Kawan GNFI, apakah kalian tahu bahwa makna dari kata ‘dewasa’ dan ‘tua’ itu sangatlah berbeda, mari kita ulas secara tuntas!
Menjadi dewasa bukanlah akhir dari pertumbuhan, melainkan sebuah proses. Hidup merupakan rangkaian pertumbuhan yang tidak akan berhenti sampai kita mati. Pertumbuhan terjadi ketika kita mempelajari hal-hal penting dalam hidup dan memahami makna kebahagiaan yang sesungguhnya. Karena itulah, hari ini pun aku belajar sedikit demi sedikit.
Paragraf tersebut merupakan penggalan dari buku Hidup Sebagai Orang Dewasa (Kim Hyenam, Walking Tree, 2011). Penulis buku ini bercerita bahwa perjalanan hidupnya yang penuh warna menjadikannya memahami makna tumbuh dewasa itu sendiri.
Ia mengatakan bahwa tidak ada orang yang menjadi dewasa dengan sendirinya, melainkan harus melalui usaha yang tumbuh dari dirinya sendiri. Sebab itu, beberapa orang tumbuh menjadi pribadi dewasa sesuai dengan apa yang mereka upayakan, sementara sebagian lainnya justru berakhir sebagai orang tua yang semakin renta tanpa kedewasaan.
Penulis yang mempelajari konseling lanjut usia menyimpulkan perbedaan antara orang dewasa yang matang dan orang tua yang keras kepala. Mereka yang disebut orang dewasa diibaratkan seperti anak kecil yang lembut tapi dibekali pengalaman luas, serta memiliki pikiran terbuka dan fleksibel layaknya anak muda meski tubuh mereka telah menua.
Sebaliknya, mereka yang disebut orang tua yang tidak dewasa memiliki pemikiran sekeras batu. Mereka yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, menilai orang lain sembarangan, serta bersikeras memenuhi kehendaknya sendiri, belum dapat dikatakan sebagai pribadi yang dewasa.
Menjadi Orang Dewasa Sejati
Buku ini menjelaskan bagaimana cara kita dapat menjadi orang dewasa yang dihormati dan diakui oleh berbagai generasi, baik dari segala kelompok usia maupun jenis kelamin. Kawan GNFI dapat mengikuti beberapa teori berikut ini:
Pertama, orang dewasa sejati selalu menghormati setiap orang sebagai pribadi yang mandiri. Mereka tidak bergantung pada orang lain dalam hal apa pun dan tidak pernah memanfaatkan orang lain dengan alasan apa pun. Meskipun memiliki privilese, reputasi, atau popularitas, mereka tetap memperlakukan orang lain sebagai individu yang layak dihormati.
Kedua, mereka mengakui bahwa dirinya hanyalah manusia yang lemah. Meski pernah merasakan gemerlap kehidupan dan meraih kesuksesan di masa lalu, mereka menyadari bahwa kesuksesan bersifat sementara dan dapat berubah kapan saja. Kesadaran tersebut menumbuhkan toleransi yang matang, baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain.
Ketiga, mereka tidak terpaku pada kesuksesan masa lalu dan selalu memiliki keinginan untuk belajar serta mencoba hal baru tanpa membatasi diri. Banyak contoh orang dewasa sejati yang memusatkan hidup pada hal tertentu saat muda, lalu di usia tua tetap berani memulai hal baru—misalnya memperdalam ilmu agama. Mereka yang terus menggunakan energi mereka untuk meningkatkan kualitas diri hingga ajal datang merupakan contoh orang dewasa sejati.
Pada akhirnya, orang dewasa sejati adalah mereka yang memiliki kepribadian matang, terlepas dari status sosial maupun kesuksesan material. Sebab apa pun yang kita miliki di masa muda akan berkurang dan mungkin menghilang seiring waktu. Oleh karena itu, jangan terus-menerus membanggakan kesuksesan masa muda, dan jangan lupa untuk terus belajar serta berproses, karena apa yang kita tuai di masa tua merupakan hasil dari perjuangan saat ini.
Cara Berdialog sebagai Orang Dewasa
Banyak orang merasa lelah ketika harus berinteraksi dengan individu lain. Salah satu penyebab utamanya adalah percakapan antarmanusia. Percakapan bisa tidak berjalan baik meskipun kedua pihak memiliki banyak kesamaan. Hal ini terjadi karena komunikasi emosional tidak tumbuh dengan baik. Berikut beberapa cara yang dapat kawan lakukan agar dialog antar orang dewasa dapat berlangsung dengan baik.
Pertama, menyadari dan mengakui perbedaan antara diri sendiri dan orang lain. Tidak ada satu pun manusia yang memiliki pemikiran sama persis dengan kita. Karena itu, percakapan yang baik hanya dapat terwujud ketika semua pihak saling menghormati pemikiran dan pandangan dengan pikiran terbuka.
Kedua, percakapan hanya dapat berlangsung baik dalam kondisi yang nyaman. Sebelum memulai percakapan, pastikan pikiran dan tubuh kita tidak berada dalam kondisi lelah. Kita juga perlu memperhatikan keadaan lawan bicara, memastikan ia berada dalam situasi emosional yang baik agar dapat berkonsentrasi dalam percakapan.
Ketiga, mengarahkan percakapan pada minat dan ketertarikan lawan bicara. Kita mungkin tidak menyadari bahwa salah satu penyebab percakapan berhenti adalah perbedaan minat antara kedua pihak. Jika topik tidak relevan bagi lawan bicara, ia akan merasa enggan melanjutkan percakapan. Karena itu, arahkan percakapan pada hal-hal yang menarik bagi mereka.
Keempat, menjadi pendengar yang baik. Kunci kelanggengan percakapan adalah adanya seseorang yang mendengarkan. Meski kita kurang tertarik, tetaplah mendengarkan hingga lawan bicara selesai berbicara agar ia merasa dihargai. Mendengarkan merupakan cara tercepat untuk menarik hati seseorang.
Kelima, lebih banyak menggunakan bahasa emosi daripada kata-kata yang mengandung penilaian, kritik, atau perbandingan. Percakapan sering berubah menjadi pertengkaran karena konteksnya bergeser menjadi kritik atau penilaian. Alih-alih mengkritik atau menilai, lebih baik mengungkapkan perasaan dan harapan secara jujur.
Mungkin sebelumnya kita menganggap kedewasaan adalah proses yang terjadi dengan sendirinya. Namun melalui bukuWe’re Family but We’re Strangers karya Won Jung Mee, kita belajar bahwa pendewasaan adalah perjalanan panjang yang memerlukan usaha, niat kuat dari dalam diri, serta lingkungan yang mendukung.
Jika saat ini kawan GNFI tengah mencari jalan menuju kedewasaan, ketahuilah bahwa proses ini mungkin tidak mudah, tetapi hasilnya akan dapat kita petik kelak dengan penuh kepuasan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News