Setiap hari kita selalu disuguhi berbagai informasi dari ruang digital, baik media sosial maupun berita daring lainnya. Arus informasi datang begitu cepat dapat menyebabkan batas antara fakta, opini, dan manipulasi menjadi semakin kabur.
Di tengah derasnya arus informasi ini, bahasa menjadi pedang bermata dua yang bisa menyatukan masyarakat atau justru memecah belah masyarakat jika disalahgunakan. Fenomena hoaks dan ujaran kebencian merupakan contoh nyata dari penyalahgunaan bahasa dalam dunia digital.
Hal ini karena hoaks dan ujaran kebencian sering kali mudah menyebar bukan hanya karena teknologi, tetapi juga karena bahasa yang digunakan dirancang untuk menggugah emosi lebih dulu daripada logika.
Bahasa seharusnya menjadi cermin budaya dan wadah penyampaian nilai yang memiliki peran penting dalam membentuk cara berpikir masyarakat. Dalam hal ini, bahasa bukan hanya menjadi alat komunikasi antarmasyarakat, tetapi juga menjadi alat untuk menentukan hubungan antar masyarakat.
Bahasa Indonesia sejak zaman dahulu, mulai dari Sumpah Pemuda tahun 1928, digunakan sebagai alat pemersatu bangsa dan menjadi identitas bangsa Indonesia hingga saat ini. Bahasa Indonesia menjadi perekat untuk menyatukan berbagai kelompok dengan latar belakang sosial budaya yang berbeda ke dalam satu ruang nasional.
Namun di era digital saat ini, bahasa, khususnya bahasa Indonesia, tengah menghadapi tantangan baru. Bahasa yang seharusnya berasal dari kata-kata yang dibangun dengan pikiran jernih dan moral yang kuat, kini malah muncul dari emosi sesaat dan dorongan untuk menjadi viral di dunia maya. Ruang digital yang menawarkan kebebasan sering kali mendorong orang untuk menulis hal-hal yang tidak seharusnya mereka tulis.
Penyebaran hoaks merupakan salah satu contoh dari penyalahgunaan bahasa yang paling berbahaya. Hoaks merupakan berita palsu yang memanfaatkan kepercayaan publik dengan menyamarkan kebohongan lewat kalimat yang dibuat tampak meyakinkan.
Hoaks dibuat dengan menggunakan kata-kata yang provokatif dan manipulatif, serta menggunakan pemilihan kata yang sengaja dibuat untuk membingkai suatu peristiwa secara emosional, sehingga pembaca cenderung merasa marah atau takut sebelum sempat berpikir jernih.
Hoaks tidak membutuhkan data yang kuat, cukup berupa kalimat yang meyakinkan dan menyentuh sisi psikologis pembaca. Hoaks lebih cepat menyebar daripada klarifikasi kebenarannya karena kebanyakan masyarakat lebih mudah percaya terhadap informasi yang mereka terima pertama kali.
Sementara itu, ujaran kebencian merupakan salah satu bentuk agresi verbal secara tidak langsung yang menggunakan kata-kata dengan tujuan menyudutkan individu/kelompok tertentu untuk menciptakan kesan bahwa mereka adalah sebuah ancaman. Dalam media sosial, banyak orang dengan mudah melontarkan cacian, hinaan, dan provokasi, tanpa memikirkan dampak psikologis dan sosialnya.
Perilaku ini semakin kuat jika mereka menemukan konten yang sejalan dengan emosi mereka. Kedua fenomena tersebut menunjukkan bahwa kemerosotan etika berbahasa sudah sangat mengkhawatirkan karena hoaks dan ujaran kebencian sama-sama menggunakan pola kebahasaan tertentu yang bertujuan untuk memanipulasi opini publik tanpa memperhatikan etika berbahasa yang ada.
Rendahnya kesadaran masyarakat terhadap etika berbahasa di ruang digital menjadi salah satu penyebab utama dari penyebaran hoaks dan ujaran kebencian. Selain itu, masyarakat yang tidak mau menyaring informasi atau mencari informasi lanjutan juga dapat menjadi penyebabnya.
Masyarakat tersebut lebih memilih untuk menyebarkannya atau bahkan memberi "bumbu tambahan" untuk membuat informasi menjadi semakin tidak jelas dan menggiring opini publik ke opini pribadi yang dianggap benar. Penyebab yang lainnya adalah tidak adanya aturan dalam pembuatan sebuah berita atau informasi dalam platform digital, sehingga para pengguna bisa dengan bebas membuat dan menyebarkan informasi sesuai dengan apa yang mereka inginkan tanpa melakukan riset dan kajian tentang pokok informasi yang mereka sebarkan.
Mereka biasanya melakukan hal tersebut dengan alasan untuk mengekspresikan diri, tapi mereka lupa bahwa kebebasan berpendapat tidak berarti dapat bebas juga menghina, menuduh, atau menyebarkan fitnah. Oleh karena itu, penting untuk membangun kembali kesadaran masyarakat terhadap etika berbahasa di tengah era digital ini.
Generasi muda menjadi aktor utama dalam menggerakkan arus informasi di ruang digital saat ini. Mereka dapat menjadi penyebar informasi yang positif dalam hitungan detik, tetapi juga dapat menjadi sasaran empuk bagi penyebar hoaks dan ujaran kebencian karena mereka lebih cepat dalam membagikan informasi tanpa memverifikasi kebenarannya.
Oleh karena itu, pendidikan literasi digital saja tidak cukup untuk menghadapi permasalahan ini. Generasi muda perlu memahami etika berbahasa agar dapat memahami cara menahan diri dari bias emosional, memilih diksi yang tepat dalam berbincang di media sosial, serta melakukan pengecekan kembali sebelum membagikan informasi.
Selain itu, pembelajaran bahasa Indonesia bagi generasi muda juga perlu mengalami sedikit perubahan karena pendidikan ini memegang peranan penting dalam upaya mengatasi hoaks dan ujaran kebencian ini. Pembelajaran bahasa Indonesia seharusnya tidak hanya berfokus pada ejaan, struktur kalimat, atau kaidah kebahasaan lainnya, melainkan juga harus menanamkan nilai-nilai moral dan sosial dalam berbahasa. S
elain generasi muda, masyarakat lain juga perlu lebih bijak lagi dalam menggunakan kata di ruang digital. Sebelum membuat atau membagikan sesuatu, tanyakan terlebih dahulu apakah informasi tersebut benar, bermanfaat, dan tidak menyakiti orang lain. Tiga pertanyaan utama tersebut dapat menjadi filter moral yang ampuh dalam mengendalikan perilaku berbahasa untuk mengatasi hoaks dan ujaran kebencian.
Pada akhirnya, bahasa akan selalu mencerminkan siapa kita sebagai masyarakat. Jika bahasa digunakan dengan hati-hati, penuh empati, dan berlandaskan etika, maka ruang digital dapat menjadi tempat bertukar gagasan yang sehat. Namun, jika kita lengah, bahasa justru dapat menjadi sumber perpecahan. Karena itu, membiasakan diri untuk berbahasa dengan bijak adalah langkah sederhana tetapi paling penting untuk menjaga ruang digital tetap aman, beradab, dan bermanfaat bagi semua.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News