai legitimasi tindakan, sama halnya masyarakat tidak boleh menganggap obat keras sebagai jalan pintas dari rasa sakit, kecemasan, atau tekanan sosial yang tidak terselesaikan.
Jakarta membutuhkan perbaikan tata kelola yang lebih konkret terkait pengawasan digital, audit distribusi, mekanisme pelaporan publik, dan kolaborasi lintas sektor yang tidak sekadar simbolik.
Sebab jika fenomena ini dibiarkan, kita bukan hanya sedang menyaksikan lemahnya negara, tetapi sedang memelihara bom waktu kesehatan publik yang bisa meledak kapan saja.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News