Setelah diselenggarakannya Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada tahun 1955, ada upaya untuk mempererat hubungan antara negara-negara di kedua benua ini, tidak hanya dalam hal politik dan ekonomi, tetapi juga budaya. Melalui sebuah acara bernama Festival Film Asia-Afrika (FFAA) pada 1964.
FFAA 1964 bukan sekadar festival. Ia adalah jembatan antara seni, solidaritas politik, dan proyek kebudayaan pada masa ketika Republik Indonesia sedang gencarnya menyuarakan anti neo-kolonalisme dan imperialisme.
Diselenggarakan pada 19-30 April 1964 di Jakarta, FFAA edisi ketiga ini menjadi salah satu momen paling penting dalam sejarah perfilman nasional, dimana sebuah peristiwa yang menempatkan Indonesia sebagai pusat perhatian negara-negara Asia dan Afrika dalam perjuangan melawan dominasi budaya Barat.
Diadakan di Markas Besar Ganefo dan Istora Senayan, festival ini dihadiri oleh 27 negara dan dipadati sekitar 10.000 pengunjung. FFAA 1964 bukan sekadar perayaan estetika sinema. Namun, juga ajang untuk mengokohkan posisi Indonesia dalam gerakan anti-imperialisme serta memperkuat gagasan bahwa film dapat menjadi alat pembebasan dan pendidikan masyarakat.
Latar Belakang Politik dan Kebudayaan
Mengutip dari buku berjudul “Merayakan Film Nasional” Karya Adrian Jonathan Pasaribu, Hikmat Darmawan, dan Totot lndrarto. Pada awal 1960-an, perfilman Indonesia berada di bawah tekanan kuat dari film impor, terutama film Amerika Serikat.
Data kala itu mencatat lebih dari 130 film Amerika beredar dalam satu tahun, menguasai sekitar 70% gedung bioskop Indonesia.
Sementara itu, film nasional hanya mendapat porsi 1% dari penayangan di bioskop, yang membuat keadaan dinilai tidak ideal untuk perkembangan identitas kebudayaan Indonesia.
Dalam konteks inilah gagasan Presiden Sukarno mengenai poros Asia-Afrika menjadi penting. Menurutnya, negara-negara Asia dan Afrika harus bersatu sebagai kekuatan baru untuk mengimbangi dominasi dua blok besar saat itu yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Visi tersebut terangkum dalam trisum manifes Sukarno: berdaulat secara politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
FFAA 1964 menjadi salah satu perwujudan nyata dari visi itu, dimana menjadikan film sebagai alat perjuangan sekaligus simbol solidaritas negara-negara yang sedang memperjuangkan kemerdekaan identitas kulturalnya.
Rangkaian Kegiatan FFAA 1964
Sebelum 1964, Festival Film Asia-Afrika telah berlangsung dua kali di Tashkent, Uzbekistan (1958) dan Kairo, Mesir (1960).
Pada edisi ketiga, giliran Indonesia yang menjadi tuan rumah. Banyak tokoh kebudayaan dari Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) terlibat sebagai panitia, bersama sejumlah pejabat negara, termasuk Menteri Olahraga Maladi sebagai Ketua Kehormatan Komite Nasional. Utami Suryadarma turut menjadi tokoh penting sebagai Ketua Umum Komnas FFAA III.
Selama 11 hari penyelenggaraan, film-film dari negara peserta diputar setiap siang dan malam. Pemutaran dilakukan secara bergiliran, berdasarkan abjad negara, mencakup kategori film cerita dan dokumenter.
Film-film yang memenangkan penghargaan nantinya juga akan diputar di berbagai kota dalam rangka “Pameran Film Asia-Afrika”.
Festival dibuka langsung oleh Presiden Sukarno. Dalam pidatonya, Bung Karno menekankan pentingnya “setiakawan Asia-Afrika”, “setiakawan Asia-Afrika-Amerika Latin”, serta “setiakawan negara-negara berkembang”.
