efektivitas stimulus likuiditas rp200 triliun dalam menggerakkan permintaan agregat pemulihan ekonomi indonesia - News | Good News From Indonesia 2025

Efektivitas Stimulus Likuiditas Rp200 Triliun dalam Menggerakkan Permintaan Agregat dan Pemulihan Ekonomi Indonesia

Efektivitas Stimulus Likuiditas Rp200 Triliun dalam Menggerakkan Permintaan Agregat dan Pemulihan Ekonomi Indonesia
images info

Efektivitas Stimulus Likuiditas Rp200 Triliun dalam Menggerakkan Permintaan Agregat dan Pemulihan Ekonomi Indonesia


Pemulihan ekonomi Indonesia sepanjang 2024–2025 menunjukkan pola yang cukup jelas: konsumsi rumah tangga mulai pulih, tetapi penyaluran kredit masih bergerak lambat dan belum sepenuhnya mendukung ekspansi sektor riil.

Berdasarkan laporan Statistik Perbankan Indonesia OJK (2025), pertumbuhan kredit hingga kuartal III 2025 hanya mencapai sekitar 7,5% (yoy), lebih rendah dari target pemerintah sebesar 10%.

Di sisi lain, data Kementerian Keuangan (2025) menunjukkan, konsumsi masih menjadi penyumbang terbesar terhadap PDB. Namun, pemulihannya tertahan oleh minimnya pembiayaan ke sektor usaha, terutama UMKM. Dalam konteks inilah pemerintah menempatkan Rp200 triliun dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) ke bank-bank Himbara dan BSI.

Hingga Oktober 2025, realisasi penyalurannya mencapai Rp167,6 triliun, dan angka ini menunjukkan bahwa stimulus likuiditas mulai mengalir ke sektor riil dan berpotensi memengaruhi Permintaan Agregat (AD).

baca juga

Secara teori, kebijakan ini merupakan bentuk kebijakan fiskal ekspansif yang menggunakan saluran perbankan sebagai mekanisme transmisi. Alih-alih menambah belanja pemerintah, negara memperkuat sisi likuiditas perbankan untuk memperbesar kapasitas pemberian kredit. Dalam kerangka AD-AS, langkah ini diarahkan untuk mendorong AD ke kanan melalui dua komponen utama: konsumsi (C) dan investasi (I).

Penempatan dana pemerintah menurunkan cost of fund bank sehingga bank memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga kredit. Bank Indonesia (BI) menegaskan bahwa penurunan biaya dana biasanya diikuti penurunan suku bunga kredit sekitar 25–50 basis poin dalam beberapa bulan.

Bagi pelaku usaha, terutama sektor padat modal, suku bunga yang lebih rendah menjadi sinyal kuat untuk menambah kapasitas produksi. Ketika investasi meningkat, kontribusinya terhadap AD juga menguat.

Selain jalur suku bunga, kebijakan ini bekerja melalui mekanisme pengganda (multiplier effect). Sektor UMKM yang menyumbang lebih dari 60% PDB dan menyerap 97% tenaga kerja menjadi saluran paling strategis.

Ketika UMKM memperoleh modal tambahan, mereka meningkatkan produksi, memperluas operasional, dan menambah tenaga kerja. Peningkatan pendapatan masyarakat kemudian memperbesar konsumsi rumah tangga, dan konsumsi adalah komponen terbesar dalam AD Indonesia. Bahkan, peningkatan kecil dalam konsumsi dapat menghasilkan lonjakan pertumbuhan yang signifikan.

Namun, efektivitas stimulus Rp200 triliun tidak bersifat otomatis. Risiko lazy banking menjadi tantangan utama. Beberapa bank cenderung menempatkan dana SAL pada instrumen aman seperti SBN daripada menyalurkannya sebagai kredit.

Data OJK menunjukkan bahwa porsi SBN dalam portofolio bank meningkat dalam beberapa tahun terakhir, dan jika tren ini berlanjut, likuiditas tidak akan terserap ke sektor riil. Dalam skenario itu, kebijakan fiskal gagal memperkuat AD dan hanya menambah bantalan likuiditas perbankan.

Risiko lainnya adalah tekanan inflasi. BI mengingatkan dalam Laporan Stabilitas Sistem Keuangan (2025) bahwa percepatan kredit yang tidak terarah dapat mendorong permintaan lebih cepat dari kapasitas produksi nasional.

Jika itu terjadi, harga harga naik dan daya beli melemah. Inflasi yang naik tidak hanya menekan konsumsi, tetapi juga memicu kenaikan BI Rate, yang akhirnya menghambat investasi dan menggagalkan tujuan awal kebijakan fiskal ekspansif.

Faktor penentu lain adalah ketepatan sasaran kredit. Secara historis, bank lebih nyaman menyalurkan kredit ke debitur besar yang memiliki risiko rendah. Padahal, kontribusi ekonomi dari debitur besar tidak selalu sebanding dengan tambahan pembiayaan yang mereka terima.

Efek penggandanya jauh lebih kecil dibandingkan kredit yang disalurkan kepada UMKM. Karena itu, efektivitas kebijakan Rp200 triliun bergantung pada kemampuan pemerintah mengawasi dan mengarahkan bank untuk menyalurkan kredit pada sektor yang benar benar memiliki multiplier tinggi.

Pengawasan menjadi krusial. Keberhasilan kebijakan fiskal tidak diukur dari besar kecilnya anggaran, tetapi dari kualitas transmisi ke sektor riil.

Jika dana SAL mengendap terlalu lama atau kembali pada pembiayaan konsumtif maupun instrumen SBN, kebijakan kehilangan daya dorongnya. Namun, jika disertai insentif seperti penjaminan kredit, subsidi bunga, dan target sektoral, multiplier meningkat jauh lebih besar.

baca juga

Meskipun penuh risiko, stimulus likuiditas Rp200 triliun tetap memiliki potensi besar sebagai motor pemulihan ekonomi. Di tengah ketidakpastian global, konsumsi yang rapuh, dan kepercayaan usaha yang belum solid, kebijakan fiskal seperti ini mampu menjadi jangkar pemulihan.

Dengan transmisi yang baik, kebijakan ini tidak hanya menguatkan AD, tetapi juga meningkatkan kapasitas produksi dan memberi fondasi pertumbuhan jangka panjang bagi perekonomian Indonesia.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

MA
KG
FS
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.