Baginya, tak ada revolusi di negara-negara Asia dan Afrika yang bisa berhasil tanpa solidaritas. Film, dalam pandangan Bung Karno, bukan sekadar hiburan, tetapi alat perjuangan yang mampu menyampaikan pesan politik dan kultural dengan cara yang paling efektif.
Pidato pembukaan tersebut bukan hanya retorika, tetapi cerminan bahwa FFAA 1964 dirancang sebagai ruang strategis untuk memutus ketergantungan terhadap film-film yang dianggap sebagai kendaraan imperialisme budaya.
FFAA 1964 juga mengadakan dua penghargaan utama:
1. Bandung Award
Diberikan kepada film cerita, film anak-anak, dan film dokumenter terbaik.
2. Lumumba Award
Diberikan untuk prestasi teknis dan artistik, termasuk:
- skenario
- penyutradaraan
- seni peran
- sinematografi
- musik
- art designing
Dewan juri berjumlah 15 orang, terdiri dari perwakilan berbagai negara peserta. Dengan banyaknya kategori, festival ini tidak hanya menilai kualitas cerita atau ideologi film, tetapi juga memberi ruang apresiasi pada aspek teknis yang penting dalam perkembangan industri film nasional.
Dalam ajang Festival Film Asia-Afrika, ada juga sejumlah kategori penghargaan utama diberikan, seperti Best Film, Best Actor, Best Actress, Best Music Direction, Best Art Direction, dan Best Documentary Film.
Pada penyelenggaraan tersebut, predikat Aktor Terbaik diraih oleh S.V. Ranga Rao melalui film Nartanasala / The Dance Pavilion (1963) dari India.
Sementara itu, penghargaan Film Terbaik diberikan kepada The Open Door / El bab el maftuh (1963) karya sutradara Henry Barakat dari Mesir.
Dari film yang sama, Faten Hamamah berhasil meraih gelar Aktris Terbaik. Adapun penghargaan untuk Art Direction Terbaik jatuh kepada T. V. S. Sarma melalui film Nartanasala.
Secara keseluruhan, Festival Film Asia-Afrika bukan hanya menjadi ajang apresiasi karya sinema, tetapi juga berfungsi sebagai ruang untuk memperkuat pesan perdamaian, solidaritas, dan persatuan melalui medium seni film.
Festival sebagai Arena Perlawanan Kebudayaan
Lekra memanfaatkan momentum FFAA III sebagai bagian dari gerakan budaya untuk melawan dominasi film Amerika. Pada penutupan festival, mereka bahkan mendeklarasikan pembentukan Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis AS (PAPFIAS).
Langkah ini sejalan dengan hasil komunike bersama negara-negara peserta yang menyatakan tekad “mengakhiri dominasi imperialis di bidang film di Afrika dan Asia”.
Para delegasi sadar betul bahwa film adalah alat propaganda yang kuat. Mereka tidak ingin lagi menjadi “penonton atau objek saja”, tetapi ingin menjadi “subjek dan pencipta film”.
Deklarasi yang dibacakan pada 30 April 1964 bahkan ditetapkan sebagai Hari Film Nasional oleh Presiden Soekarno, yang kemudian pemerintah menetapkan tanggal 30 Maret sebagai Hari Film Nasional melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 25 tahun 1999.
FFAA 1964 dikenang bukan hanya sebagai festival film, tetapi sebagai ajang yang merekam dinamika politik dan kebudayaan Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin.
Ia menjadi saksi bagaimana film dipandang sebagai alat perjuangan, ruang ekspresi identitas, serta jembatan solidaritas negara-negara yang sedang membangun dirinya.
Bagi generasi masa kini, momentum FFAA 1964 mengajarkan bahwa seni dan politik tidak bisa dipisahkan. Film dapat menjadi medium yang sangat kuat untuk mendefinisikan siapa kita, ke mana kita melangkah, dan bagaimana kita memandang dunia.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News